Sabtu, 23 Maret 2013

Makna Cerita Lubdaka (Siwa Latri)

OM SWASTI ASTU


Umat sedharma yang berbahagia, mudah-mudah dalam keadaan sehat selalu dan dalam lindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, disini saya mencoba berbagi pengatahuan dengan kawan semua mudah-mudah dapat menambah wawasan kita semua. Setiap setahun sekali kita merayakan hari raya SIWARATRI dimana hari raya tersebut selalu dihubungkan dengan sebuah cerita Si lubdaka karangan Mpu Tanakung. Cerita lubdaka bahkan sudah tidak asing lagi bagi kita semua dari SD sampai perguruan tinggi kita pasti mendegar cerita tersbut. Bahkan dalam perayaan-perayaan di pura kita sering melihat pemetasan sendratari Lubdaka yang diperankan oleh Pemuda-pemudi yang sangat atusias sekali mengekspresikan semua kreativitasnya. Tapi tanpa kita sadari bahwa cerita lubdaka tersebut penuh makna dari semua simbol-simbol dari seluruh cerita tersebut yang dipesankan oleh Pengarang-Nya (Mpu Tanakung). Disini saya akan meceritakan sedikit kisah lubdaka, Karna saya yakin dan percaya Umat sedharma semua sudah pernah mendengarkan.

Di Bali, Siwaratri selalu dikaitkan dengan cerita Lubdaka. Konon, pada malam Siwaratri, Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan melakukan yoga. Saat yang bersamaan, dikisahkan seorang pemburu bernama Lubdaka kemalaman di hutan dan akhirnya menginap. Agar tidak dimakan binatang buas, si Lubdaka naik ke pohon. Agar tetap terjaga, sebagai pengusir kantuk, si Lubdaka memetik dan menjatuhkan daun-daun pohon yang dipanjatnya dan kebetulan di bawah pohon tersebut ada sebuah lingga Dewa Siwa, jadi secara tidak langsung Lubdaka melakukan pemujaan kepada Dewa Siwa tepat di saat Beliau beryoga.

Dewa Siwa konon sangat senang karena Lubdaka terjaga dan ‘menemani’ Dewa Siwa melakukan yoga. Maka ketika Lubdaka meninggal, saat lembaga yudikatif kahyangan, dalam hal ini Dewa Yama melakukan pengadilan, datanglah satu batalyon tentara sorga yang dikirim oleh Dewa Siwa, dan membawa Lubdaka ke sorga. Padahal, Dewa Yama hendak mengirimnya ke neraka karena profesi Lubdaka sebagai pemburu adalah dosa, membunuhi binatang-binatang tak berdosa demi kesenangan. Sementara, Dewa Siwa sudah terlanjur ‘sayang’ dengan Lubdaka yang menemaninya satu malam beryoga, sehingga melakukan intervensi pada putusan lembaga yudikatif kahyangan pimpinan Dewa Yama.


Mungkin demikian cerita singkat dari kisah LUBDAKA, disini saya akan mencoba mengulas tentang makna dari semua simbol dari cerita lubdaka yang belum disebutkan diatas.
Kita akan kupas satu persatu makna simbolik dari ceirta lubdhaka.

1. Hari Perayaan Siwaratri.

Siwaratri yang datang setahun sekali yaitu pada hari 14 paruh gelap malam mahapalguna (januari-Februari), sehari sebelum Tilem kapitu, menyediakan seperangkat pengetahuan, nilai, norma-norma, pesan, dan symbol. Kata ratri berarti malam, Karena itu Siwaratri berarti malam siva.Siva berarti baik hati, suka memaafkan, memberikan harapan, Dengan demikian siwaratri adalah malam untuk melebur kegelapan hati menu jalan yang terang. Siwaratri jatuh setahun sekali pada purwaning tilem ke pitu (panglong ping 14 sasih kepitu). Menurut astronomi malam tersebut merupakan malam yang paling gelap dalam satu tahun, maka buana agung terdapat malam yang paling gelap, maka di buana alit pun ada. Kegelapan di buana alit dikenal dengan nama peteng pitu, yaitu mabuk karena rupawan (surupa), mabuk karena kekayaan (dana), mabuk karena kepandaian ( Guna), mabuk karena kebangsawanan (kulina), mabuk karena keremajaan (yohana), mabuk karena minuman keras(sura), dan mabuk karena kemenangan (kasuran).Kegelapan inilah terjadi karena kesimpang siuran dalam struktur alam pikiran. Kesimpang siuran ini terjadi karena pengaruh dasendriya, sehingga menghasilkan manusia yang mengumbar hawa nafsu.


2. Makna Kata Lubdaka.

Kata Lubdhaka (sansekerta) berarti pemburu . Secara umum pemburu adalah diartikan sebagai orang yang suka mengejar buruan yaitu binatang (sattwa). Kata Sattwa berasal dari kata sat yang artinya mulia sedangkan twa artinya sifat. Jadi sattwa adalah sifat inti atau hakekat. Dengan demikian Lubdhaka adalah orang yang selalu mengejar atau mencari inti hakekat yang mulia.


3. Tempat Tinggal Lubdhaka.

Lubdaka dikisahkan tinggal di puncak gunung yang indah . gunung didalam bahasa sansekerta disebut acala yang tidak bergerak. Bahkan dalam ceritra wrespati kalpa dikisahkan Betara siwa dipuja di puncak gunung kailasa. Jadi tempat tinggal Lubdhaka di puncak gunung dapat diartikan bahwa ia adalah orang yang taat dan tekun memuja siwa (Siwa Lingga) atau yang sering disebut seorang Yogi


4. Alat Perburuan dan binatang Buruan.

Alat bebrburu si Lubdhaka adalah panah, symbol dari manah / pikiran. Dengan senjata pikiran ia selalu berburu budhi sattwa. Agar ia mendapatkan budhi sattwam mesti ia mengendalikan indrianya ( melupakan bekal makanan) Binatang yang diburu oleh Lubdhaka adalah, gajah, badak, babi hutan. Dalam bahasa sansekerta gajah berarti asti, simbolis dari astiti bhakti. Sedangkan badak sama dengan warak bermakna tujuan sedangkan babi hutan (waraha) mengandung makna wara nugraha.
Dengan demikian ketiga binatang buruan tersebut mengandung makna bahwa Lubdhaka dengan pikirannya yang dijiwai oleh budhi sattwam senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang didasari oleh astiti bhakti dengan tujuan mendapatkan wara nugraha dari Ida Hyang widhi wasa ( Siwa).


5. Berangkat berburu pada panglong ping 14. 

Hari ke 14 paro terang di bulan magha ini Si Lubdaka tumben sial, tidak mendapat binatang. Ini adalah waktu kosmis yang tepat untuk melakukan laku spiritual. Bulan dikatakan memiliki 16 kala kekuatan duniawi ini simbolik dari 1 + 6 = 7, yaitu sapta timira. Pada hari ke 14 paro simbolik 1+4 = 5 melambangkan panca indra. Jadi pada pang long ping 14 terang ini telah kehilangan 14 kala’ dan saat itu hanya masih tinggal 2 kala yakni raga (ego) dan kama ( nafsu ). Jadi jika kedua kala tadi mampu kita kalahkan maka disana Siwa akan memberikan rahmatnya.


6. Pagi hari memakai pakaian hitam kebiruan.

Hitam adalah lambang keberanian, keperkasaan. Pagi hari disebut Brahman muhurta “ hari Brahman, waktu yang baik untuk melakukan olah spiritual atau memuja Tuhan.


7. Berjalan sendirian.

Pemberani. Hanya orang yang tidak mengenal atau mampu mengatasi rasa takut yang berani sendirian masuk hutan lebat. Simbolik dari mengikuti jalan yang disebut nirwrwti marga : jalan spiritual bagi seorang pertapa atau jnanin. Dalam makna berangkat sendirian maka tidak ada teman bicara itu berarti mona brata “ tidak berbicara”.


8. Menuju arah timur laut.

Menuju kiblat suci merupakan sandi dari kiblat utara symbol Ratri “ malam, gelap, hitam,dengan kiblat timur symbol Siwa atau Iswara siang, putih, terang, Simbolik paham sakti dengan paham Siwa.


9. Selama perjalanan banyak menemukan tempat suci yang rusak .

Simbolik dari merosotnya situasi politik dan merosotnya kehidupan religius umat Hindu.


10. Tidak seekor binatangpun didapatkan.

Binatang symbol “ ego” sifat binatang itu tidak lagi ditemukan pada diri sang pertapa , artinya pertapa telah berhasil mengalahkan keakuannya dan rasa kepemilikannya.


11. Tidak terasa senjapun tiba.

Symbol dari daya konsentrasinya kuat. Vivekananda mengatakan bahwa, semakin banyak waktu yang terlewatkan tanpa kita perhatikan , semakin berhasil kita dalam konsentrasi. Ketika yang lampau dan sekarang berdiam menjadi satu berarti saat itulah pikiran memusat. Sandyakala adalah hari sandi antara terang dan gelap yang menyebabkan kenyataan menjadi tidak jelas. Oleh karena seorang pertapa harus lebih awas dengan meningkatkan spiritualnya.


12. Naik pohon bilwa yang tumbuh di pinggir danau, dan duduk dicampang 

pohonnya.Symbol dari meningkatnya kesadaran dengan jalan mediatasi untuk memurnikan pikiran agar daya budi terungkap. Pohon bilwa disimbolkan sebagai tulang punggung yang di dalamnya terdapat cakra-cakra , simpul-simpul energi spiritual yang satu dengan yang lainya saling berhubungan. Duduk di campang pohon melambangkan daya keseimbangan konsentrasi antara otak kiri dan kanan, yakni otak tengah. Naik keatas pohon melambangkan bangkitnya daya sakti yang disebut kundalini sang pertapa.


13. Ranu atau danau

Symbol Yoni lambang sakti atau Dewi, saktinya siwa adalah lambang kesuburan.


14. Di tengah danau ada Siwalingga nora ginawe.
Batu alami yang kebetulan ada ditengah danau . Lingga adalah symbol Siwa


15. Memetik daun bilwa.

Memetik ajaran Siwa. Kata Rwan atau ron, don, berarti daun dan dapat juga berarti tujuan. Jika dirangkai dengan kata maja atau bilwa maka melambangkan tujuan. Yakni mengembangkan kesadaran. Dengan demikian dapat diartikan dimana sang pertapa selalu memetik sari ajaran untuk mengembangkan kesadaran. Dalam hubungan jagrabrata olah kesadaran dengan mempelajari siwa tattwa ( ajaran hakekat ketuhanan) sampai akhirnya mencapai pencerahan rohani. Jadi Mpu tanakung disini menuliskan dengan simbolis yaitu olah budi dan rasa terpusat kepada Tuhan.Untuk itu disebutkan oleh Mpu tanakung ,mahaprabhawa nikanang brata panglimur kadusta kuhaka, setata turun mapunya yasa dharma len brata gatinya kasmala dahat. Artinya brata siwararti adalah mampu meruwat sifat dusta dan keji. Cara meruwat itu adalah dengan melakukan dyana (meditasi), menyanyikan syair pujian, merafal mantra,melakukan japa ( menyebut nama Tuhan berkali-kali),


16. Tiba dipondok sore hari, menjelang petang (hari tilem).

Kenyataan umum setiap orang berburu pasti akan kembali pulang. Simbolnya kembali dari perjalanan suci yang dilakuakan selama dua hari satu malam : 36 jam.


17. Tiba di pondok Lubdaka baru makan.

Perjalanan berburu Lubdaka tidak membawa bekal, karena memang tidak rencana menginap. Simbol dari melakuakan upawasa, puasa tidak makan, minum selama 36 jam, yakni dari pagi hari pada hari ke 14 paro terang, purwani tilem sampai besok senja kala hari ke 15 tilem


C. Kesimpulan.



“samo ham sarva bhutesu, namo dvesyo sti na priyah. ye bhajanti tu mam bhaktya, mayi te tesu ca pi aham..”


semua mahluk adalah sama padaku, tidak ada yang terbenci atau yang tercinta. tapi bagi mereka yang memujaku, maka mereka ada di dalam aku, dan aku ada di dalam mereka.

Begitulah Tuhan, netral. Manusialah yang seharusnya diberikan kebebasan untuk memilih, mau membentuk hubungan seperti apa dengan Tuhan. Sementara, Tuhan hanya berfungsi menjaga agar hukumnya tetap berlaku. Bahkan Tuhan adalah hukum itu sendiri, yang abadi, yang senantiasa berlaku adil.

Jadi, janganlah berharap Tuhan akan mengampuni dosa-dosa kita. Kitalah yang harus bertindak untuk mengurangi pahitnya akibat dosa yang kita berbuat. Ibarat kopi pahit yang terlanjur kita tuang kedalam air, janganlah berdoa semalaman untuk menyuruh Tuhan agar mengambil dan menyaringnya kembali. Tapi, Kitalah yang harus menambahkan air kedalam kopi itu, sehingga kadar larutan kopi berkurang–sehingga dengan demikian rasa pahitnya berkurang. Perbesarlah bejana kesadaran dan tuangkan air kebijaksanaan, kesucian dan karma baik kedalamnya. Demikian terus menerus, sehingga larutan kopi karma buruk yang pernah dibuat, akan larut dan tak terasa. 

Selamat Hari Raya Siwaratri…Itulah ceritera tentang Lubdaka dimana ceritra itu penuh makna dan arti. Seperti yang dikatakan Mpu Tanakung bahwa kita selayaknya dalam hidup ini selalu amuter tutur penehayu, yang artinya berusaha memutar kesadaran dengan cara yang tepat. Salah satunya adalah menjalankan brata siwaratri ini.


Dari cerita diatas Lubdaka adalah manusia biasa yang penuh dosa papa, mampu dengan secara kebetulan menjalankan ajaran / memuja Siwa di hari yang ratri, dan kebetulan itu akan mengingatkan kita bahwa hal tersebut akan terus dilakukan setiap tahun yaitu panglong ping 14 yang mana itu merupakan hari pemujaan Siwa, maka segala dosa yang pernah diperbuat mendapat pengampunan. Artinya, dosa-dosanya itu menjadi berkurang karena perbuatan yang baik.


1 komentar:

  1. The 15 Best Casinos In New Jersey - Mapyro
    1. 강원도 출장마사지 Red Rock Casino 속초 출장샵 Resort · 2. Casino 군포 출장마사지 Atlantic City · 3. Ameristar Casino Resort · 4. Atlantic City 전라북도 출장샵 Borgata · 5. Hard Rock Hotel & Casino 충청남도 출장안마 Atlantic

    BalasHapus