Minggu, 04 Januari 2015

Hindu Menyembah Berhala (Patung)




            Pertama-tama, kita jangan berpikir bahwa tak boleh terjadi suatu agama tanpa konsep tentang Tuhan. Jainisme Buddhisme dan mimamsa awal dianggap sebagai sistem Atheistik. Bahkan pada suatu tahap dari Samkhya tak ada tempat bagi adanya Tuhan, karena alam dunia mengalami perubahan tanpa ada yang menggerakan dan roh-roh individual jatuh kedalam belenggu dan juga beberapa diantaranya memperoleh pembebasannya sendiri tanpa suatu referensi pada Tuhan. Tetapi segala sistem Atheistik memiliki minat yang sangat besar dalam meningkatkan keberadaan supranatural dan transendental manusia. Dengan demikian kita berpendapat bahwa tak dapat terjadinya agama tanpa Tuhan.(Yayasan Sanatana Dharmasrama Surabaya,2000 : 28). Konsep pemujaan terhadap Arca atau patung Tuhan dan berbagai penjelman-Nya merupakan ciri pokok cara sembahyang dalam agama Hindu. Sebaliknya dalam ajaran agama lain cara tersebut dipandang sebagai sebuah jalan kesesatan. Islam dan kristen misalnya melarang keras pemujaan terhadap obyek sembahyang apapun yang diciptakan oleh manusia. Cara persembahyangan hindu dituduh sebagai pemujaan berhala. Berbagai pertanyaan muncul, masak sih, Tuhan seperti batu? Tidakkah kita membatasi Tuhan kalau kita puja dalam bentuk tertentu? Apakah kita tidak melecehkan Tuhan bila disamakan dengan batu? Apakah tuhan orang hindu terus-terusan lapar sehingga disuguhi aneka makanan? Apalagi melihat banten-banten di Bali yang diselipi Larutan, Pocari, cocacola apakah Tuhan kena dehidrasi?
            Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan itu mari kita membahas sedikit tentang Islam, bagaimana islam menganggap pemujaan patung adalah berhala. Menurut Dr. Akif Manaf Jabir (dalam Suryanto, 2006: 142)  dalam tradisi kuno bangsa-bangsa arab, diyakini bahwa ketika Allah mengusir  Adam dan Hawa dari sorga, Adam mendarat disebuah pegunungan Sri Lanka dan Hawa jatuh di gunung Arafat. Setelah mengembara selama seratus tahun, keduanya bertemu di Mekah. Atas petunjuk Allah kemudian Adam mendirikan sebuah tempat pemujaan yang disebut Ka’bah. Pada pondasi bangunan diletakan sebuah Hajar Al-aswad ( batu hitam) yang turut jatuh ke bumi pada saat mereka diusir dari surga. Menurut salah satu tradisi, batu itu semula berwarna putih, namun lama kelamaan berubah menjadi hitam, karena dosa-dosa peziarah yang menyentuh dan menciumnya. Hajar Al-Aswad itu kini berada dipojok tenggara, ditempatkan setinggi 1,5 meter dari tanah. Pada sudut yang berseberangan, terdapat batu lain yang berwarna kemerah-merahan ( Hajar As-Sa’Adah)  yang menjadi titik pusat ka’bah yang menandai arah qiblah, titik fokus kegiatan sembahyang. Dengan uraian diatas, jelaslah Ka’bah dibangun oleh Adam untuk tujuan pemujaan yang kemudian dikenal dengan rumah Allah (Al-Bayt Al-Haram). Dengan demikian, bangsa Arab Kuno percaya pada satu Tuhan dan memuja Tuhan Yang Maha Esa itu. Namun mereka juga percaya bahwa beberapa manusia tertentu memiliki hubungan yang istimewa dengan Allah dan memiliki kemampuan sebagai perantara untuk menarik perhatian dan pertolongan dari Allah. Akhirnya masyarakat Mekah membuat patung-patung orang suci dan saleh lalu memujanya. Suku-suku bangsa Arab Kuno mempercayai bahwa Allah telah mempercayakan berbagai urusan yang berhubungan dengan fungsi dan tugas mengurus alam semesta ini kepada berbagai Dewa dan dewi. Akhirnya banyak suku-suku menyembah patung Dewa dan Dewi namun sebagian dari mereka menyembah berhala.
            Berangsur-angsur, Ka’bah kehilangan pengaruhnya, untuk mengatasi hal itu penguasa kota Mekah  memutuskan untuk menempatkan sebuah patung yang perkasa dan berpengaruh bernama Hubal di dalam Ka’bah.( Talibov dalam Suryanto, 2006: 129). Untuk lebih menarik suku-suku bangsa Arab, orang-orang Mekah secara bertahap mengumpulkan banyak patung hingga terkumpul 360 berhala yang ditempatkan dalam Ka’bah dan halamannya. Dari sejarah bangsa Arab kuno tersebut dapat kita ketahui bahwa seiring berlalunya zaman, prinsip-prinsip agama sejati telah disimpangkan. Masyarakat Arab Kuno memuja segala benda dan segala sesuatu yang lain selain Tuhan. Sri Krishna menyatakan dalam Bhagavad-gita(4.7-8), “bila hal-hal yang bertentangan dengan dharma merajalela, Tuhan akan mengirimkan utusannya untuk menegakan kembali prinsip-prinsip dharma.” Dalam situasi seperti itu, di Semenajung Arab Nabi Muhammad S.A.W diturunkan untuk menegakan kembali prinsip-prinsip dharma. beliau menerima wahyu Al-Qur’an dan menjadi rasul Allah. Masyarakat yang menyembah berhala pada saat itu, dilarang keras untuk menyembah berhala oleh Nabi Muhammad. Namun seiring dengan berlalunya waktu, secara tradisi islam melarang pemujaan dan penyembahan terhadap bentuk apapun tanpa kecuali. Menurut Islam, penggambaran bentuk Allah diciptakan oleh setan dan disebut byut (berhala)\
            Selain dalam Al-Qur’an pelarangan pemujaan terhadap patung juga ditemukan dalam kitab injil, khususnya perjanjian lama yang merupakan kitab suci agama Yahudi, Kristen dan agama-agama yang serumpun. Dalam Exodus 20.3 terdapat perintah “ Kamu tidak boleh mempunyai Tuhan lain dihadapan-Ku”. Larangan itu dipertegas dalam ayat-ayat selanjutnya. Exodus 20.4-5) “ Kamu tidak akan membuat atasmu patung berhala, atau keserupaan apapun, yang ada disurga di atas, atau yang ada di atas bumi, atau yang ada dalam air ; kamu tidak akan tunduk pada mereka, tidak pula melayani mereka, karena aku Tuan Tuhanmu adalah seorang pencemburu”. Dalam hubungannya dengan kitab perjanjial lama, larangan pemujaan berhala muncul dalam konteks untuk mempertahankan pemuja Tuhan Yang maha Esa agar tidak tunduk dan menyembah Baals, Ishtars dan lain-lain yang merupakan nama-nama dewa pada masa itu. Dengan kata lain, terjadi berbagi pemujaan terhadap Dewa pada waktu itu dan dala upaya menghidari itu, diberikan larangan keras untuk memuja Tuhan- tuhan yang lebih rendah, termasuk pemujaan terhadap Arca.(Satyaraja & Rev. Hart (dalam Suryanto,2006: 136)
            Dari pandangan agama-agama diatas, lalu apakah Hindu menyembah berhala? Bukankah dalam Kitab Suci Weda tak ada pernyataan untuk memuja Patung? Bagian dari ajaran agama yang paling menonjol adalah aktivitas puja atau memuja Tuhan. Ketahuilah bahwasannya aktivitas apapun yang kita lakukan sesungguhnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan, sehingga noda yang kita lakukan dalam bekerja,bergaul, berpikir dan lainnya sama saja dengan noda pemujaan. Memang perbuatan baik bukanlah sistem kredit poin yang mesti dikumpulkan untuk bisa mendapatkan surga kelak setelah mati. Sebab kebaikan dan pemahaman kebenaran masing-masing orang berbeda menurut pengetahuan kecerdasannya. (Putrawan,2004; 50). Sebuah gambaran atau wujud perlu untuk pemujaan pada tahap awal yang merupakan simbol luar dari Tuhan. Gambaran material mengingatkan akan pemikiran mental. Kemantapan pikiran diperoleh dengan pemujaan gambaran. Si pemuja akan dihubungkan dengan pemikiran yang tak terbatas, Maha Kuasa, Maha Tahu, kemurnian ,kesempurnaan, kebebasan, kesucian, kebenaran an berada dimana-mana. Tak mungkin bagi semua orang memusatkan pikiran bagi yang mutlak atau tak terbatas sebab Tuhan bersifat Acintya. Wujud nyata diperlukan bagi masyarakat luas untuk melakukan konsentrasi. Dalam kitab suci Weda tak ada pernyataan untuk memuja patung, namun dalam kitab-kitab Purana dan Agama yang bersumber dari ajaran Weda banyak memberikan uraian tentang pemujaan patung. Pada dasarnya setiap orang adalah pemuja patung, gambaran mental juga merupakan suatu wujud atau patung. Perbedaannya bukan pada jenisnya tetapi tingkatannya. Semua pemuja, bagaimanapun kecerdasannya membangkitkan suatu wujud dalam pikiran dan membuatnya memikirkan gambaran tersebut.( Sivananda,2003:118-119)
            Menurut Prof. Diana Eck dari Harvard University, Amerika,” Seperti istilah ikon menunjukan makna keserupaan, begitu pula kata-kata pratikrti dan Pratima dalam bahasa sansekerta menunjukan makna keserupaan antara gambar atau patung dengan dewata yang dilambangkannya. Namun kata yang umum digunakan untuk menyebut patung seperti itu adalah Murti yang didefinisikan sebagai segala sesuatu yang memiliki bentuk dan batas tertentu, suatu bentuk, badan atau figur, sebuah perwujudan, penjelmaan, pengejawantahan. Jadi murti lebih dari sekedar keserupaan melainkan dewata sendiri yang telah mewujud. Pemakaian kata murti dalam Upanisad dan Bhagawadgita menunjukan bahwa bentuk atau wujud adalah hakekat atau esensi-Nya.”( Suryanto, 2006; 137). Patung merupakan simbol ke-Tuhanan. Seorang menyembah tidak menganggapnya sebongkah batu atau setumpuk logam, karena baginya itu adalah lambang Tuhan. Ia mewujudkan kehadiran penghunian dalam Murti atau gambaran tersebut. Semua orang-orang suci saiwa nayanar dari India Selatan mencapai realisasi Tuhan melalui pemujaan Lingga, sebagai gambaran Siwa. Bagi seorang pemuja gambaran adalah himpunan caitanya atau kesadaran, disitu ia menarik inspirasi dari gambaran tersebut dan gambaran itu menuntunnya dan berbicara kepadanya. (Sivananda,2003;125)
            Dalam Bhagavad-gita Sri Krishna bersabda,” Apapun cara manusia mendekati-Ku, demikianlah Aku menerimanya, manusia pada segala sisi mengikuti jalanku”. Radhakrisnan mengomentari hal itu “ Nama dan wujud digunakan untuk mencapai yang tak berwujud, meditasi pada wujud apapun yang disenangi dapat dipakai” (Yayasan Sanatana Dharmasrama Surabaya, 2000; 32). Kemajuan ilmu pengetahuan di abad ini seharusnya meyakinkan kita tentang kemuliaan pemujaan Murti. Bagaimana para penyanyi dan para penyair membatasi sebuah kotak kecil semacam itu disebut sebuah radio? Ia hanya sebentuk susunan mekanik tanpa kehidupan yang hancur menjadi ribuan keping bila dilempar dengan keras, namun bila kamu mengetahui bagaimana menaganinya, kamu dapat mendengarkan musik yang dimainkan beberapa mil jauhnya dari tempat siaran yang dipancarkan pada bagian terpencil di permukaan bumi ini. Bahkan kita dapat menangkap suara orang-orang diseluruh dunia melalui radio penerima, hal itu dimungkinkan untuk bercakap-cakap dengan Tuhan yang meresapi segalanya bergetar dari setiap atom penciptaan. Tak ada suatu perkataan tentang ruang dimana Dia tidak ada. Lalu mengapa kita mengatakan bahwa Tuhan tidak ada dalam patung(Murti).
Dalam Uddhava-gita , Sri Krishna menjelaskan tentang kemuliaan Arca Atau Murti sebagai berikut “ Seorang dvija harus menyembahku sepenuh hati, mempersembahkan berbagai perlengkapan dengan cinta bhakti kepada wujud-Ku sebagai Arca atau pada wujud-Ku yang muncul dalam tanah, dalam api, dalam matahari, dalam air, atau dalam hati penyembah itu sendiri.” (Bhagavatam 11.27.9). Bagi seorang bakta atau seorang pertapa tak ada benda apapun sebagai jada atau tak berjiwa. Para penyembah memandang sungguh-sungguh Tuhan ada di dalam patung(Murti). Narsi Mehta adalah pemuja Sri Krishna, Ia pernah dipuji oleh seorang raja. Raja berkata “ wahai Narsi, Bila Kamu seorang penyembah yang tulus dari Sri Krishna dan bila kamu mengatakan bahwa Sri Krishna adalah patung itu sendiri, coba gerakan patung tersebut!” sesuai dengan doa Narsi Mehta, maka patung tersebut bergerak. Tulsidas adalah seorang wedantin, ia mewujudkan intisari meresapi segalanya dan ia memiliki kesadara kosmik. Ia bersatu dengan yang merasa bersatu dengan yang meresapi segalanya, Tuhan yang tapa wujud. Namun kasih sayangnya pada Sri Rama dengan Busur di tangannya tidak lenyap. Ketika ia berada di Wrndawana dan melihat Murti Tuhan Krishna dengan seruling ditangannya, ia berkata ; Aku tidak akan membungkukan kepalaku pada wujud ini” seketika itu juga wujud Sri Krishna berubah menjadi wujud Sri Rama, barulah ia membungkukan kepalanya.( Sivananda,2003;126-127)
            Dari kenyataan-kenyataan diatas, kita dapat secara jelas menarik kesimpulan bahwa seorang pemuja dapat mewujudkan Tuhan melalui pemujaan Patung (Murti) dan hal itu bukanlah berhala selama yang dipuja merupakan perwujudan dharma(Tuhan). Pemujaan Tuhan dalam wujud saguna merupakan bantuan yang besar sekali dalam mewujudkan Tuhan dalam meresapi segalanya, juga aspek tanpa wujud dan bahwa pemujaan murti sangat penting guna keperluan konsentrasi dan meditasi serta pemujaann semacam itu sama sekali tidak menghalangi pencapaian kesadaran Tuhan.

Referensi;
Suryanto. 2006. Hindu Dibalik Tuduhan dan Prasangka. Yogyakarta : Narayana Smrti Press
Putrawan, I Nyoman.2004. Ceki Puja. Denpasar : Pustaka Bali Post
Sivananda, Sri Swami.2003. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya : Paramita
Yayasan Sanatana Dharmasrama. 2000. Studi Banding Antar Agama. Surabaya : Paramita


Jumat, 23 Mei 2014

Penciptaan Alam Semesta Dalam Lontar Ganapati Tattwa


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kalau kita perhatikan segala sesuatu yang ada di sekitar kita maka beraneka ragam benda, pemandangan yang indah dan mahluk hidup yang dapat kita lihat. Kesemuanya itu merupakan isi alam semesta atau Buana Agung yang dapat menimbulkan sebuah pertanyaan sederhana yang selalu menggelitik hati kita yaitu “Dari manakah asal mula segala sesuatu yang ada di alam semesta ini atau lebih sederhana lagi dan mana asal mula alam semesta ini yang dikenal pula sebagai Buana Agung dalam Agama Hindu?”.
Sejauh ini sains (ilmu pengetahuan modern) telah mempelajari segala sesuatu yang ada di alam raya ini (Bhuana Agung) dari berbagai aspek tapi belum dapat menjawab pertanyaan sederhana tersebut di atas. Telah dikemukaan berbagai teori tentang terbentuknya alam raya dan asal mahkluk hidup. Seperti Big Bong, Teori Generasio Spontania dan lain sebagamnya, semuanya itu juga tidak dapat menjawab pertanyaan di atas. Segala sesuatu yang ada dan yang akan ada di alam raya ini semuanya bersumber atau disebabkan oleh penyebab pertama atau sering disebut causa prima, itulah yang dipercaya sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Sada Siwa Tattwa bahwa Sada Siwa merupakan kesadaran kedua setelah Paramasiwa, ia bersifat wyapara yang berstana dalam padmasana yang disebut cadhusakti, dengan saktinya ia menciptakan seluruh alam semesta beserta isinya. Jadi causa prima itu adalah Sada Siwa.
Ajaran pokok dari Siwa Siddhanta adalah bahwa Siwa, merupakan realitas tertinggi, dan jiwa atau roh pribadi adalah dari intisari yang sama dengan Siwa. Dalam hal ini siwa digambarkan dalam bentuk cetana yang merupakan unsur widya    ( unsur kesadaran ), yaitu hakikat yang tidak terpengaruh oleh ketidaksadaran dan bersifar abadi, artinya bersifat kokoh tidak dapat digoyahkan, dan tidak dapat disembunyikan Ada tiga bentuk cetana yaitu : paramasiwatattwa, sadasiwatattwa, dan siwatattwa. Ketiga tattwa ini di sebut dengan cetana telu, yang merupakan tiga tingkat kesadaran. Paramasiwatattwa memiliki kesadaran tertinggi, sadasiwatattwa memiliki kesadaran menengah, sednagkan siwatattwa memiliki kesadaran terendah.
Tinggi rendahnya taraf kesadran itu tergantung pada kuat lemahnya pengaruh mayatattwa ( acetana ) terhadap cetanaRealita tertinggi disebut Siwa, yang merupakan kesadaran tak terbatas, yang abadi, tanpa perubahan, tanpa wujud, merdeka, ada dimana-mana, maha kuasa, esa tiada duanya, tanpa awal, tanpa penyebab, tanpa noda, ada dengan sendirinya, selalu bebas, selalu murni dan sempurna. Ia tak dibatasi oleh waktu yang merupakan kebahagiaan dan kecerdasan yang tak terbatas, bebas dari cacat, maha pelaku dan maha mengetahui. Sumber ajaran siva di Bali terdapat empat kelompok, yaitu weda, tattwa, etika, dan upacara. Salah satu sumber yang akan dibahas adalah Ganapati Tattwa yang termasuk sumber Siwa Siddhanta ke dalam kelompok Tattwa. Ganapati Tattwa ini adalah mengisahkan bagaimana percakapan Dewa Siwa dengan putranya yaitu Ganesha atau Ganapati terutamanya penciptaan alam semesta.
Ganapati Tattwa merupakan salah satu Lontar Tattwa, Lontar Filsafat Siwa, yang digubah dengan mempergunakan metode Tanya jawab. Tanya jawab tersebut ditulis di dalam 37 lembar daun tal yang disusun dalam 60 bait/prosa, menggunakan bahasa Sansekerta yang disertai dengan ulasan dalam bahasa Kawi. Ganapati, putera Siwa, adalah Dewa penanya yang cerdas. Dan Siwa adalah Maheswara, yang menjabarkan tentang ajaran Rahasia Jnana, menjelaskan tentang misteri alam semesta beserta isinya. Secara ringkas isinya dapat diuraikan sebagai berikut: Omkara adalah wujud sabda sunya, nada Brahman, asal mula Pancadaivatma : Brahma, Wisnu, Iswara, Rudra dan Sang Hyang Sadasiva. Pancadivatma merupakan asal Panca Tan Matra yang terdiri dari Rupa (unsur bentuk), Gandha (unsur bau), Rasa (unsur rasa/kenikmatan), Sparsa (unsur sentuhan), dan Sabda (unsur suara). Dari Panca Tan Matra munculah Panca Mahabutha yang merupakan unsur materi (elemen alam semesta) yang terdiri dari : Apah (air/benda cair), Teja(panas), Vayu (angin), Prthivi (tanah) dan Akasa (ether). Dari Panca Mahabutha ini alam semesta beserta isinya diciptakan, dan Sang Hyang Sivatma menjadi sumber hidup yang menggerakkan segala ciptaannya .


                                                                                                      Penyusun,



1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka ada beberapa hal yang akan dibahas dalam karya tulis ini antara lain :
1.      Apa saja pokok-pokok ajaran dalam Lontar Ganapati Tattwa?
2.      Bagaimana konsep penciptaan alam semesta menurut Lontar Ganapati Tattwa?


1.3  Tujuan
Adapun tujuan penyusunan karya tulis ini adalah sebagai berikut,
1.      Tujuan secara umum
Untuk berbagi pengetahuan kepada masyarakat pembaca tentang ajaran-ajaran yang tertuang dalam Lontar Ganapati Tattwa terutamanya yang kami sajikan yaitu Konsep Penciptaan Alam Semesta dalam Lontar Ganapati Tattwa.
2.      Tujuan khusus
a.       Untuk mengetahui pokok-pokok ajaran dalam Lontar Ganapati Tattwa.
b.      Untuk memahami konsep penciptaan alam semesta menurut Lontar Ganapati Tattwa


1.4  Manfaat
Manfaat yang diharapkan setelah penyusunan ini antara lain,
1.      Manfaat secara umum
Dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat pembaca tentang ajaran-ajaran yang tertuang dalam Lontar Ganapati Tattwa terutamanya yang kami sajikan yaitu Konsep Penciptaan Alam Semesta dalam Lontar Ganapati Tattwa.
2.      Manfaat Khusus
a.       Dapat mengetahui pokok-pokok ajaran dalam Lontar Ganapati Tattwa
c.       Dapat memahami konsep penciptaan alam semesta menurut Lontar Ganapati Tattwa





BAB II
Pembahasan

 Ganapati Tattwa merupakan salah satu Lontar Tattwa, Lontar Filsafat Siwa, yang digubah dengan mempergunakan metode Tanya jawab. Tanya jawab tersebut ditulis di dalam 37 lembar dau tal yang disusun dalam 60 bait/prosa, menggunakan bahasa Sansekerta yang disertai dengan ulasan dalam bahasa Kawi. Ganapati, putera Siwa, adalah Dewa penanya yang cerdas. Dan Siwa adalah Maheswara, yang menjabarkan tentang ajaran Rahasia Jnana, menjelaskan tentang misteri alam semesta beserta isinya. Terutama tentang hakikat manusia yaitu dari mana ia dilahirkan, untuk apa ia lahir, kemana ia akan kembali dan bagaimana caranya agar bisa mencapai kelepasan.

2. 1 Pokok-Pokok Ajaran Dalam Lontar Ganapati Tattwa
Ganapati Tatwa menggunakan bahasa Jawa Kuno yang juga diselingi dengan bahasa Sansekerta. Penyampaian ajaran Ganapati ini menggunakan dialog atau percakapan sebagaimana ditemukan dalam Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Sanghyang Mahajñanā, dan sebagainya. Tokoh yang ditampilkan  dalam Ganapati Tattwa adalah : Bhatara  Śiwa sebagai  Mahaguru yang memberikan pelajaran tentang hal-hal yang berhubungan dengan rohani yang  bersifat abstrak dan rahasia. Sedangkan Bhatara Gana  yang disebut pula  Sanghyang Ganapati atau Sanghyang Ganadipa berperan sebagai penanya yang ingin mengetahui  ajaran tentang kebenaran  terutama menyangkut sumber ciptaan yang ada serta proses kembalinya kepada sumber asalnya. Adapun pokok-pokok isi dialognya adalah sebagai berikut :
2.1.1. Penciptaan Alam Semesta
Sang Hyang Siwatman Menciptakan Alam Semesta Dari Unsur Panca Mahabutha Dalam bagian ini, akan di jelaskan bagaimana percakapan Sang Ganapati dengan Dewa Siwa. Dimana, Dewa Siwa memberikan wejangan bagaimana Sang Hyang SIwatman itu menciptakan alam semesta dari unsur Panca Maha Butha. Berawal dari perihal munculnya Panca Daiwatma, yang dijelaskan bahwa dari Omkara muncul Windu, bagaikan embun yang berada di ujung rambut/rumput, disinari matahari bening bagaikan dupa, sinarnya terang cemerlang berkilauan. Dari Windu itu muncullah Panca Daiwatma yaitu : Brahma, Wisnu, Rudra, Kami/daku dan Sang Hyang Sadasiwa. (Ganapati Tattwa,1.2) Kemudian tentang hakikat alam semesta, dari Panca Daiwatma lahir Panca Tanmatra, yaitu : dari Brahma lahir bau, dari Wisnu muncul unsur kenikmatan, dari Rudra timbul mode/bentuk, dari Daku (Iswara) keluar unsur rabaan, dari Sang Hyang Sadasiwa nada/suara. (Ganapati Tattwa, 1.4). Kemudian dari sabda timbul ether, dari sparsa muncul angin, dari rupa keluar sinar, dari rasa lahir zat cair, dan dari gandha timbul tanah. Dari perthiwi terwujudlah bumi, berkat apah muncul air, karena teja tercipta matahari, bulan dan bintang; karena wahyu adalah angin; dari akasa lahirlah tumbuh-tumbuhan seperti : rumput pohon kayu, tanaman melata, serba kulit kelopak dan inti serta segala makhluk yaitu : bianatang/ternak, burung, ikan makhluk halus; demikianlah keadaannya alam semesta itu. Setelah itu juga dijelaskan bagaimana perihal penjelmaan (kelahiran) manusia. Kelahiran manusia tidaklah berbeda dengan manifestasinya Dewa. beserta dengan penciptaan alam semesta, sebab manusia lahir dari Windu, awal mulanya Omkara; bagaimana wujudnya, yakni : Brahma dan Wisnu menciptakan badan jasmani, yang terbentuk dari unsur tanah dan zat cair; Rudra menciptakan alat pelihat (mata), yang terwujud dari sinar; Daku (Iswara) membuat pernafasan, yang berbentuk raba sentuhan; Sang Hyang Sadasiwa menciptakan bunyi/suara, yang terwujud dari unsur ether. (Ganapati Tattwa, 1.6).

2.1.2. Hubungan Gaib/Rahasia dari Sang Hyang Siwatma Alam semesta dan badan jasmani manusia adalah tunggal.
Sama seperti dalam hubungannya dengan keberadaan bhuana agung dan bhuana alit. Apa yang ada di alam semesta juga ada dalam tubuh jasmani manusia. Seperti halnya pada alam semesta, Brahma berstatus di selatan, memelihara tanah/bumi; Wisnu berstatus di utara memelihara zat cair/air; Rudra berstatus di barat, mengendalikan matahari, bulan dan bintang; Daku (Iswara) berstatus di timur mengatur udara/angin; Sang Hyang Sadasiwa berstatus di tengah, memelihara ether/atmosphere. Kalau dalam tubuh manusia, Brahma berstatus di muladhara, menghidupkan indra/jasmaniah, berhubungan dengan hidung, memerlukan bau; Wisnu berstatus di pusar/nawe, memelihara badan jasmani, berhubungan dengan lidah, memerlukan unsur kepuasan (rasa); Rudra berstatus di hati, mengatur kesadaran/tekad, berhubungan dengan pandangan mata, menentukan pikiran; Daku (Iswara) berstatus di kerongkongan/throat, mengendalikan ketiduran, berhubungan pada mulut, mengatur nada suara; Sang Hyang Sadasiwa berstatus di ujung lidah, menguasai segala pengetahuan, berhubungan dengan telinga, meneliti keadaan suara.(Ganapati Tattwa, 1.8). Begitulah keberadaan Daiwatma itu dalam tubuh jasmani dan alam semesta ini. Dalam bagian ini juga dijelaskan tentang muladhara, yang tempatnya diantara lubang dubur dan alat kelamin. Tentang perpaduan serta pembentukan manusia baru yang dilahirkan melalui perantara sang ibu. Dikatakan pula perihal tentang yang menghidupkan bayi itu dalam kandungan hingga adalam usia tuanya. Seperti dalam Ganapati Tattwa, 1.15 dijelaskan bahwa yang menjadi penghidupannya .

2.1.3. Sadanggayoga
Sadanggayoga adalah jalan untuk mencapai kelepasan. Adapun bagian dari Sadanggayoga, yaitu:
a. Pratyaharayoga
Segala tujuan kepuasan hawa nafsu yang dapat dikendalikan dengan ketenangan iman (pikiran) yang teguh, itulah yang dinyatakan Pratyahara. Pratyaharayoga artinya segala hubungan hawa nafsu itu terkekang, tiada dibbaskan pemuasannya, dikendalikan dengan kesadaran iman suci yang teguh, meskipun kurang mesra namun ada juga kejernihannya, surutnya pemuasan nafsu itulah yang disebut Pratyaharayoga. (Ganapati Tattwa, 4)
b. Dhyanayoga
Tanpa pasangan, tiada perubahan agitasi, tanpa koneksi, dan tetap juga tenang, maka system konsentrasi renungan berpikir yang demikian itulah yang disebut Dhyana. Dhyanayoa artinya system pemikiran yang tiada mendua tanpa perubahan, (selalu) tenang juga dalam suka dukanya, tiada pernah gelisah, tetap teguh tanpa terpengaruhi, kesadaran pemikiran yang menunggal itulah jadi perilakunya, demikianlah yang dimaksud Dhyanayoga. (Ganapati Tattwa, 5)
c. Pranayamayoga
 Isaplah udara dengan segala lubang lain yang tertutup dan terus konsentrasi kemudian keluarkan udara itu perlahan-lahan, inilah yang disebut system pelaksanaan Pranayama. Pranayamayoga artinya: tutupilah segala lubang mata, hidung, telinga dan mulut, namun terlebih dahulu isaplah udara, konsentrasi/tembuskan pada ubun-ubun, bila sudah terasa tegang/penuh terkendali biarkanlah keluar melalui lubang hidung secara perlahan-lahan;itulah yang disebut konsentrasi pengaturan nafas (Pranayamayoga). (Ganapati Tattwa, 6)   
d. Dharanayoga
Statuskanlah Omkara itu dihati dan konsentrasikan Siwatma (Sunyatma) dengan Siwatma (Sunyatmaka/Sunyasiwa) bila tiada terdengar sesuatu, demikianlah yang disebut Dharana. Dharanayoga berarti : secara spirituilnya sebagai simbolik bahwa Omkara itu ada di hati, yaitu sebagai pusat pengendalian pengaruh unsure jasmaniah bila tenang tiada lagi terdengar sesuatu dalam saat beryoga, maka dalam status beginilah Bhatara (Atma) dalam perwujudan Sunyasiwatma (menunggal) dengan Sumber Jiwa Alam Semesta/Sadasiwa. Demikianlah yang dimaksud Dharanayoga. (Ganapati Tattwa, 7)
e. Tarkayoga
Pikiran itu bagaikan tanpa suara diangkasa, terpisahnya suara dengan angkasa itulah sebenarnya tujuan pikiran yang suci (Paramartha), demikianlah Tarkayoga itu adanya. Tarkayoga artinya : bagaikan langit/angkasa kiranya pikiran suci (Paramartha) itu, yang tiada terpengaruhi sesuatu, sebab tak ada unsure suara padanya, begitulah simbulnya Paramartha, yang berlainan dengan angkasa udara, walaupun persamaannya sungguh serba jernih; demikianlah yang disebut Tarkayoga. (Ganapati Tattwa, 8)
f. Semadhiyoga
Tiada lalai, tanpa aktivitas, tanpa keperluan, tanpa pengakuan, tanpa keinginan, tidak terpengaruh, tanpa harapan; itulah yang disebut Semadhi. Semadhiyoga artinya: bhatin yang tidak lalai, tiada berharap, tanpa keakuan, tiada sesuatu yang diinginkannya, tak ada yang diperlukan, tenang tiada terpengaruh; itulah yang dinamakan Semadhiyoga. (Ganapati Tattwa, 9).

2.1.4. Catur Dasaksara
Untuk Caturdasaksara yang bagaikan bunga dengan keharuman tanpa surutnya, beliau bertahtah di hati, yang senantiasa daku sembah (seperti) Siwa. Di sana pada ulu hati keadaan Bhatara Siwa, pujalah beliau senantiasa dengan sarana Sang Hyang Caturdasaksara, bersimbolik seperti ini: SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG, MANG, SING, WANG, YANG, ANG, UNG, MANG: OM, itulah beliau Sang hyang Caturdasaksara, diumpamakan sebagai bunga yang mekar, harum semerbak tiada selingan, demikianlah pemujaanmu yang tekun setiap waktu. Dari Niskala lahir Nada, dari Nada muncul Bindu, dari Bundu muncul Bulan (semi), dari Bulan itu ada Wisnu/ dunia berulang-ulang. Tegasnya, yang Niskala melahirkan Nada. Dari Nada melahirkan Bindu, dari Bindu melahirkan Ardhacandra, dari Ardhacandra melahirkan Wisnu/ alam semesta, berulang-ulang pelaksanaannya; Wiswa berarti Sang Hyang Pranawa, Sang Hyang Pranawa sesungguhnya adalah omkara. Wiswa (alam) berpadu dengan Candra (semi bulan), Bindu dengan Nada, dari perpaduan itu senantiasa mewujudkan Omkara.Wiswa itu berpadu dengan Ardhacandra dan Bindu beserta Nada; energi hidup Ardhacandra dan Bindu serta Nada itu manunggal, selanjutnya menjadi Omkara.Wiswa melekat pada Candra, dan Candra menempel pada Bindu, serta Bindu kembali pada Nada, demikianlah perihal/ keadaan aktivitasnya. Wiswa itu bergantung pada Ardhacandra, Ardhacandra itu lebur dalam Bindu, Bindu itulah bergantung pada Nada, demikianlah halnya ajaran Filsafat dan Nada itu kembali ke Niskala. Niskala itu disebut dengan Maya Tattwa, itulah Pradhana (materi), pengembaliannya pada Nada, dan Niskala itu kembali ke Sunyantara, Sunyantara itu kembali ke Atyantasunya, sebagai pengembaliannya Niskala dan anakku Sang Ganadhipa, adapun yang dimaksud Utpatti (lahir), Sthiti (hidup) dan Pralina (lebur) itu ialah Sang Hyang Pranawa. Dari Siwa lahir Atma, karena Atma maka dari Prakrti muncullah Rawi (matahari), dari Rawi lahir Agni (panas/api). ING itulah disebut Siwa, dari siwa lahir Atma, BANG dari Atma lahir Pradhana/materiil, SANG dari Pradhana/Prakrti lahirlah matahari (Aditya), TANG, Aditya lahirlah Agni (api/panas),ANG. Demikianlah hal manifestasinya Sang Hyang Panca Brahma yaitu: ING, BANG, SANG, TANG, ANG. Prakrti itu dijiwai atma, dan karena Atma maka adalah matahari, adanya Agni menyusul setelah matahari; demikianlah ternyata Siwagni dalam keadaan Sthiti. Yang permulaan adalah SANG filsafatnya, selanjutnya BANG, kemudian TANG, terus ANG, dan akhirnya ING, inilah Sthitinya Sang Hyang Panca Brahma, urutannya adalah SANG, BANG, TANG, ANG, ING. (Ganapati Tattwa, 24-29).
Aksara Am itu disertai leh Aksara Tam, disertai oleh Aksara Sam, disertai Aksara Bam, disertai oleh Aksra Im. Demikianlah lahirnya Sang Hyang Panca Brahma urutannya adalah: Am, Tam, Sam, Bam, Im. Aksara Sam dan Bam lebur menjadi Aksara (aksara) A, sedangkan Aksara Tam dan Am lebur menjadi Uksara (aksara) U. Adapun aksara Im lebur mejadi Makara (aksara Ma). Dengan demikian Sang Hyang Panca Brahma (Am, Tam, Sam, Bam, Im) lebur menjadi Tyaksara (A, Um, Ma). Apabila Sang Hyang Tyaksara menyatu maka ia akn menjadi Omkara (aksara Om). Sesungguhnya aksara A itu berada di tengah, aksara Ma berada di atas, dan aksara U berada di bawah. Demikianlah pertemuan dari ketiga huruf itu membentuk aksara Om (Omkara). Aksara Yam, Wam, Sim, dan Nam adalah utpatti Sang Hyang Pancaksara. Aksara Sim, Wam, Man dan Yam adalah Sthiti Sang Hyang Pancaksara. Sedangkan aksara Nam, Mam, Sim, Wam, Yam, adalah Pralina sang Hyang Pancaksara. (Ganapati Tattwa, 30-33)

2.1.5. Lahirnya Tri Aksara
Dasaaksara dan Catur Dasaksara Aksara Ya dihilangkan dimasukkan pada aksara A (Aksara) pada tahap pertama. Tahap kedua masukkan aksara Tang (Siwa) pada aksara U (Ukara). Tahap ketiga aksara Ya (Yakara) dihilangkan menjadilah ia aksara Ma (Makara). Adapun aksara A (Aksara) dan aksara U (Ukara) apabila dilebur akan menjadi aksara O (Okara). Apabila aksara Ma (Makara) dihilangkan ia akan menjadi Bindu (Windu = titik) yang terletak diatas O (Okara). Demikianlah tatacara lahir (Utpati), pemeliharaan (Sthiti), dan peleburan (Pralina). Sang Hyang Panca Brahma dan Pancaksara. Pertama-tama aksara Ma (Makara) diikuti oleh aksara A dan selanjutnya diikuti oleh aksara U sebagai kelahiran Sang H yang Tri Aksara Mam, Am dam Um. Itulah tatacara sehingga menyebebkan mencapai sorga. Apabila aksara A dipakai permulaan kemudian diikuti oleh aksara U dan aksara Ma, sebagai pemeliharaannya Sang Hyang Tri Aksara Am, Um dan Mam. Itulah tatacara yang jiga dapat menyebabkan mencapai sorga. Adapun apabila dimulai dengan aksara U (Ukara) selanjutnya diikuti oleh aksara A dan terakhir aksara Ma, sebagai pelebur Sang Hyang Tryaksara Um, Am, dan Mam (akan mencapai) Sorga. Adapun aksara U lebur pada Bindu (windu=titik) dan Ardacandra. Sedangkan aksara Ma (Makura) lebur pada Nada. Nada itu terletak pada alam kosong. Demikianlah tatacaranya. Sampai pada hati Caturdasaksara. Inilah Sang Hyang Bhedajnana kuajarkan kepadamu anakku, oleh karena teramat rahasia sifatnya, karena itu tidak diketahui oleh dunia (masyarakat), apa sebabnya? Karena ia adalah rahasia tentang diri (kita), seandainya rahasia itu tidak diketahui mustahil akan dapat mencapai (dunianya) Siwa. Sesungguhnya asal diri manusia adalag Dewa (Dewa sarira) dan ia yang selalu menjaga Sang diri. Hal itu diketahui oleh Sang Pendeta yang merupakan pengetahuan rahasia tentang manusia, dari awal, pertengahan dan akhir, habis olehku mengajarkan kepadamu, oleh karena teramat sangat penting untuk diketahui. (Ganapati Tattwa, 34-41)

2.1.6. Pengetahuan Tentang Sang Hyang Bheda Jnana
Adapun murid yang dapat diberikan pengetahuan tentang Sang Hyang Bhedajnana adalah murid yang punya imam terhadap Dana ( sedekah), orang yang dapat mengendalikan nafsunya, dan mereka yang bersungguh-sungguh hendak melaksanakan Dharma, melaksanakan Bratha (mengurangi kepentingan hidup di dunia ini), dan pada murid yang berbakthi berguru. Umpamanya : adalah yoga yang di ajarkan oleh Sang Hyang Bhedajnana. Adapun tatacaranya demikian (lihat sloka 43). Ada tiga prilaku bagi orang yang mengutamakan (purusa) kebebasan seperti : ada yang mengikuti prilaku Sakala, Kawalasuddha dan Malinatwa. Ketiganya dijelaskan demikian. Sakala artinya berbadan tri guna (satwam, rajas, tamas). Kewalasuddha artinya melepaskan diri dari kebahagiaan (duniawi). Malinatwa artinya bebas dari sifat tri guna. Manowijnana badannya, artinya suci badannya. Jiwanya badan suci, dari sana menuju kesangsian, itulah yoga namanya. Sinyakara kaiwalya artinya orang yang tak ternoda oleh kebahagiaan duniawi aialah yang dianggap Siwa Suci. Tak lama kemudian, setelah senang terdiam hening pada badan yang suci, bebas dari nafsu keduniawian tanpa keraguan wujud yang kosong (itulah yang dimaksud) lenyapnya segala keinginan. Itulah yang disebut kesucian tertinggi (Paramisudha) karena lenyapnya (segala keinginan) lalu menggaib tanpa ragu-ragu. Kerjakanlah hal itu oleh dirimu sendiri. Kesimpulannya, pengetahuan suci yang tak ternodai (adalah) sarana untuk mencapai penyatuan diri dengan Sang Roh Yang Maha Agung. Tidak ada yang melebihi keinginan-keinginan yang tak ternoda oleh kesenangan duniawi. Orang demikian pasa saat mati rohnya (Sang Roh Yang Mempribadi) akan memperoleh kebahagiaan. Inilah yang dikatakan Purwadhakoti (awal dari sejuta kegelapan ) namanya, oleh karena tak terikat oleh karma dan penikmatan hasil perbuatan, karenanya mencapai nirwana ujar para Pendeta. Apa sarananya agar mencapai (nirwana) itu ? ada tiga sarana utama bagi orang yang mengutamakan kebebasan batin dimana sarana itu dapat mengantar kepada suatu keberhasilan. Ketiga sarana dimaksud adalah Wairagyaditraya, Pararogya dan Dhyanaditraya. Wairagyaditraya adalah mengadakan Bahyawairagya Parawairagya, Iswarapranindhana. Bahyawairagya artinya kawiratin . kawiratin artinya pendeta yang berilmu tinggi di masyarakat. Parawairagya artinya pendeta witaraga. Pendeta witaraga adalah pendeta ynang meninggalkan kesenangan hidup (keduniawian). Iswarapranindhana artinya sang pendeta ynang taat ayogaprawrtti. Ayogaprawrtti artinya pendeta yang taat melaksanakan pemujaan kepada tuhan. Dhyanaditraya artinya melakukan pranayama, dharana san samadhi. Pranayama artinya pemusatan dan pengaturan nafas. Dharana artinya pranawajnana artinya pemusatan bathin. Samadhi adalag Nirwyaparajnana yang artinya ingat pada tuntutan yang tampak. Itulah sarana untk menemukan Sang Hyang Bhedajnana. (Ganapati Tattwa, 42-44)

2.1.7. Proses Kembalinya Sang Roh ke Dasangulasthana
 Keberadaan Sang Hyang Sadhubhranti kelepasan, Sang Hyang Wyudbhranti disuruh menjelma kedunia, kemudian ada mantra pemisahnya. Hendaknya Tri Aksara itu teguh dilaksanakan olehmu (pasti) dicapai Sang Hyang Sadhubhranti, janganlah keliru (pasti) Sang Hyang Wyudbhranti ketemu. Banyak pertandanya, tetapi satu maksudnya, umpama : apabila engkau mendengar suara Ardhacandra Bindu Nada sekaranglah tiba saatnya kematianmu, janganlah engkau ragu-ragu , lepaskanlah segala kesetiaanmu dan hubungan dengan keluargamu lalu tutup pangkal nadi (pangkal peredaran darah), ineban (kerongkongan) dan semua lubang yang ada pada badan sambil melakukan pemusatan batin, dan pengaturan nafas artinya tutuplah pikiranmu. Janganlah berbuat sesuatu, apabila engkau bisa melaksanakannya dengan baik maka sang roh yang bersemayam pada dirimu akan meninggalkan badanmu. Sebagai jalan sang hyang pranawa ( sang roh yang mempribadi =atma) menuju Dwadasangulasthana (tempat yang terlettak jauh di atas 12 (jari) tingkatan), yang disebut tempat tak terlihat (niskala), tempat Bhatara Paramasiwa. Terbanglah ia sang roh yang mempribadi dari sana (sang diri), itulah yang disebut moksa. Tak lama kemudian setelah Sang Roh Yang Mempribadi terbang dari Dwadasangulasthana, patutlah sang roh yang mempribadi menjadi paramasiwa tatwa, kembali sebagai roh (roh yang maha agung), apa sebabnya demikian ? yang berasal dari sunya akan kembali pada paramasunya. Itulah sebabnya ketahuilah kelakuan itu oleh orang yang ingin mencapai kebebasan. Itulah sarananya untuk menemukan pengetahuan utama. (Ganapati Tattwa, 45-48)

2.1.8. Panglukatan Sang Ganapati
 Sarana Upakara beserta Mantranya Masyarakat Hindu di Bali mengenal upacara ngelukat atau melukat., yakni ritual pembersihan diri secara lahir dan bhatin atau sekala dan niskala. Upacara ini disebut melukat karena di dalamnya menggunakan tirtha atau air suci pangelukatan yang khusus dibuat untuk tujuan tersebut .Seperti dikemukakan dalam Ganapati Tattwa maka Ganesa atau Ganapati bisa dipuja untuk kepentingan pengelukatan. Tata cara upacara beserta mantram yang diucapkan oleh pemimpin ritual yang menyelenggarakan pengelukatan Ganapati, adalah sama dengan pelaksanaan ritual pengendalian hama dan penyakit tanaman maupun manusia. Inilah penglukatan (pembersihan) Ganapati, boleh digunakan di sekeliling (yang hendak dibersihkan), bahannya bambu Ampel Gading digambari Gana, tangan kirinya memegang Cakra, tangan kanan memegang Gada. Disertai dengan upakara : ajuman putih kuning, suci satu, dagingnya bebek (itik) putih jambul, airnya ditempatkan pada sangku tembaga yang diisi kembang Sudamala serta peras sesantun diisi uang (sesari) 1.100, samsam daun Katima. Bambu Ampel Gading yang telah digambari Gana itu dimasukkan pada sangku yang berisi air. Setelah dipuja gunakanlah pada tempat yang terserang hama. (Ganapati Tattwa.48-60)

2.2 Penciptaan Alam Semesta Menurut Ganapati Tattwa
. Tokoh yang ditampilkan  dalam Ganapati Tattwa adalah : Bhatara  Śiwa sebagai  Mahaguru yang memberikan pelajaran tentang hal-hal yang berhubungan dengan rohani yang  bersifat abstrak dan rahasia. Sedangkan Bhatara Gana  yang disebut pula  Sanghyang Ganapati atau Sanghyang Ganadipa berperan sebagai penanya yang ingin mengetahui  ajaran tentang kebenaran  terutama menyangkut sumber ciptaan yang ada serta proses kembalinya kepada sumber asalnya. Adapun isi dialognya adalah sebagai berikut :
                  Pada awal mulanya dilukiskan tidak ada apa-apa yaitu :  tidak ada bumi, tidak ada langit, tidak ada sunia,  tidak ada  ilmu pengetahuan dan sebagainya. Yang ada hanyalah  Tuhan Yang Maha Esa dalam keadaan Nirguna, Sukha, Acintya yaitu berkeadaan  Maha bahagia  yang tidak terpikirkan. Kemudian terjadilah  evolusi dari  Sanghyang Sukha Acintya dan muncullah Sanghyang  Jñanā Wisesa yaitu  pengetahuan yang mulia. Ia berbadankan alam semesta, tetapi tidak ternoda, tidak terpengaruhi oleh apapun, tak terjangkau karena Ia berkeadaan Wisesa, Maha Kuasa. Ia juga disebut Sanghyang Jagat Karana,  karena  memiliki ilmu pengetahuan yang maha kuasa dan sebagai penyebab dunia atau alam semesta dengan segala isinya. Disinilah Ia menampilkan  diriNya dalam aspek Saguna. Kemudian timbul keinginan beliau untuk  menyaksikan keadaanNya sendiri yang berkeadaan Sekala-Niskala, itulah sebabnya beliau menciptakan yang berkeadaan nyata (paras) dan yang berkeadaan tidak nyata (para) dan sunia sebagai bayanganNya sendiri.
Sanghyang Jagat Karana bersemayam dalam sunia. Dari sanalah Beliau mengadakan ciptaan-ciptaanNya dan selanjutnya  secara berturut-turut, seperti : Ongkara Suddha, Suara, Windu Prana Suci yang didalamnya  terdapat  Nada Prana Jñanā Suddha. Dari Windu lahir Panca Dewata atau Panca  Dewa Atma yaitu Brahma, Wisnu, Rudra, Iswara dan Sanghyang Sada Siwa, yang akan menjadi sumber ciptaan selanjutnya. Dari kelima Dewa tersebut, maka Brahma, Wisnu, dan Siwalah yang dipandang  sebagai badan  perwujudan  Tuhan itu sendiri. Sedangkan  Tuhan Yang Maha Esa (Śiwa) yang tidak terpikirkan  dan Acintya dilukiskan berada dalam batin atau  hati yang suci yang disebut : “Gūhyalaya”.  Dalam Lontar dijelaska sebagai berikut :
gaṇapatiḥ śiwam pṛcchad ganggomayoḥ siddhārthadaḥ
dewagaṇaguruḥ putraḥ śaktiwīryyālokaśriyai
Artinya,
Ganapati mohon direstui petunjuk yang jelas kehadapan Dewa Siwa beserta permaisurinya Dewi Uma(dan Gangga : Dewa Gana adalah putra gurunya yang sakti mulia sebagai Pengatur Kesejahteraan Alam Semesta.
            Dalam ajaran Bhuwana Kosa Tuhan atau sang pencipta disebut Bhatara Siva. Bhatara Siva adalah Maha Esa, tanpa bentuk, tanpa warna, tak terpikirkan, tak tercampur, tak bergerak, tak terbatas, bersemayam dalam hati setiap makhluk, tanpa awal, tanpa pertengahan dan tanpa akhir serta kekal abadi. Bhatara Siva adalah asal dari segala yang ada, Alam semesta (Bhuwana Agung) dengan segala sinya dan manusia (Bhuwana Alit) adalah ciptaan-Nya. Semua Ciptaan-Nya bersifat wujud maya yang bersifat tidak kekal karena dapat mengalami kehancuran. Pada saat mengalami kehancuran semua ciptaan-Nya itu kembali kepada-Nya karena ia adalah asal dan tujuan semua yang ada ini. Seperti dikatakan dalam Bhuwana Kosa “Mijil sakeng sira lina ri sira muwah” artinya datang dariNya (Siva), dan akan kembali pula kepadaNya.” Hal ini berarti, walaupun Bhatara Siva bersifat tak terbatas digambarkan juga secara terbatas, karena itu Ia sering disebut dengan nama yang berbeda-beda seperti Brahma, Wisnu, Iswara, Rudra sesuai dengan tugas dan fungsinya.
  Dalam Wrhaspati Tattwa dijelaskan bahwa Siwalah realitas tertinggi. Dalam hal ini siwa digambarkan dalam bentuk cetana yang merupakan unsur widya ( unsur kesadaran ), yaitu hakikat yang tidak terpengaruh oleh ketidaksadaran dan bersifar abadi, artinya bersifat kokoh tidak dapat digoyahkan, dan tidak dapat disembunyikan Ada tiga bentuk cetana yaitu : paramasiwatattwa, sadasiwatattwa, dan siwatattwa. Ketiga tattwa ini di sebut dengan cetana telu, yang merupakan tiga tingkat kesadaran. Paramasiwatattwa memiliki kesadaran tertinggi, sadasiwatattwa memiliki kesadaran menengah, sednagkan siwatattwa memiliki kesadaran terendah. Tinggi rendahnya taraf kesadran itu tergantung pada kuat lemahnya pengaruh mayatattwa ( acetana ) terhadap cetana. Paramasiwatattwa bebas dari pengaruh mayatattwa, sadasiwatattwa dipengaruhi sedang – sedang saja, sedangkan siwatattwa sangat dipengaruhi oleh mayatattwa. Paramasiwatattwa adalah bhatara siwa yang niskala, Tuhan yang serba tidak, tidak terikat oleh ruang dan waktu, memenuhi alam semesta, sama sekali tidak terpengaruh oleh mayatattwa, kerena itu disebut dengan nirguna brahma. Ia adalah perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi, tanpa aktivitas.
Bhatara Ganapati awal mulanya bertanya tentang keadaan dan sumber Panca Daiwatma sebagai berikut :
nihan pitutur ira bhaṭāra śiwa, ri sang hyang gaṇa. sĕmbah ning tanaya ra sanghulun, ring bhaṭāra, hanta warahana tanaya ra sanghulun, lamakane wruh ri kawijilan ing pañcadaiwātmā, saking ndi pawijilan ira, ya ta warahana patik sanghulun
Artinya,
Beginilah nasehat-Nya Bhatara Siwa terhadap Sang Hyang Gana “ Sembah hamba putra paduka kehadapan Bhatara, tolonglah hendaknya berkati beritahukan hamba putra tuanku, agar supaya dapat mengetahui prihal keadaannya Panca Daiwatma itu, dari manakah sumber-Nya,itulah hendaknya jelaskan pada hamba putra tuanku!”

īśwara uwāca ,anaku sang gaṇapati piṛngwākna pawarah kami ri kita, ikang śabda śūnya, sakeng oṃkāra mijil bindu, kadi ĕbun hana ri āgra ning kuśa, kasĕnwan rawi, mahning kadi dhūpa, dīpta nira mābhrākarakāra, sakeng bindu matmahan pañca daiwata, brahmā, wiṣṇu, rudra, kami, mwang sang hyang sadāśiwa, mangkanānaku, makapawijilan ing daiwātmā.(Ganapati Tattwa. 2)
Artinya,
Iswara bersabda,”Putraku Sang Ganapati, perhatikanlah wejangan-Ku ini untukmu, yakni sabda spiritual (gaib) : dari OM-kara muncul Windu bagaikan embun yang berada diujung rambut/rumput, disinari matahari bening bagaikan dupa, sinarnya terang cemerlah berkilauan. Dari Windu munculah Panca Daiwatma (yaitu) : Brahma,Wisnu,Rudra, Kami/Daku, dan Sanghyang Sadasiwa. Demikianlah putraku prihal keadaannya Panca Daiwatma itu.”(Pusdok : 27)
Awal dari OM-Kara dapat kita runut dari Panca Brahma. ING itulah disebut Siwa, dari siwa lahir Atma, BANG dari Atma lahir Pradhana/materiil, SANG dari Pradhana/Prakrti lahirlah matahari (Aditya), TANG, Aditya lahirlah Agni (api/panas),ANG. Demikianlah hal manifestasinya Sang Hyang Panca Brahma yaitu: ING, BANG, SANG, TANG, ANG. Prakrti itu dijiwai atma, dan karena Atma maka adalah matahari, adanya Agni menyusul setelah matahari; demikianlah ternyata Siwagni dalam keadaan Sthiti. Yang permulaan adalah SANG filsafatnya, selanjutnya BANG, kemudian TANG, terus ANG, dan akhirnya ING, inilah Sthitinya Sang Hyang Panca Brahma, urutannya adalah SANG, BANG, TANG, ANG, ING. (Ganapati Tattwa, 24-29).
Aksara Am itu disertai oleh Aksara Tam, disertai oleh Aksara Sam, disertai Aksara Bam, disertai oleh Aksra Im. Demikianlah lahirnya Sang Hyang Panca Brahma urutannya adalah: Am, Tam, Sam, Bam, Im. Aksara Sam dan Bam lebur menjadi Aksara (aksara) A, sedangkan Aksara Tam dan Am lebur menjadi Uksara (aksara) U. Adapun aksara Im lebur mejadi Makara (aksara Ma). Dengan demikian Sang Hyang Panca Brahma (Am, Tam, Sam, Bam, Im) lebur menjadi Tyaksara (A, Um, Ma). Apabila Sang Hyang Tyaksara menyatu maka ia akn menjadi Omkara (aksara Om). Sesungguhnya aksara A itu berada di tengah, aksara Ma berada di atas, dan aksara U berada di bawah. Demikianlah pertemuan dari ketiga huruf itu membentuk aksara Om (Omkara). 
Swami Dayananda Saraswati, pendiri Arya Samad di India, menyataan bahwa panggilan Tuhan yang pertama-tama dan yang tertua adalah dengan mengucapkan Omkara. Tuhan memang tanpa nama, tanpa rupa karena pada hakikatnya semuanya yang nyata ini adalah perwujudan Tuhan. Artinya apa pun yang ada ini sesung guhnya adalah ciptaan Tuhan. Karena tidak bernama maka manusia ciptaan Tuhan diteladani oleh para resinya memanjatkan doa pujian pada Tuhan dengan ucapan Omkara.  Tuhan pada hakikatnya maha tahu. Pengucapan Omkara sebagai media pemanggilan Tuhan bukanlah untuk Tuhan, tetapi untuk mereka yang memanggil Tuhan agar merasa bahwa Tuhan sudah mereka puja dengan pengucapan Omkara tersebut. Saat manusia berniat saja untuk memanggil-Nya, Tuhan sudah mahatahu sebelumnya.
Demikianlah menurut keyakinan Hindu. Dalam Manawa Dharmasastra II.83 dan 84 dinyatakan bahwa Eka Aksara Om adalah Brahman yang tertinggi. Ketahuilah bahwa Omkara itu kekal abadi dan itu adalah Brahman penguasa semua ciptaan. Dalam Manawa Dharmasastra II.76 dinyatakan bahwa Aksara Omkara itu berasal dari aksara, A, U, M. dari suara tiga Veda dan inti dari Vyahrti Mantra.  Yang dimaksud dengan Vyahrti Mantra itu adalah Bhur, Bhuwah dan Swah. Yang mengupas tiga Veda dan Vyahrti Mantra menjadi aksara A, U dan M itu adalah Prajapati yaitu Tuhan sebagai rajanya makhluk hidup. Yang dimaksud dengan ketiga Veda itu adalah Reg, Sama dan Yajur Veda. Dari penyatuan aksara, A, U dan M itulah bersenyawa menjadi aksara Omkara yang juga disebut Pranava Mantra.
Karena itu, Omkara itu juga disebut Vijaksara Mantra artinya biji aksara asal mulanya Mantra Vda. Kata Aksara dalam bahasa Sansekerta artinya yang kekal abadi. Ini berarti tujuan Tuhan menurunkan Aksara adalah untuk menyebarkan ajaran suci Tuhan yang kekal abadi itu.
            Menurut I Made Arsa Wiguna,SST.Par,M.Pd.H,(Dosen Filasat di IHDN Denpasar) Windu(bindu) merupakan unsur/lambang api. Windu juga berarti titik yang berada diatas aksara O (Okara)(Ganapatitatwa, 37). Selain itu juga diatas dijelaskan tentang Panca Daiwatma yaitu lima dewa yang muncul dari windu diantaranya Brahma,Wisnu, Rudra, Iswara dan Sadasiwa.
gaṇapati uwāca, sĕmbah ning tanaya ra sanghulun, hanta muwah warahana ri prakāśa ning bhuwana, lamakane wruha rānak rahadyan sanghulun. ( Ganapati Tattwa, 3)
 īśwara uwāca, anaku sang gaṇapati, mangke piṛngwākna pawarah kami, umajarakna ri katattwan ing bhuwana, sakeng pañcadaiwātmā mijil pañcatanmātra, lwirnya, sakeng brahmā mijil gandha, sakeng wiṣṇu mijil rasa, sakeng rudra mijil rūpa, sakeng kami mijil sparśa, sakeng sang hyang sadāśiwa mijil śabda| mwah sakeng śabda mijil ākāśa, kayeki rūpa nira ya, warṇṇa kadi śuddhasphaṭika, sakeng sparśa mijil wāyu, kayeki rūpa nira wīl śweta awarṇṇa, sakeng rūpa mijil teja, kayeki rūpa nira nī, warṇṇa śweta, bang, iṛng, sakeng rasa mijil āpah, kayeka rūpa nira o māye, kṛṣṇa warṇṇa nira, sakeng gandha mijil pṛthiwī, kayeki rūpa nira oṃ, warṇṇa pīta, nakārākṣaranya, śāstra ning hurip oṃkāra, mwah anaku sang gaṇapati, sakeng pṛthiwī mijil bhūmi, sakeng āpah mijil wwai, sakeng teja mijil ta ng āditya, candra, lintang, sakeng wāyu mijil ta ng angin, sakeng ākāśa mijil swara, sakeng bhuwana mijil sthāwara, tṛṇa, taru, latā, gulma, twaksāra, mwang janggama, paśu, pakṣī, mīna, aghnyā, mangkana lwir ning bhuwana.( Ganapati Tattwa, 4)

Artinya,
Ganapati berkata, “Sembahnya hamba putra paduka, selanjutnya beritahukanlah lagi perihal awal-mula adanya alam semestaagar dapat hendaknya putra tuan-Ku putra paduka mengetahuinya”.

Iswara bersabda, “Putraku Sang Ganapati, kini perhatikanlah pemberitahuanku, hendak menjelaskan hakekat alam semesta. Dari Panca Daiwatma lahir Panca Tan-Matra yaitu : Dari Brahma lahir bau,dari Wisnu muncul unsur kenikmatan, dari Rudra timbul mode/bentuk, dari Daku(Iswara) muncul unsur rabaan,dari Sang Hyang Sadasiwa nada/suara. Lagi pula dari sabda timbul ether, seperti YA ini rupanya,berwarna bagaikan mutiara bening, dari sparsa muncul angin begini rupanya WI,berwarna putih,dari rupa keluar sinar, seperti NI ini modenya, berwarna putih, merah, hitam, dari rasa lahir zat cair, berupa begini sebagai O-MA-YE, hitam warnanya, dari gandha timbul tanah bermode bagaikan OM, warnanya kuning,NA bentuk hurufnya, berkode spiritual OM-kara. Dan lagi putraku Sang Ganapati, dari perthiwi terwujudlah bumi, berkat apah muncul air, karena teja tercipta matahari,bulan dan bintang,oleh karena wayu adalah angin, dari akasa lahirlah bunyi suara, berkat alam semesta lahirlah tumbuh-tumbuhan (seperti) rumput,pohon kayu,tanaman melata, serba kulit kelopak dan inti, serta segala mahluk (yaitu) binatang/ ternak, burung ikan mahluk halus, demikianlah macamnya alam semesta.
Segala sesuatu yang ada dan yang akan ada di alam raya ini semuanya bersumber atau disebabkan oleh penyebab pertama atau sering disebut causa prima, itulah yang
dipercaya sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Sada Siwa Tattwa bahwa Sada Siwa merupakan kesadaran kedua setelah Paramasiwa, ia bersifat wyapara yang berstana dalam padmasana yang disebut cadhusakti, dengan saktinya ia menciptakan seluruh alam semesta beserta isinya. Jadi causa prima itu adalah Sada Siwa. Alam raya atau Bhuana Agung ini disusun dan anasir dasar Panca Mahabhuta, yaitu prethiwi, apah, teja, bayu dan akasa, yang menentukan keberadaan alam semesta beserta isinya. Panca Mahabhuta sebagai penyusun alam semesta (Buana Agung) bersumber dari dua azas yang sangat sukma, gaib dan abadi yaitu Cetana dan Acetana yang juga disebut sebagai sebab mula terciptanya segala yang ada (causa prima). Seperti yang tertuang dalam sloka diatas, bahwa setelah muncul Panca Daiwatma dari Windu kemudian lahir unsur Panca Tan-Matra dari Panca Daiwatma itu. Panca Tan Matra merupakan lima keadaan yang sangat halus yaitu:
1. Sabda tan matra yaitu unsur nada/suara
2. Sparsa tan matra yaitu unsur rabaan
3. Rupa tan matra yaitu unsur bentuk
4. Rasa tan matra yaitu unsur kenikmatan
5. Ganda tan matra yaitu unsur bau
Dari Panca Tan Matra melahirkan Panca Mahabhuta yaitu akasa, bayu, teja, apah dan perthiwi merupakan lima anasir dasar yang dijadikan penyusun alam semesta ini, keberadaannya berstruktur dan yang paling atas yaitu akasa paling halus makin bawah yaitu bayu, teja, apah semakin kasar dan perthiwi yang paling di bawah paling kasar.
1 Akasa(ether) lahir dari sabda tan matra
Akasa paling diatas merupakan Panca Mahabhuta yang paling halus berupa ruang kosong yang hampa, sunya tidak berwujud dan tidak tampak. Akasa sebagai anasir dasar penyusun alam semesta berperan sebagai ruang wahana atau tempat keberadaan segala yang ada dan terjadi di alam semesta ini. Alam raya ini terbentuk dan satu ruang yang kosong yang hampa yang tak terbatas luasnya dimana semua isi alam semesta ini seperti planet-planet dan mataharinya, semua materi atau benda-benda yang ada dan semua mahluk hidup berada di dalamnnya. Akasa merupakan ruang kosong pembentuk alam semesta.
2. Bayu(angin) lahir dari sparsa tan matra
Bayu inipun masih halus, karena rupa, tapi ada tanda-tanda yang dapat menerangkannya misalnya, benda bergerak maka gerakan benda itu sendiri adalah tanda adanya bayu dalam benda itu. Dibandingkan dengan akasa bayu lebih kasar karena letaknya lebih di bawah, Bayu sebagai anasir dasar penyusun alam semesta berperan sebagai tenaga penggerak (energi) semua peroses yang terjadi dan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, seperti benda-benda yang ada di sekitar kita sampai bend a planet yang ada diluar angkasa semua bergerak tidak ada yang diam. Gerakannya bermacam-macam ada gerak rotasi, gerak translasi, gerak vibrasi dan sebagainya. Semua gerakan itu disebabkan oleh bayu sebagai tenaga penggeraknya.
3 Teja (api/sinar) lahir dari rupa tan matra
Teja berada di bawah bayu maka lebih kasar daripada bayu. Teja keberadaannya berupa sinar atau cahaya yang tidak berwujud sehingga tidak dapat disentuh jadi masih halus tapi sudah tampak atau dapat dilihat sedangkan bayu keberadaannya tidak dapat dilihat.
Teja sebagai anasir dasar pembentuk alam semesta berperan sebagai pembentuk sinar yang menyinari segala benda atau isi alam materi yang ada di alam ini dapat dilihat (tampak) dengan mata. Segala sesuatu yang dapat bersinar di alam ini dominan sebagai pembentuk alam ini, misalnya matahari yang bersinar terang merupakan benda (isi) alam semesta yang dapat mengeluarkan teja yang amat besar dan dalam dirinya demikian juga isi alam lainnya yang besinar.
4. Apah(zat cair)  lahir dari rasa tan matra
Apah sudah kasar karena sudah dapat berwujud walau wujudnya dapat berubah-ubah sesuai dengan tempatnya. Apah sebagai anasir dasar penyusun alam semesta berperan sebagai pembentuk cairan yang menyusun alam semesta beseta isinya. Segala yang cair seperti air, minyak, alkohol, cairan pada tubuh dan lain-lain yang berada di alam ini merupakan peran apah sebagai pembentuk alam semesta.
5 Perthiwi (tanah) lahir dari gandha tan matra
Perthiwi paling bawah sehingga paling kasar, wujudnya sudah tetap (padat). Perthiwi sebagai anasir dasar paling kasar penyusun alam semesta keberadaannya berperan untuk menentukan wujud benda-benda atau isi alam dan wujudnya padat yang tetap.

Demikian alam semesta ini disusun dan lima unsur dasar Panca Mahabhuta, tetapi yang paling dominan adalah perthiwi sehingga batu itu padat dan juga terciptanya bumi, air juga demikian yang paling dominan unsur dasar Panca Mahabhuta adalah apah, matahari,bulan dan bintang unsur Panca Mahabhuta yang dominan adalah teja(api), suara/bunyi unsur Panca Mahabhuta yang dominan adalah akasa dan angin unsur Panca Mahabhuta yang dominan adalah bayu. Kandungan akasa yang dominan menyebabkan keberadaan sesuatu dalam bentuk ruang, menyebar. Kandungan bayu yang dominan menyebabkan keberadaan sesuatu dalam bentuk gerak atau benda bergerak. kandungan apah yang dominan menyebabkan keberadaan sesuatu dalam bentuk benda padat. Kandungan yang dominan itu bisa lebih dan satu unsur Mahabhuta dalam suatu benda atau isi alam, misalnya kandungan apah dan prethiwi yang dominan menyebabkan keberadaan dalam bentuk padat cair (kental). berkat alam semesta lahirlah tumbuh-tumbuhan (seperti) rumput,pohon kayu,tanaman melata, serba kulit kelopak dan inti, serta segala mahluk (yaitu) binatang/ ternak, burung ikan mahluk halus, demikianlah macamnya alam semesta..
            Dalam sloka 25 selanjutnya dijelaskan tentang penciptaan alam semesta tersebut sebagai berikut ;
Niṣkalāj jāyate nādo nādād biṇdhusamudbhavah, bindoś candrasamudbhavaś candrād visvah punah-punah
Kalinganya, ikang niskalāmijalakên nāda, sakeng nāda ngamijilakên bindhu, sakeng bindhu ngamijilakên ardhacandra, sakeng ardhacandra ngamijilakên wiśwa ngaran Sang Hyang Praṇawa, Sang Hyang Praṇawa jātinya Omkāra. (Ganapati Tattwa, 25)
Artinya,
Dari Niskala lahir nada , dari nada muncul bindu, dari bindu lahir bulan (semi) dari bulan itu ada wisnu/ dunia berulang-ulang.
Tegasnya, yang Niskala itu melahirkan nada, dari nada melahirkan bindu, dari bindu melahirkan ardhacandra, dari ardhacandra melahirkan wiswa/alam semesta, berulang-ulang pelaksanaannya ; wiswa berarti Sang Hyang Pranawa, Sang Hyang Pranawa sesungguhnya adalah Om-kara.
Sesuai dengan sloka diatas bahwa dari niskala lahirlah nada(benih suara),dari nada kemudian melahirkan bindu,dari bindu melaihirkan ardhacandra, dan dari ardhacandra melahirkan wiswa (alam semesta). Seperti itulah penciptaan alam semesta secara berulang ulang. Lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut,
wiśwah pralīyate candre candraś ca līyate bindau|
binduś ca līyate nāda ity etat kramalakṣaṇam||27||

ikang wiśwah umĕt ringng ardhacandra| ikangng ardhacandra līna ring bindu| ikang bindu ya ta umĕt ring nāda| nahan tang lakṣaṇa ning tattwa|| mwang ikang nāda mulih maring niṣkala| niṣkala ngaran māyātattwa| pradhāna ika makolihan ing nāda|| mwah ikang ningkala mulih maring śūnyāntara| ikang śūnyāntara mulih mari ng atyantaśūnya| makolihan ing niṣkala|| mwah anaku sang gaṇapati| ikang ingaranan uutpatti sthiti pralīnan sang hyang praṇawa||
Artinya,
Wiswa melekat pada candra, dan candra menempel pada bindu, serta bindu kembali pada nada , demikianlah perihal/keadaan aktivitasnya.

Wiswa itu bergantungan pada ardhacandra, ardhacandra itu lebur dalam bindu, bindu itulah bergantungan pada nada, demikianlah halnya ajaran filsafat, dan nada kembali ke niskala. Niskala itu disebut mayatattwa , itulah pradhana (materi), pengembaliannya pada nada , dan niskala itu kembali ke sunyantara, sunyantara kembali ke atyantasunya, sebagai pengembaliannya niskala dan anakku Sang Ganadhipa, adapun yang dimaksud Utpatti(lahir), Sthiti (hidup), dan Pralina (lebur) itu yalah Sanghyang Pranawa.(Ganapati Tattwa, 27)

 Dalam sloka 27 dijelaskan bahwa niskala itu adalah maya tattwa(Acetana). Acetana berarti ketidaksadaran atau ketidaktahuan. Dalam Wrhspati tattwa disebutkan acetana ngaranya ikang tanpa jnana, kadyangga ning watu. Cetana dan acetana adalah asal mula yang sama halus dan gaibnya, ia adalah dua hakekat berpasangan yang beroposisi. Akan tetapi karena acetana adalah yang tidak berkesadaran ia disebut maya tattwa, maka ia diposisikan dibawah cetana (hilang kasor nikang maya tattwa dening Siwatattwa). Rupanya yang menjadi kata kunci adalah kata kasor, berasal dari akar kata sor artinya lebih rendah, kalah, dikalahkan, substansi yang berada di bawah.
Śiwād utpadyate catmātmanah prakertis tatah, prakertes tu ravir jāto raveś cāgniś ca jāyate.
Ikang im, ya ta sinangguh śiwa,sakeng śiwa mĕtu tang atma, bam, sakeng ātmā mêtu tang prakerti, sam, sakeng prakrti mêtu tang āditya, tam, sakeng āditya mêtu tang āgni ,am, nahan tang utpatti sang hyang panca brahma, im,bam, sam, tam, am, kramanya.( Ganapati Tattwa, 28)
Artinya,
Dari Siwa lahir Atma, karena Atma maka dari Prakrti muncullah Rawi (matahari), dari Rawi lahir Agni (panas/api).
ING itulah disebut Siwa, dari siwa lahir Atma, BANG dari Atma lahir Pradhana/materiil, SANG dari Pradhana/Prakrti lahirlah matahari (Aditya), TANG, Aditya lahirlah Agni (api/panas),ANG. Demikianlah hal manifestasinya Sang Hyang Panca Brahma yaitu: ING, BANG, SANG, TANG, ANG
Dalam kitab suci Hindu dinyatakan bahwa atma adalah bagian dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dapat kita lihat dalam kitab upanisad yang menyatakan bahwa “Brahma Atma Aikyam” yang artinya brahman dan atman adalah tunggal. Atma diumpamakan sebagai setitik embun yang berasal dari penguapan air laut, karena adanya pengaruh suatu temperatur tertentu kemudian embun itu terpencar keseluruh alam semesta. Demikian keadaan atma yang mula-mula berasal dari Brahman kemudian terpencar memasuki serta memberi energi hidup pada jasmani dari smeua mahluk. Atma juga disebut siwatma atau jiwatma, yaitu roh yang berasal dari Tuhan dalam fungsi memberi tenaga hidup kepada alam semesta beserta isinya.
Dari atma kemudian lahir pradhana/ Prakerti yaitu unsur yang bersifat kebendaan atau material. Pada penciptaan alam semesta, Prakerti berevolusi menjadi Pancatanmatra yaitu lima benih yang belum berukuran. Pancatanmatra setelah melalui evolusi yang panjang akhirnya menjadi Pancamahabhuta, yakni lima unsur materi. Lima unsur materi ini kemudian membentuk anggota alam semesta, seperti misalnya matahari, bumi, bulan, bintang-bintang, planet-planet, dan lain-lain.
prakṛtiṃ cāśrayed ātmā ātmanaṃ ca rawis tathā|
rawim agniḥ śiwaś cāgniṃ sthitir ewaṃ nigadyate||

ikang saṃ rumuhun tattwanya| tumūt baṃ| tumūt taṃ| tumūt aṃ| tumūt iṃ|| nihan sthiti sang hyang pañcabrahma| saṃ| baṃ| taṃ| aṃ| iṃ| kramanya||

artinya,
Prakrti itu dijiwai atma dan karena atma maka adalah matahari adanya agni menyusul setelah matahari , demikianlah ternyata siwagni dalam keadaan Sthiti.
Yang permulaan adalah SANG filsafatnya , selanjutnya BANG, kemudian TANG, terus ANG dan akhirnya ING, inilah sthitinya Sanghyang Panca Brahma,urutannya adalah SANG, BANG, TANG, ANG,ING. (Ganapati Tattwa, 29)

            Secara umum prakrti berarti alam atau dunia. Prakrti juga dapat berarti materi, tenaga atau energi. Kadang kala prakrti juga berarti sifat, tabiat, perangai, watak dan hakekat. Tetapi dalam Bhagavad Gita, prakrti umumnya berarti alam material. Alam material berasal dari tenaga material Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Tenaga material beliau disebut maya. Ma = tidak, dan Ya = itu. Jadi Maya berarti; “Yang bukan itu”. Diartikan demikian karena tenaga materialNya ini menyebabkan para mahluk hidup yang tinggal di alam material lupa pada hakekat dirinya sejati sebagai jiva rohani abadi. Para mahluk hidup menganggap badan jasmaninya sebagai dirinya sejati.  Kemudian atma itu menurut Bapak Kiriana(Dosen Tattwa di IHDN Denpasar) bahwa atma itu adalah hidupnya hidup. Jadi dapat diartikan bahwa atma itu merupakan sumber kehidupan. Setelah alam semesta (prakerti terbentuk) ,mulai ada kehidupan yang berasal dari Atma dan melalui matahari Tuhan Yang Maha Esa menjaga dunia
Konfigurasi aksara Panca Brahma, tersusun sebagai berikut: ANG – TANG- SANG- BANG- ING, menggambarkan proses involusi ciptan atau peleburan (penyerapan kembali, pralina). ANG yang mewakili ketegori Panca Mahabhuta, Dasendriya dan Manah tercipta dari Panca Tanmatra, Ahamkara dan Buddhi (Wijaksaranya TANG) dan tiga yang belakang ini dihasilkan oleh prinsip awyakta (wijaksaranya SANG). Awyakta kembali pada purusa (BANG) dan Purusa menyatu dengan Maha Brahma (Rudra Tattwa) wijaksaranya ING. Posisi arah dimana aksara Panca Brahma ditempatkan, sesuai dengan ajaran Sang Hyang Siwa Basma (Wejangan Siwa tentang Basma) yang menyatakan “Panca bhagancirah kuryyat, panca matram udaharet, purwwa SA daksina Basyat, pascima TA nyaset wudhah, Uttarya Aghorakam sthanam, murddhim Isanam evaca”. Jadi SA (purwa), BA(daksina), TA (pascima), A (uttara) dan I (murdha, tengah menghadap atas).
 Sedangkan dewata yang diwakili oleh aksara-aksara tersebut kemudian dipuja sesuai dengan matra (arah) yang telah ditetapkan . “Purwwasyadh Iswara Wndhyat, Brahma daksina gomukam, pascime tu Mahadewa, uttarae wesnawam mukam, murddhim Isanam evaca” Kelima nama ini: Iswara, Brahma Mahadewa, Wisnu dan Sadasiwa (Isana) disebut Dewata Panca Brahma atau sering disingkat Panca Brahma atau Panca Dewata. Menurut Siwa Purana, panca waktra atau pancanana tersebut dikaitkan dengan panca krtya (lima kegiatan Tuhan/ Sada Siwa) yakni srsti, sthiti, samhara, tirobhawa dan anugraha.
yaṃ| waṃ| śiṃ| maṃ| naṃ| utpatti sang hyang pañcākṣara|| śiṃ| waṃ| maṃ| naṃ| yaṃ| sthiti sang hyang pañcākṣara|| naṃ| maṃ| śiṃ| waṃ| yaṃ| pralīna sang hyang pañcākṣara||
artinya,
Aksara Yam, Wam, Sim, Mam dan Nam adalah Utpatti Sanghyang Pancaksara. Aksara Sim, Wam, Mam, Nam dan Yam adalah sthiti Sanghyang Pancaksara. Sedangkan aksara Nam, Mam, Sim Wam, Yam adalah Pralina Sanghyang Pancaksara.(Ganapati Tattwa, 33)

            Seperti itu penciptaan alam semesta menurut sloka diatas yaitu melalui Panca Aksara dimana menurut kepercayaan aksara-aksara suci tersebut memiliki kekuatan yang mampu menciptakan,memelihara dan melebur alam semesta. Panca Aksara merupakan aksara suci dari panca erwarya, diantaranya:
  • Maheswara/mahesora di Tenggara dengan aksara suci “Na
  • Rudra/Ludra di Barat Daya dengan aksara suci “Ma
  • Sangkara di Barat Laut dengan aksara suci “Si
  • Sambu di Timur Laut dengan aksara suci “Wa
  • Siwa di Tengah dengan aksara suci “Ya
Alam semesta diciptakan oleh panca brahma dan panca aksara yang disebut sumber kekuatan alam semesta (dasa aksara). Dasa aksara merupakan sepuluh hurup utama dalam alam ini yang merupakan simbol dari penguasa alam jagat raya dan sangat erat hubungannya dengan dewata nawasanga. Dari sepuluh hurup bersatu menjadi panca brahma (lima hurup suci untuk menciptakan dan menghancurkan),
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ganapati Tattwa merupakan salah satu Lontar Tattwa, Lontar Filsafat Siwa, yang digubah dengan mempergunakan metode Tanya jawab. Tanya jawab tersebut ditulis di dalam 37 lembar dau tal yang disusun dalam 60 bait/prosa, menggunakan bahasa Sansekerta yang disertai dengan ulasan dalam bahasa Kawi. Ganapati, putera Siwa, adalah Dewa penanya yang cerdas. Dan Siwa adalah Maheswara, yang menjabarkan tentang ajaran Rahasia Jnana, menjelaskan tentang misteri alam semesta beserta isinya. Secara ringkas isinya dapat diuraikan sebagai berikut: Omkara adalah wujud sabda sunya, nada Brahman, asal mula Pancadaivatma : Brahma, Wisnu, Iswara, Rudra dan Sang Hyang Sadasiva. Pancadivatma merupakan asal Panca Tan Matra yang terdiri dari Rupa (unsur bentuk), Gandha (unsur bau), Rasa (unsur rasa/kenikmatan), Sparsa (unsur sentuhan), dan Sabda (unsur suara). Dari Panca Tan Matra munculah Panca Mahabutha yang merupakan unsur materi (elemen alam semesta) yang terdiri dari : Apah (air/benda cair), Teja(panas), Vayu (angin), Prthivi (tanah) dan Akasa (ether). Dari Panca Mahabutha ini alam semesta beserta isinya diciptakan, dan Sang Hyang Sivatma menjadi sumber hidup yang menggerakkan segala ciptaannya.

 


DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, Nengah Bawa. 1999. Ganesa sebagai Avighnesvara, Vinayaka dan Pengelukatan. Surabaya : Paramita
Gunawan, Pasek. 2012. Siva Siddhanta I. Singaraja
 Gunawan, Pasek. 2012.Siva Siddhanta II. Singaraja
Rai Mirsha, dkk. 1995. Ganapati Tattwa Kajian Teks dan Terjemahannya. Denpasar : Upada Sastra
Ganapati Tattwa. Dokumentasi Pusdok. Denpasar
Putra, I.G.A.G dkk. 1998. Wrhaspati Tattwa. Surabaya : Paramita
Anonim. 2006. Siwatattwa. Bangli : Pemerintah Kabupaten Bangli