SEJARAH AGAMA HINDU DI INDONESIA
Masukanya
Agama Hindu di Indonesia.
Walaupun
secara sederhana, pada jaman prasejarah di Indonesia juga telah mengenal
kepercayaan kepada kekuatan gaib, mereka juga melakukan upacara pemujaan/Sradha.
Pada waktu orang meninggal maupun saat penguburan bahkan sesudahselesai penguburan masih juga dilakukan upacara
sradha agar hubungan mereka tidak terputus. Hal ini juga masih
dilakukan dibeberapa daerah di Indonesia.
Data yang memuat secara rinci masuknya
agama Hindu ke Indonesia belum dijumpai, baik
di Indonesia maupun diluar negeri. Oleh karena itu dipakailah
sumber-sumber tidak langsung yang berasal dari luar Indonesia
a. kitab
Ramayana yang digubah sebelum masehi, yang pada bagian Kiskenda Kanda
menyebutkan bahwa Sugriwa dlam usaha mencari dewi Sita memerintahkan para
pasukan kera untuk pergi ke Jayadwipa dan Swarnadwipa.
b. Kitab
Periploustest Erythastolesses yang ditulis oleh seorang nahkoda Yunani. Bukti
ini merupakan pedoman berlayar di samudra Indonesia (lautan Erythrasa ). Dalam
kitab ini menyebutkan adanya hubungan antara India dengan wilayah yang bernama
Chryse Chora ( negeri emas ). Hal ini mengingatkan pada daerah swarnadwipa (
Pulau Emas).
c. Kitab
Geographika Hepigeses seorang yunani Iskandariah pada abad ke 2 masehi yang
menyebutkan beberapa tempat seperti Agryse Chora (negeri Perak),Chryse Chora
(Negeri Emas), chryse Chersonesus (semenanjung emas) dan juga menyebutkan nama
jabadion yang dalam bahasa sansekerta sama dengan jawadwipa. Dengan data
tersebut teranglah bahwa hubungan india dengan Indonesia telah terjalin ribuan
tahun silam.
Teori – teori
Masuknya Agama Hindu ke Indonesia
Ada beberapa teori
tentang masuknya
agama Hinduke Indonesia. Teori
tersebut adalah;
a.
Mokerjee ( india
1912) menyatakan bahwa masukya pengaruh Hindu dari india ke Indonesia di bawa
oleh para pedagang yang besar. Setelah sampai di Indonesia mereka membentuk
koloni dan membangun kota kemudian mengadakan kontak hubungan dengan India,
maka terjadilah penyebaran agama Hindu di Indonesia
b. Moens
(Belanda ) menyatakan bahwa peranan kaum kesatria sangat besar dalam proses
kolonisasi. Melalui proses ini agama hindu mulai menyebar di Indonesia.
c.
Krom (Belanda)
dengan teori Wesya menyatakan bahwa
diterimanya pengaruh Hindu di Indonesia melalui penyusupan jalan damai
yang dilakukan golongan pedagang ( Wesya).
d. Bosh
(belanda ) menyebutkan bahwa dalam penyebaran agama hindu ke indonesia ,peran
kaum ksatria sangat besar sekalipun unsur india merupakan zat penyubur
kebudayaan.
e.
B. Mantra ,
dengan dengan tori gabungan menyebutkan bahwa masuknya pengaruh hindu ke indonesia
di bawa oleh kaum Brahmana dan Wesya.
f.
Dari data
peninggalan sejarah di Indonesia disebutkan bahwa Rsi Agastya pernah
menyebarkan agama Hindu di Indonesia.
Para ahli sejarah berkesimpulan bahwa
masuknya agama Hindu ke Indonesiaterjadi
awal tahun masehL sekalipun tak ada bukti tertulis atau benda-benda purbakala
dari kehidupan agama saat itu.
Para
pendeta Hindu memiliki misi untuk menyebarkan agama Hindu dan melalui jalur
perdagangan akhirnya sampai di Indonesia. Selanjutnya mereka akan menemui
penguasa lokal (kepala suku). Jika penguasa lokal tersebut tertarik dengan
ajaran Hindu maka para pendeta bisa langsung mengajarkan dan menyebarkannya.
Dalam ajaran agama Hindu konsepnya adalah seseorang terlahir sebagai Hindu
bukan menjadi Hindu maka untuk menerima ajaran agama Hindu orang Indonesia
harus di-Hindu-kan melalui upacara Vratyastoma dengan pertimbangan
kedudukan sosial/ derajat yang bersangkutan (memberi kasta). Hubungan
India-Indonesia berlanjut dengan adanya upaya para kepala suku/ raja lokal
untuk menyekolahkan anaknya/ utusan khusus ke India guna belajar budaya India
lebih dalam lagi. Setelah kembali ke tanah air mereka kemudian menyebarkan
kebudayaan India yang sudah tinggi. Bahkan tak jarang mereka mendatangkan para
Brahmana India untuk melakukan upacara bagi para penguasa di Indonesia, seperti
upacara Abhiseka, merupakan upacara untuk mentahbiskan seseorang menjadi
raja. Jika di suatu wilayah rajanya beragama Hindu maka akan memperkuat proses
penyebaran agama Hindu bagi rakyat di daerah tersebut.
Kerajaan –kerajaan yang
bercorak Hindu di Indonesia
a. Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai dengan nama asli Kutai Martadipura merupakan kerajaan
hindu tertua di Indonesia, dengan aliran agama hindu-siwa. Letaknya di Muara
Kaman tepatnya pada hulu sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
Keberadaan
kerajaan ini ditandai dengan adanya 7 buah prasasti, yang dinamai prasasti
yupa. Dengan palawa sebagai hurufnya,dan sansekerta sebagai bahasanya.
Pendirinya adalah Raja Kudungga. Setelah Raja Kudungga wafat, kerajaan diambil
alih oleh putranya, Raja Aswawarman. Dan setelah Raja Aswawarman wafat,
kerajaan diambil alih oleh putra Raja Aswawarman, yaitu Raja Mulawarman.
Pada
sebuah prasasti Yupa abad ke-4, dikisahkan bahwa Raja Mulawarman telah
menyumbangkan 20.00 ekor sapi kepada para brahmana. Kisah ini menceritakan
betapa dermawannya seorang Raja Mulawarman, oleh karena itu, dari sekian banyak
raja yang memimpin kerajaan Kutai, Raja Mulawarman lah yang paling terkenal.
Keruntuhan
kerajaan Kutai Martadipura disebabkan oleh tewasnya raja terakhir Kutai
Martadipura yang kalah memperebutan kekuasaan dari kerajaan Kutai Kartanegara
di bawah pimpinan Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Awalnya Kutai Kartanegara
merupakan bagian dari kerajaan Kutai Martadipura, namun karena perbedaan
kepercayaan, di mana Kutai Kartanegara menganut kepercayaan agama islam,
akhirnya perebutan kekuasaan pun terjadi dan berakhir dengan Kutai Kartanegara
sebagai pemenang.
b. Tarumanegara
Kerajaan dengan nama asli Tarumanagara ini terletak di daerah Bekasi,
Jawa Barat bagian utara. Raja yang paling terkenal adalah raja yang ke-3, yaitu
Raja Purnawarman. Keberadaan kerajaan hindu dengan aliran hindu wisnu ini
diketahui dengan ditemukannya beberapa prasasti yang menceritakan tentang
keberhasilan-keberhasilan kerajaan. Prasasti-prasasti tersebut antara lain:
1.
Prasasti Kebon Kopi,
ditemukan di kebon kopi milik Jonathan Reck
2.
Prasasti Tugu, ditemukan di
daerah Bekasi, menceritakan tentang penggalian Sungai Gomati oleh kerajaan
Tarumanagara
3.
Prasasti Cidanghiang, ditemukan
di daerah Pandeglang
4.
Prasasti Ciaruteun,
ditemukan di aliran Sungai Ciampea, menggambarkan betapa perkasanya seorang
raja Purnawarman dengan telapak kaki besarnya yang terukir di prasasti tersebut
5.
Prasasti Muara Cianten,
ditemukan di daerah Ciampea
6.
Prasasti Jambu, ditemukan
di daerah Nanggung, Bogor
7.
Prasasti Pasir Awi,
ditemukan di daerah Cieteureun
Selain ditemukannya
peninggalan-peninggalan berupa prasasti, ternyata ditemukan pula peninggalan
berupa candi yang dikenal dengan sebutan Candi Jiwa, letaknya di daerah
Karawang.
Selain
peninggalan sejarah berupa prasasti dan candi, terdapat pula sumber-sumber
sejarah lain mengenai kerajaan ini seperti:
1.
Fa hien, pada kitab Fa Kao
Chi dari China
2.
Dinasti Sui, tahun 528 dan
535 Masehi
3.
Dinasti Tang, tahun 666 dan
669 Masehi
4.
Naskah wangsakerta yang
menceritakan tentang pendirian kerajaan Tarumanegara
Akhir dari kerajaan ini disebabkan oleh
keinginan Tarusbawa untuk membawa kerajaan Tarumanagara kembali ke kerajaan
Sunda, namun salah satu saudara Tarusbawa yang bernama Galuh tidak setuju jika
kerajaan Taruma kembali ke kerajaan Sunda, akhirnya Galuh pergi dari kerajaan
Taruma, dan kembali datang untuk merebutnya kekuasaan kerajaan Sunda yang
awalnya adalah kekuasaan Kerajaan Tarumanagara, akhirnya kerajaan itu pun
diubah menjadi Kerajaan Sunda Galuh.
c. Mataram Kuno
Menurut
Teori Van Bammalen, letak kerajaan ini berpindah-pindah, hal ini disebabkan
oleh 2 alasan, yaitu karena adanya bencana alam letusan Gunung Merapi, dan
karena adanya peperangan dalam perebutan kekuasaan. Awalnya, pada abad ke-8
kerajaan ini terletak di daerah Jawa Tengah, kemudian setelah Gunung Merapi
meletus pada abad ke-10, kerajaan ini dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu
Sindok.
Agama di
kerajaan ini pun terbagi menjadi 2, yaitu hindu pada Dinasti Sanjaya dan budha
pada Dinasti Syailendra. Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Raja Sanna. Raja
Sanna kemudian digantikan oleh keponakannya, Raja Sanjaya. Setelah Raja Sanjaya
meninggal, Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh putranya yang bernama Rakai
Panangkaran. Raja Mataram Kuno setelah Rakai Panangkaran adalah Rakai Warak,
kemudian Rakai Warak digantikan oleh Rakai Garung (Samaratungga). Di
tengah-tengah pemerintahan kerajaan Mataram Kuno, Datanglah keinginan Rakai Pikatan
untuk menjadi penguasa tunggal sebagai Dinasti Sanjaya. Persaingan antara
Dinasti Sanjaya yang dipimpin Rakai Pikatan dengan Dinasti Syailendra yang
dipimpin Raja Samaratungga, membuat cita-cita Rakai Pikatan untuk menjadi
penguasa tunggal di Pulau Jawa terhalang. Terjadi pertikaian antar kedua
dinasti. Akhirnya pada abad ke-9 terjadi penggabungan kedua dinasti melalui
pernikahan politik antara Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya dengan
Pramodawardhani dari Dinasti Syailendra. Namun, pernikahan antara Rakai Pikatan
dengan Pramodawardhani ternyata tidak membuahkan kedamaian, malah justru
membuat pertikaian antara Dinasti Sanjaya dengan Dinasti Syailendra semakin
sengit. Akhirnya, Rakai Pikatan sebagai Dinasti Sanjaya berhasil menguasai
kerajaan sedangkan Pramodawardhani bersama anaknya, Balaputradewa melarikan
diri ke Palembang, Sumatra Selatan untuk kemudian mereka menjalankan sebuah
kerajaan bernama Kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan Prasasti Balitung, setelah
Rakai Pikatan wafat, kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh Rakai Kayuwangi
dibantu oleh sebuah dewan penasehat yang juga jadi pelaksana pemerintahan.
Dewan yang terdiri atas
lima patih ini di antaranya adalah:
·
Ratu, Datu, Sri Maharaja
·
Rakryan Mahamantri I Hino
·
Mahamantri Halu &
Mahamantri I Sirikan
·
Mahamantri Wko &
Mahamantri Bawang
·
Rakryan Kanuruhan
Raja
Mataram selanjutnya adalah Rakai Watuhumalang, kemudian dilanjutkan oleh Dyah
Balitung yang bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya
Maha Dambhu sebagai Raja Mataram Kuno yang sngat terkenal. Raja Balitung
berhasil menyatukan kembali Kerajaan Mataram Kuno dari ancaman perpecahan. Di
masa pemerintahannya, Raja Balitung menyempurnakan struktur pemerintahan dengan
menambah susunan hierarki. Bawahan Raja Mataram terdiri atas tiga pejabat
penting, yaitu Rakryan I Hino sebagai tangan kanan raja yang didampingi oleh
dua pejabat lainnya. Rakryan I Halu,dan Rakryan I Sirikan. Selain struktur
pemerintahan baru, Raja Balitung juga menulis Prasasti Balitung. Prasasti yang
juga dikenal sebagai Prasasti Mantyasih ini adalah prasasti pertama di Kerajaan
Mataram Kuno yang memuat silsilah pemerintahan Dinasti Sanjaya di Kerajaan
Mataram Kuno. Kerajaan Mataram Kuno masih mengalami pemerintahan tiga raja
sebelum akhirnya pusat kerajaan pindah ke Jawa Timur. Mpu Daksa, yang pada masa
pemerintahan Raja Balitung menjabat Rakryan i Hino,melakukan kudeta karena
merasa bahwa ia adalah keturunan asli Dinasti Sanjaya, kemudian Mpu Daksa
digantikan oleh menantunya, Sri Maharaja Tulodhong.
Kerajaan
Mataram Kuno berakhir dengan sebuah peristiwa yang disebut Peristiwa
Mahapralaya. Saat itu, Raja Teguh Dharmawangsa sedang menikahkan putrinya,
dengan Raden Wijaya. Di tengah-tengah pesta, datang pasukan kerajaan Sriwijaya
dengan kerajaan kecil sekutunya, Kerajaan Wurawari. Raja Teguh Dharmawangsa
tewas, sedangkan putrinya yang sedang menikah lolos dan berhasil melarikan diri
ke Madura bersama suaminya, Raden Wijaya.
d. Kerajaan Kediri
Berdirinya
Kerajaan Kediri berawal ketika Kerajaan Sriwijaya dengan Kerajaan kecil
Wurawari berhasil meruntuhkan kerajaan Mataram Kuno lewat Peristiwa
Mahapralaya. Kekuasaan Kerajaaan Mataram Kuno diambil alih, dan nama Mataram
diubah menjadi Kediri. Kerajaan Kediri merupakan kerajaan turunan Ajiwuwari.
Raja pertamanya adalah Raja Sri Jayawarsha. Kemudian dilanjutkan oleh Raja
Bameswara. Dalam kitab Kakawin Smaradahana, karangan Mpu Dharmaja,
diceritakan bahwa Raja Bameswara adalah keturunan pendiri Dinasti Isyana.
Kemudian Raja Bameswara digantikan oleh mertuanya, Jayabhaya. Pada masa
pemerintahan Jayabhaya, terjadi perang saudara ini diabadikan dalam bentuk
Kakawin Bharatayuddha yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Punuluh. Jayabhaya
berhasil memenangkan perang saudara tersebut sehingga wilayah Kediri berhasil
disatukan lagi dengan wilayah Jenggala. Peristiwa kemenangan ini diabadikan
dalam Prasasti Ngantang. Kemudian Raja Jayabhaya digantikan oleh Raja
Sarweswara dari Aryyeswara. Kemudian digantikan lagi oleh Raja Gandra. Pada
masa pemerintahannya, Gandra menyempurnakan struktur pemerintahan yang
diwariskan Kerajaan Mataram Kuno. Setelah Raja Gandra, Kerajaan Kediri dipimpin
oleh Raja Kameshwara. Pemerintahan Kameshwara ditandai dengan pesatnya hasil
karya sastra Jawa. Pada masa pemerintahannya, cerita-cerita panji atau
kepehlawanan banyak dihasilkan. Raja kerajaan Kediri berikutnya adalah
Kertajaya atau Srengga. Pada masa pemerintahannya, Kediri mulai mengalami
masalah dan ketidakstabilan. Hal ini karena Kertajaya berusaha membatasi dan
mengurangi hak istimewa para kaum Brahmana, kemudian di daerah Tumapel
(sekarang Malang) muncul kekuatan baru di bawah pimpinan Ken Arok.
Perlahan-lahan, terjadi arus pelarian para Brahmana dari wilayah Kediri menuju
Tumampel. Kertajaya menyikapi arus pelarian ini dengan mengerahkan tentara
Kerajaan Kediri untuk menyerbu Tumapel. Perang antara pasukan Kertajaya dan Ken
Arok terjadi di Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan kekuasaan
pasukan Kertajaya. Atas kekalahan ini, Kerajaan Kediri memang seolah-olah telah
runtuh, namun ternyata, secara perlahan kerajaan Kediri masih berdiri dibawah
pimpinan Raja Jayakatwang, meskipun keberadaan mereka di bawah kekuasaan
Kerajaan Singasari.
e. Kerajaan Singasari
Berdirinya
Kerajaan Singasari, saling berkaitan erat dengan Kerajaan Kediri dan Majapahit.
Ketika Ken Arok menjabat sebagai prajurit di Tumapel, di Kerajaan Kediri sedang
berlangsung perselisihan antara Raja Kertajaya dengan para Brahmana. Para
Brahmana tersebut melarikan diri ke Tumapel karena merasa lebih nyaman berada
di Tumapel, akhirnya terjadilah pertempuran antara Kerajaan Kediri dengan
paukan akuwu Tumapel. Dalam pertempuran di Ganter, Kerajaan Kediri mengalami
kekalahan dan Raja Kertajaya meninggal. Kemudian, Ken Arok menyatukan sebagian
wilayah Kerajaan Kediri dengan Tumapel, dan mendirikan Kerajaan Singasari,
dengan Tunggul Ametung sebagai rajanya. Ken Arok bergelar Sri Rangga Rajasa
(Rajasawangsa) atau Girindrawangsa di Jawa Timur. Istri pertamanya bernama Ken
Umang, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudhatu,
Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Awalnya, Ken Arok hanyalah seorang anak desa
yang dilahirkan oleh seorang Ibu bernama Ken Nduk. Ia dididik oleh para
penjahat di lingkungan sekitarnya hingga dewasa, sehingga ia tumbuh dan
berkembang menjadi seorang penjahat yang suka mabuk, mencuri, dan membunuh.
Pada perjalan hidupnya, ia bekerja sebagai seorang prajurit di daerah Tumapel,
dan tertarik pada Ken Dedes, istri komandan Tunggul Ametung. Timbul keinginan
Ken Arok untuk memperistri Ken Dedes. Singkat cerita, Ken Arok berhasil
membunuh Tunggul Ametung dengan keris yang dibuat Mpu Gandring, kemudian ia pun
segera memperistri Ken Dedes. Setelah sekian lama, Ken Dedes akhirnya
menceritakan peristiwa pebunuhan suaminya tersebut kepada anaknya dari Tunggu
Ametung, Anusapati. Anusapati marah, dan berniat balas dendam, akhirnya
Anusapati berhasil membunuh Ken Arok dengan keris buatan Mpu Gandring yang
telah digunakan Ken Arok untuk membunuh ayah kandungnya. Panji Tohjaya, anak
kandung Ken Arok dengan Ken Umang mengetahui peristiwa pembunuhan ayahnya yang
dilakukan Tohjaya. Akhirnya dengan keris yang sama, Tohjaya berhasil membunuh
Anusapati. Ranggawuni, yang merupakan saudara dari Anusapati, mengetahui
pembunuhan yang dilakukan Tohjaya, akhirnya dengan keris yang sama, Ranggawuni
membunuh Tohjaya.Setelah kejadian bunuh membunuh berantai ini, akhirnya naik
tahta lah Raja Kertanegara sebagai raja yang terkenal dan terbesar dari
kerajaan Singasari. Ia mempunyai semangat Ekspansionis. Kertanegara
bercita-cita memperluas Kerajaan Singasari hingga keluar Pulau Jawa yang
disebut dengan istilah Cakrawala Mandala. Pada tahun 1275, ia mengirim pasukan
ke Sumatra untuk menguasai Kerajaan Melayu yang disebut sebagai Ekspedisi
Pamalayu. Dalam ekspedisi tersebut, Kerajaan Melayu berhasil di taklukan.
Peristiwa ini diabadikan pada alas patung Amoghapasha di Padangroco (Sungai
Langsat).
Seorang
utusan Cina bernama Meng K’i pulang ke Cina, dan menceritakan pada kaisar Kubilai
Khan bahwa Kerajaan Melayu yang awalnya menjadi incarannya telah dikuasai dan
ditaklukan oleh Kerajaan Singasari. Kaisar Kubilai Khan begitu marah, ia segera
mengirim pasukan untuk menyerang Kerajaan Singasari. Mendengar wilayah
kekuasaannya di bagian Sumatra akan diserang, pasukan-pasukan Kerajaan
Singasari segera dikirim ke Sumatra untuk menghadapi serangan pasukan Cina.
Sementara itu, Raja Jayakatwang dari Kerajaan Kediri (kerajaan yang pernah
dikalahkan Kerajaan Singasari) melihat kesempatan baik untuk merebut kembali
kekuasaan selagi pasukan-pasukan Kerajaan Singasari dikirim ke Sumatra. Pada
tahun 1292, Raja Jayakatwang dengan pasukan Kerajaan Kediri langsung menyerang
Ibu kota Kerajaan Singasari.
Menurut
cerita, pada saat serangan musuh datang, Raja Kertanegara beserta para pejabat
dan pendeta sedang melakukan upacara Tantrayana, sehingga dapat dengan mudah
mereka semua dibunuh oleh musuh. Kerajaan Singasari akhirnya berhasil direbut
kembali oleh Jayakatwang, Raja dari Kerajaan Kediri.
f. Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan hindu terakhir dan terbesar di
Indonesia. Letaknya di Pulau Jawa. Pendirinya adalah Raden Wijaya, menantu dari
Raja Teguh Dharmawangsa (Kerajaan Mataram Kuno) yang sempat melarikan diri ke
Madura bersama istrinya saat terjadi Peristiwa Mahapralaya.
Kerajaan
Majapahit, awalnya hanyalah sebuah desa kecil bernama Desa Tarik.Desa itu
merupakan pemberian dari Raja Jayakatwang dari Kediri atas kembalinya menantu
Raja Teguh Dharmawangsa (Raden Wijaya) dari Kerajaan Mataram Kuno yang telah
lama dikuasai Kerajaan Kediri. Raden Wijaya telah dimaafkan dan dipercaya tidak
bersalah atas kesalahan generasi atasnya.
Singkat
cerita, pada tahun 1292, armada Cina yang terdiri dari 1.000 buah kapal dengan
20.000 orang prajurit tiba di Tuban, Jawa Timur dengan tujuan untuk menyerang
Raja Kertanegara yang telah merebut Kerajaan Melayu dan menyatakan tidak mau
tunduk pada Kaisar Kubilai Khan. Mereka tidak tau bahwa Raja Kertanegara
beserta Kerajaan Singasari itu telah meninggal dan hancur dikalahkan oleh Raja
Jayakatwang dari Kediri.
Mengetahui
rencana penyerangan dari Cina ini, Raden Wijaya mengambil kesempatan untuk
merebut kembali Kerajaan Singasari. Ia menggabungkan diri dengan pasukan cina
dan menyerang Raja Jayakatwang di Kediri. Kerajaan Kediri tidak mampu
menghadapi serangan, sehingga Raja Jayakatwang berhasil dikalahkan. Kemenangan
itu membuat pasukan Cina bergembira dan berpesta pora. Mereka tidak menyangka
ketika sedang berpesta pora, pasukan Majapahit balik menyerang mereka. Akhirnya
pasukan armada Cina kalah, dan mereka segera kembali ketanah airnya. Sejak saat
itu Kerajaan Majaphit mulai berkuasa. Pada tahun 1295, berturut-turut pecah
pembrontakan yang dipimpin oleh Rangga lawe dan disusul oleh Saro serta Nambi.
Pembrontakan-pembrontakan itu bisa dipadamkan. Raden Wijaya wafat pada tahun
1309 dan mendapat penghormatan di dua tempat, yaitu Candi Simping (Sumberjati)
dan Candi Artahpura.
Setelah
Raden Wijaya wafat, putera permaisuri Tribuwaneswari yang bernama Jayanegara
menggantikannya sebagai Raja Majapahit. Pada awal pemerintahannya Jayanegara
harus menghadapi sisa pemberontakan yang meletus dimasa ayahnya masih hidup.
Selain pembrontakan Kuti dan Sumi, Raja Jayanegara diselamatkan oleh pasukan
pengawal (Bhayangkari) yang dipimpin oleh Gajah Mada ia kemudian diungsikan ke
Desa Bedager. Raja Jayanegara wafat tahun1328 karena dibunuh oleh salah seorang
anggota dharmaoutra yang bernama Tanca. Oleh karena ia tidak mempunyai putra ia
kemudian digantikan oleh adik perempuannya Bhre Kahuripan yang bergelar
Tribuanatunggadewi Jayawishnuwardhani. Suaminya bernama Cakradhara yang
berkuasa di Singasari dengan gelar Kertawerdhana.
Dari
kitab Negarakertagama, digambarkan adanya beberapa pemberontakan di masa
pemerintahan Ratu Tribuanatunggadewi. Pembrontakan yang paling berbahaya adalah
pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Namun pemberontakan itu dapat
dipadamkan oleh Gajah Mada. Setelah itu Gajah Mada bersumpah di hadapan Raja
dan para pembesar kerajaan bahwa ia tidak akan amukti palapa (memakan buah
palapa), sebelum ia dapat menundukan seluruh Nusantara di bawah naungan
Majapahit. Pada tahun 1334, lahirlah putra mahkota Kerajaan Majapahit yang
diberi nama Hayam Wuruk. Pada tahun 1350, Ratu Tribuanatunggadewi mengundurkan
diri setelah berkuasa 22 tahun. Ia wafat pada tahun 1372. Pada tahun 1350,
Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja Majapahit dan bergelar Sri Rajasanagara dan
Gajah Mada diangkat sebagai Patih Hamangkubumi. Dibawah pemerintahan Hayam
Wuruk dan Gajah Mada, Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan
Majapahit menguasai wilayah yang sangat luas. Hampir seluruh wilayah Nusantara
tunduk pada Majapahit, namun ada satu kerajaan kecil yang belum berhasil
dikuasai kerajaan Majapahit, yaitu Kerajaan Sunda Galuh. Raja Hayam Wuruk
bersama Patih Gajah Mada berusaha untuk menaklukan kerajaan tersebut, namun
ketika itu Raja Hayam Wuruk terlanjur jatuh cinta pada putri dari Kerajaan
Sunda Galuh yang bernama Dyah Pitaloka. Raja Hayam Wuruk bermaksud untuk menikahi
Dyah Pitaloka. Ia mengundang keluarga besar Kerajaan Sunda Galuh datang ke
Kerajaan Majapahit untuk menikah dengan Dyah Pitaloka. Ketika keluarga besar
dari kerajaan Sunda Galuh tiba di Kerajaan Majapahit, terjadi kesalahpahaman.
Patih Gajah Mada mengira bahwa keluarga besar Kerajaan Sunda Galuh ingin
menyerang Kerajaan Majapahit, akhirnya Patih Gajah Mada segera mengeluarkan
pasukan dan membunuh semua anggota keluarga Kerajaan Sunda Galuh. Hanya Dyah
Pitaloka yang tidak dibunuh. Melihat seluruh keluarganya tewas, Dyah Pitaloka
pun akhirnya melakukan belapati (bunuh diri) pada dirinya sendiri. Raja Hayam
wuruk yang mengetahui peristiwa kesalah pahaman tersebut menjadi marah,
terlebih ketika melihat calon istrinya mati karena bunuh diri atas kesalah pahaman
patihnya. Akhirnya, Raja Hayam Wuruk pun sakit, dan meninggal karena sakit
hati. Sejak kematian Raja Hayam Wuruk, maka Kerajaan Majapahit mencapai masa
kemunduran, perlahan-lahan kekuasaan Majapahit pun runtuh. Pada salah satu
versi cerita, dikisahkan Sang Patih, Gajah Mada pergi ke sebuah gunung untuk
berdiam diri dan menjadi pertapa karena merasa bersalah pada rajanya.
Daftar pustaka
Daftar pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar