Minggu, 04 Januari 2015

Hindu Menyembah Berhala (Patung)




            Pertama-tama, kita jangan berpikir bahwa tak boleh terjadi suatu agama tanpa konsep tentang Tuhan. Jainisme Buddhisme dan mimamsa awal dianggap sebagai sistem Atheistik. Bahkan pada suatu tahap dari Samkhya tak ada tempat bagi adanya Tuhan, karena alam dunia mengalami perubahan tanpa ada yang menggerakan dan roh-roh individual jatuh kedalam belenggu dan juga beberapa diantaranya memperoleh pembebasannya sendiri tanpa suatu referensi pada Tuhan. Tetapi segala sistem Atheistik memiliki minat yang sangat besar dalam meningkatkan keberadaan supranatural dan transendental manusia. Dengan demikian kita berpendapat bahwa tak dapat terjadinya agama tanpa Tuhan.(Yayasan Sanatana Dharmasrama Surabaya,2000 : 28). Konsep pemujaan terhadap Arca atau patung Tuhan dan berbagai penjelman-Nya merupakan ciri pokok cara sembahyang dalam agama Hindu. Sebaliknya dalam ajaran agama lain cara tersebut dipandang sebagai sebuah jalan kesesatan. Islam dan kristen misalnya melarang keras pemujaan terhadap obyek sembahyang apapun yang diciptakan oleh manusia. Cara persembahyangan hindu dituduh sebagai pemujaan berhala. Berbagai pertanyaan muncul, masak sih, Tuhan seperti batu? Tidakkah kita membatasi Tuhan kalau kita puja dalam bentuk tertentu? Apakah kita tidak melecehkan Tuhan bila disamakan dengan batu? Apakah tuhan orang hindu terus-terusan lapar sehingga disuguhi aneka makanan? Apalagi melihat banten-banten di Bali yang diselipi Larutan, Pocari, cocacola apakah Tuhan kena dehidrasi?
            Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan itu mari kita membahas sedikit tentang Islam, bagaimana islam menganggap pemujaan patung adalah berhala. Menurut Dr. Akif Manaf Jabir (dalam Suryanto, 2006: 142)  dalam tradisi kuno bangsa-bangsa arab, diyakini bahwa ketika Allah mengusir  Adam dan Hawa dari sorga, Adam mendarat disebuah pegunungan Sri Lanka dan Hawa jatuh di gunung Arafat. Setelah mengembara selama seratus tahun, keduanya bertemu di Mekah. Atas petunjuk Allah kemudian Adam mendirikan sebuah tempat pemujaan yang disebut Ka’bah. Pada pondasi bangunan diletakan sebuah Hajar Al-aswad ( batu hitam) yang turut jatuh ke bumi pada saat mereka diusir dari surga. Menurut salah satu tradisi, batu itu semula berwarna putih, namun lama kelamaan berubah menjadi hitam, karena dosa-dosa peziarah yang menyentuh dan menciumnya. Hajar Al-Aswad itu kini berada dipojok tenggara, ditempatkan setinggi 1,5 meter dari tanah. Pada sudut yang berseberangan, terdapat batu lain yang berwarna kemerah-merahan ( Hajar As-Sa’Adah)  yang menjadi titik pusat ka’bah yang menandai arah qiblah, titik fokus kegiatan sembahyang. Dengan uraian diatas, jelaslah Ka’bah dibangun oleh Adam untuk tujuan pemujaan yang kemudian dikenal dengan rumah Allah (Al-Bayt Al-Haram). Dengan demikian, bangsa Arab Kuno percaya pada satu Tuhan dan memuja Tuhan Yang Maha Esa itu. Namun mereka juga percaya bahwa beberapa manusia tertentu memiliki hubungan yang istimewa dengan Allah dan memiliki kemampuan sebagai perantara untuk menarik perhatian dan pertolongan dari Allah. Akhirnya masyarakat Mekah membuat patung-patung orang suci dan saleh lalu memujanya. Suku-suku bangsa Arab Kuno mempercayai bahwa Allah telah mempercayakan berbagai urusan yang berhubungan dengan fungsi dan tugas mengurus alam semesta ini kepada berbagai Dewa dan dewi. Akhirnya banyak suku-suku menyembah patung Dewa dan Dewi namun sebagian dari mereka menyembah berhala.
            Berangsur-angsur, Ka’bah kehilangan pengaruhnya, untuk mengatasi hal itu penguasa kota Mekah  memutuskan untuk menempatkan sebuah patung yang perkasa dan berpengaruh bernama Hubal di dalam Ka’bah.( Talibov dalam Suryanto, 2006: 129). Untuk lebih menarik suku-suku bangsa Arab, orang-orang Mekah secara bertahap mengumpulkan banyak patung hingga terkumpul 360 berhala yang ditempatkan dalam Ka’bah dan halamannya. Dari sejarah bangsa Arab kuno tersebut dapat kita ketahui bahwa seiring berlalunya zaman, prinsip-prinsip agama sejati telah disimpangkan. Masyarakat Arab Kuno memuja segala benda dan segala sesuatu yang lain selain Tuhan. Sri Krishna menyatakan dalam Bhagavad-gita(4.7-8), “bila hal-hal yang bertentangan dengan dharma merajalela, Tuhan akan mengirimkan utusannya untuk menegakan kembali prinsip-prinsip dharma.” Dalam situasi seperti itu, di Semenajung Arab Nabi Muhammad S.A.W diturunkan untuk menegakan kembali prinsip-prinsip dharma. beliau menerima wahyu Al-Qur’an dan menjadi rasul Allah. Masyarakat yang menyembah berhala pada saat itu, dilarang keras untuk menyembah berhala oleh Nabi Muhammad. Namun seiring dengan berlalunya waktu, secara tradisi islam melarang pemujaan dan penyembahan terhadap bentuk apapun tanpa kecuali. Menurut Islam, penggambaran bentuk Allah diciptakan oleh setan dan disebut byut (berhala)\
            Selain dalam Al-Qur’an pelarangan pemujaan terhadap patung juga ditemukan dalam kitab injil, khususnya perjanjian lama yang merupakan kitab suci agama Yahudi, Kristen dan agama-agama yang serumpun. Dalam Exodus 20.3 terdapat perintah “ Kamu tidak boleh mempunyai Tuhan lain dihadapan-Ku”. Larangan itu dipertegas dalam ayat-ayat selanjutnya. Exodus 20.4-5) “ Kamu tidak akan membuat atasmu patung berhala, atau keserupaan apapun, yang ada disurga di atas, atau yang ada di atas bumi, atau yang ada dalam air ; kamu tidak akan tunduk pada mereka, tidak pula melayani mereka, karena aku Tuan Tuhanmu adalah seorang pencemburu”. Dalam hubungannya dengan kitab perjanjial lama, larangan pemujaan berhala muncul dalam konteks untuk mempertahankan pemuja Tuhan Yang maha Esa agar tidak tunduk dan menyembah Baals, Ishtars dan lain-lain yang merupakan nama-nama dewa pada masa itu. Dengan kata lain, terjadi berbagi pemujaan terhadap Dewa pada waktu itu dan dala upaya menghidari itu, diberikan larangan keras untuk memuja Tuhan- tuhan yang lebih rendah, termasuk pemujaan terhadap Arca.(Satyaraja & Rev. Hart (dalam Suryanto,2006: 136)
            Dari pandangan agama-agama diatas, lalu apakah Hindu menyembah berhala? Bukankah dalam Kitab Suci Weda tak ada pernyataan untuk memuja Patung? Bagian dari ajaran agama yang paling menonjol adalah aktivitas puja atau memuja Tuhan. Ketahuilah bahwasannya aktivitas apapun yang kita lakukan sesungguhnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan, sehingga noda yang kita lakukan dalam bekerja,bergaul, berpikir dan lainnya sama saja dengan noda pemujaan. Memang perbuatan baik bukanlah sistem kredit poin yang mesti dikumpulkan untuk bisa mendapatkan surga kelak setelah mati. Sebab kebaikan dan pemahaman kebenaran masing-masing orang berbeda menurut pengetahuan kecerdasannya. (Putrawan,2004; 50). Sebuah gambaran atau wujud perlu untuk pemujaan pada tahap awal yang merupakan simbol luar dari Tuhan. Gambaran material mengingatkan akan pemikiran mental. Kemantapan pikiran diperoleh dengan pemujaan gambaran. Si pemuja akan dihubungkan dengan pemikiran yang tak terbatas, Maha Kuasa, Maha Tahu, kemurnian ,kesempurnaan, kebebasan, kesucian, kebenaran an berada dimana-mana. Tak mungkin bagi semua orang memusatkan pikiran bagi yang mutlak atau tak terbatas sebab Tuhan bersifat Acintya. Wujud nyata diperlukan bagi masyarakat luas untuk melakukan konsentrasi. Dalam kitab suci Weda tak ada pernyataan untuk memuja patung, namun dalam kitab-kitab Purana dan Agama yang bersumber dari ajaran Weda banyak memberikan uraian tentang pemujaan patung. Pada dasarnya setiap orang adalah pemuja patung, gambaran mental juga merupakan suatu wujud atau patung. Perbedaannya bukan pada jenisnya tetapi tingkatannya. Semua pemuja, bagaimanapun kecerdasannya membangkitkan suatu wujud dalam pikiran dan membuatnya memikirkan gambaran tersebut.( Sivananda,2003:118-119)
            Menurut Prof. Diana Eck dari Harvard University, Amerika,” Seperti istilah ikon menunjukan makna keserupaan, begitu pula kata-kata pratikrti dan Pratima dalam bahasa sansekerta menunjukan makna keserupaan antara gambar atau patung dengan dewata yang dilambangkannya. Namun kata yang umum digunakan untuk menyebut patung seperti itu adalah Murti yang didefinisikan sebagai segala sesuatu yang memiliki bentuk dan batas tertentu, suatu bentuk, badan atau figur, sebuah perwujudan, penjelmaan, pengejawantahan. Jadi murti lebih dari sekedar keserupaan melainkan dewata sendiri yang telah mewujud. Pemakaian kata murti dalam Upanisad dan Bhagawadgita menunjukan bahwa bentuk atau wujud adalah hakekat atau esensi-Nya.”( Suryanto, 2006; 137). Patung merupakan simbol ke-Tuhanan. Seorang menyembah tidak menganggapnya sebongkah batu atau setumpuk logam, karena baginya itu adalah lambang Tuhan. Ia mewujudkan kehadiran penghunian dalam Murti atau gambaran tersebut. Semua orang-orang suci saiwa nayanar dari India Selatan mencapai realisasi Tuhan melalui pemujaan Lingga, sebagai gambaran Siwa. Bagi seorang pemuja gambaran adalah himpunan caitanya atau kesadaran, disitu ia menarik inspirasi dari gambaran tersebut dan gambaran itu menuntunnya dan berbicara kepadanya. (Sivananda,2003;125)
            Dalam Bhagavad-gita Sri Krishna bersabda,” Apapun cara manusia mendekati-Ku, demikianlah Aku menerimanya, manusia pada segala sisi mengikuti jalanku”. Radhakrisnan mengomentari hal itu “ Nama dan wujud digunakan untuk mencapai yang tak berwujud, meditasi pada wujud apapun yang disenangi dapat dipakai” (Yayasan Sanatana Dharmasrama Surabaya, 2000; 32). Kemajuan ilmu pengetahuan di abad ini seharusnya meyakinkan kita tentang kemuliaan pemujaan Murti. Bagaimana para penyanyi dan para penyair membatasi sebuah kotak kecil semacam itu disebut sebuah radio? Ia hanya sebentuk susunan mekanik tanpa kehidupan yang hancur menjadi ribuan keping bila dilempar dengan keras, namun bila kamu mengetahui bagaimana menaganinya, kamu dapat mendengarkan musik yang dimainkan beberapa mil jauhnya dari tempat siaran yang dipancarkan pada bagian terpencil di permukaan bumi ini. Bahkan kita dapat menangkap suara orang-orang diseluruh dunia melalui radio penerima, hal itu dimungkinkan untuk bercakap-cakap dengan Tuhan yang meresapi segalanya bergetar dari setiap atom penciptaan. Tak ada suatu perkataan tentang ruang dimana Dia tidak ada. Lalu mengapa kita mengatakan bahwa Tuhan tidak ada dalam patung(Murti).
Dalam Uddhava-gita , Sri Krishna menjelaskan tentang kemuliaan Arca Atau Murti sebagai berikut “ Seorang dvija harus menyembahku sepenuh hati, mempersembahkan berbagai perlengkapan dengan cinta bhakti kepada wujud-Ku sebagai Arca atau pada wujud-Ku yang muncul dalam tanah, dalam api, dalam matahari, dalam air, atau dalam hati penyembah itu sendiri.” (Bhagavatam 11.27.9). Bagi seorang bakta atau seorang pertapa tak ada benda apapun sebagai jada atau tak berjiwa. Para penyembah memandang sungguh-sungguh Tuhan ada di dalam patung(Murti). Narsi Mehta adalah pemuja Sri Krishna, Ia pernah dipuji oleh seorang raja. Raja berkata “ wahai Narsi, Bila Kamu seorang penyembah yang tulus dari Sri Krishna dan bila kamu mengatakan bahwa Sri Krishna adalah patung itu sendiri, coba gerakan patung tersebut!” sesuai dengan doa Narsi Mehta, maka patung tersebut bergerak. Tulsidas adalah seorang wedantin, ia mewujudkan intisari meresapi segalanya dan ia memiliki kesadara kosmik. Ia bersatu dengan yang merasa bersatu dengan yang meresapi segalanya, Tuhan yang tapa wujud. Namun kasih sayangnya pada Sri Rama dengan Busur di tangannya tidak lenyap. Ketika ia berada di Wrndawana dan melihat Murti Tuhan Krishna dengan seruling ditangannya, ia berkata ; Aku tidak akan membungkukan kepalaku pada wujud ini” seketika itu juga wujud Sri Krishna berubah menjadi wujud Sri Rama, barulah ia membungkukan kepalanya.( Sivananda,2003;126-127)
            Dari kenyataan-kenyataan diatas, kita dapat secara jelas menarik kesimpulan bahwa seorang pemuja dapat mewujudkan Tuhan melalui pemujaan Patung (Murti) dan hal itu bukanlah berhala selama yang dipuja merupakan perwujudan dharma(Tuhan). Pemujaan Tuhan dalam wujud saguna merupakan bantuan yang besar sekali dalam mewujudkan Tuhan dalam meresapi segalanya, juga aspek tanpa wujud dan bahwa pemujaan murti sangat penting guna keperluan konsentrasi dan meditasi serta pemujaann semacam itu sama sekali tidak menghalangi pencapaian kesadaran Tuhan.

Referensi;
Suryanto. 2006. Hindu Dibalik Tuduhan dan Prasangka. Yogyakarta : Narayana Smrti Press
Putrawan, I Nyoman.2004. Ceki Puja. Denpasar : Pustaka Bali Post
Sivananda, Sri Swami.2003. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya : Paramita
Yayasan Sanatana Dharmasrama. 2000. Studi Banding Antar Agama. Surabaya : Paramita