Masuknya Agama Hindu di Bali
a.
Ditinjau
dari kerajaan Majapahit
Menurut
orang bali sejarah kebudayaan dan kemasyarakatan bali di mulai dengan
kedatangan orang orang majapahit di bali, kedatangan orang orang majapahit ini
membawa perubahan yang baru bagi masyarakat bali, karena sebelumnya di bali di
kuasai oleh roh-roh jahat serta mahluk mahluk yang ajaib Akan tetapi sebenarnya
jauh berabad abad sebelum zaman majapahit, di bali selatan sudah ada suatu
kerajaan dengan kebudayaan hindu mungkin pada tahap pertama zaman mataram kuno
(antara 600-1000 masehi ), pusat kerajaan itu terdapat di pejeng dan bedulu
dengan raja keturunan warnadewa, ada kemungkinan kerajaan ini timbul langsung
pengaruh dari pedagang hindu namun ada juga kemungkinan kerajaan ini di sebabkan
karena pengaruh dari mataram. Pada ahir abad ke 10 atau awal abad 11 di bali
memerintah seorang raja, dharmodyana yang berpermaisurikan seorang keturunan
empu sendok, mahendratta, dan melahirkan erlangga, dengan demikian pada waktu
itu bali dihubungkan dengan jawa erlangga kemudian memerintah di jawa sedang di
bali diperintah atas nama erlangga, seorang adiknya, sesudah erlangga wafat
agaknya hubungan antara jawa dan bali menjadi kendor. Pada tahun 1284,
kartanagara,raja singasari, menaklukan bali, penaklukan itu agaknya hanya
bersifat sementara saja sebab pada tahun 1383 majapahit mengutus tentaranya di
bawa pimpinan gajah mada menyerbu bali, kali ini penaklukan dilaksanakan secara
mendalam, gajah mada mendatangkan bangsawan bangsawan dari majapahit, pemimpin
para bangsawan ini kemudian mendirikan suatu kerajaan dengan ibukotanya
srampangan yang kemudian di pindahkan ke klungkung, rajanya bergelar dewa
agung.
Penngaruh
majapahit dibali sangat kuat sekali, bahas dan kebudayaan bali adalah
kelanjutan bahasa dan kebudayaan jawa timur, kepustakaan hindu jawa di
pelihara, dibaca dan diteruskan, itu sebabnya maka bali menjadi tempat penyimpan
kekayaan kebudayaan jawa, apa yang sudah tidak dapat diketahui lagi tentang
hindu di jawa dapat diketahui di bali. Sekalipun demikian tidak dapat dikatakan
pula bahwa bali adalah daerah agama hindu sebab di samping kebudayaan hindu
jawa masih ada religi asli yang tidak kalah kuatnya, pengaruh majapahit hanya
terdapat di antara kaum bangsawan, mula mula di klungkung kemudian menyebar di
darah daerah lainnya, tetapi hal ini tidak berarti bahwa religi suku bali tidak
berubah oleh karena berabad abad terisolir dari daerah daerah lainnya maka lama
kelamaan terjadi akulturasi antara agama hindu jawa dan kebudayaan asli orang
balikeduanya mengalami percampuran hingga mangalami perubahan sehingga juga
sulit untuk dipisahkan lagi, percampuran ini kemudian menjadi suatua agama baru
yang tidak mempunyai nama, akan tetapi orang bali sendiri menyebutnya agama
tirta dan baru sekarang agama orang bali di sebut agama hindu dharma. Kira kira
sesudah 1000 tahun kedatangan agama hindu yang pertama kali di bali datanglah
pengaruh barat dengan perantaraan penjajahan belanda Ada perbedaan yang
mencolok sekali antara cara agama hindu jawa mempengaruhi mempengaruhi
masyarakat bali dengan cara kebudayaan barat melakukan infiltrasinya, pengaruh
agama hindu jawa meresapi msyarakat bali secara perlahan lahan berangsur angsur
selama berabad abad akan tetpi pengaruh kebudayaan barat berjalan dengan cepat
sekali Sekalipun bentuk pemerintahan dan pengadilan asli dipertahankan namun
pengawasan belanda yang terjadi secara rasional makin mempengaruhi pandangan
orang bali, lebih lebih mengenai masalah pendidikan, anak anak yang tergolong
punya tidak puas hanya bersekolah di bali saja karena di bali hanya ada sekolah
rakyat yang didirikan belanda, hal ini memberikan pengaruh di bidang keagmaan,
karena banyak pemuda bali yang karena pengalamannya di jawa kemudian mereka
meninggalkan praktik keagmaan atau hanay melkukannya secara formal saja,
ditambah lagi agama islam dan Kristen sudah mulai melebarkan sayapnya di bali. Dengan
semakin berkembangnya agama islam dan Kristen di bali, hal ini membuat para
putra bali bangkit dengan mendirikan perkumpulan perkumpulan untuk membangaun
agama mereka, pada tahun 1932 didaerah tabanan didirikan sebuah sekolah agama,
pada tahun 1939 di klungkung didirikan suatu organisasi agama yang di sebut tri
murti . Pada zaman pendudukan jepang oleh pemerintah jepang didirikan suatu
lembaga pendanda yang disebut paruman pandita dharma dengan maksud untuk
mempersatukan paham agama bali agar menjadi badan keagamaan yang menjadi
penghubung pemerintah jepang, Sesudah pemerintah jepang jatuh paruman pandita
dharma menjadi suam sekalipun tidak mati kesempatan ini dimanfaatkan oleh
pemimpin yang militan, perkumpulan tri murti pada zaman jepang tidak aktif
mulai dihidupkan kembali menjadi majelis hinduisme (1950), selain itu juga
timbul organisasi keagamaan lainnya, demikianlah di bali lahir kelompok
kelompok yang berusaha meningkatkan mutu dan kedudukan agama hindu di bali agar
agama hindu dapat sejajar dengan agama yang lainnya, di akui oleh departeman
agama, dan pada tahun 1958 agama hindu bali diakui oleh departemen agama RI . Setelah
di akui oleh pemerintah RI di bentuklah dewan agama hindu bali yang sesudah
kongres parisada hindu dharma bali (1959) dan pada tahun 1964 diganti dengan
parisda hindu dharma hingga sekarang.
b.
Ditinjau dari
kedatangan Rsi Markandeya .
Orang-orang keturunan Austronesia telah menyebar di seluruh
wilayah Bali. Mereka tinggal berkelompok-kelompok dengan Jro-jronya (pemimpin-pemimpinnya
masing-masing). Kelompok-kelompok inilah nantinya yang menjadi desa-desa di
Bali mereka adalah Orang Bali Mula, dan mereka dikenal dengan nama Pasek Bali.
Ketika itu, orang-orang Bali mula belum menganut Agama,
mereka hanya menyembah leluhur yang mereka namakan Hyang. Menurut para ahli,
kondisi spiritual masyarakat Bali pada saat itu masih kosong. Keadaan yang
demikan ini berlangsung hingga awal tarih masehi kurang lebih sekitar abad
pertama masehi. Dengan keadaan Bali yang demikian maka mulailah berdatangan
orang-orang dari luar Bali ke pulau ini. Disamping untuk mengajarkan agama
Hindu, mereka juga ingin memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan. Untuk
hal tersebut datanglah seorang rsi ke Bali yang bernama Maharsi Markandeya.
Menurut sumber – sumber berupa lontar, sastra, dan purana,
Maharsi Markandeya berasal dari India. Seperti dinyatakan sebagai berikut dalam
Markandeya Purana, “Sang Yogi Markandeya kawit hana saking Hindu” yang artinya
“sang yogi Markandeya asal mulanya adalah dari India”. Dari data-data yang di dapatkan
nama Markandeya bukan nama perorarangan, melainkan adalah nama perguruan atau
nama pasraman seperti halnya juga nama Agastya. Perguruan atau pasraman adalah
lembaga yang mempelajari dan mengembangkan ajaran-ajaran dari guru-guru
sebelumnya. Kebiasaan secara tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi
untuk melanjutkan tradisi dari guru sebelumnya, yaitu dari guru ke murid dan
seterusnya. Garis perguruan turun temurun ini di sebut Parampara, dan tiap-tiap
parampara menyusun pokok-pokok ajarannya, dari parampara yang telah mengangkat
guru dan murid untuk melanjutkan garis perguruan ini dinamakan Sampradaya. Dari
tiap-tiap sampradaya menyusun pokok-pokok ajarannya dari sumber-sumber yaitu,
Catur Weda, Purana, Upanisad, Wedanta Sutra, dan Itihasa. Walaupun memiliki
pandangan yang berbeda, namun mereka mengambilnya dari Weda dengan tradisi
turun-temurun yang sama dalam menafsirkan dan mengajarkan pokok-pokok ajaran di
dalam Weda. Demikian akhirnya, pustaka-pustaka suci tersebut disebarkan, dimana
di antaranya adalah Markandeya Purana, Garuda Purana, Siva Purana, Vayu purana,
Visnu Purana dan lain sebagainya. Bahkan dari tiap generasi ke generasi
terdapat nama diksa (inisiasi) yang sama dengan nama pendahulunya. Jadi sang
Maharsi Markandeya adalah seorang rsi dari garis perguruan yang namanya sama
dengan nama pendahulunya di India, beliau datang ke Indonesia untuk menyebarkan
agama Hindu, terutama paham Waisnava (pemuja Wisnu).
Ketika tiba di Indonesia, Maharsi Markandeya berasrama di
wilayah Pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Lalu beliau ber-dharmayatra ke arah
timur, dan tibalah di Gunung Raung, Jawa Timur. Disini beliau membuka pasraman
dimana beliau di dampingi oleh murid-murid beliau yang di sebut Wong Aga
(orang-orang pilihan). Beberapa tahun kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke
timur, tepatnya ke pulau Bali yang ketika itu masih kosong secara spiritual.
Disamping untuk mengajarkan agama Hindu, beliau juga ingin mengajarkan
teknik-teknik pertanian secara teratur, bendungan atau sistem irigasi, peralatan
untuk yajna dan lain-lain. Perjalanan beliau diiringi oleh 800 orang
murid-muridnya.
Saat datang pertama kali ke Bali, beliau datang ke Gunung
Tohlangkir. Disana beliau dan murid-muridnya merabas hutan untuk lahan
pertanian, tetapi sayangnya banyak murid-muridnya terkena penyakit aneh tanpa
sebab, ada juga yang meninggal diterkam binatang buas seperti mranggi (macan),
ada yang hilang tanpa jejak, bahkan ada yang gila. Melihat keadaan demikian,
Maharsi Markandeya memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung, lalu beliau
beryoga untuk mengetahui bencana yang menimpa murid-muridnya ketika ke Bali.
Akhirnya beliau mendapatkan petunjuk bahwa terjadinye bencana tersebut adalah
karena beliau tidak melaksanakan yajna sebelum membuka hutan itu.
Setelah mendapatkan petunjuk, Maharsi Markandeya kembali
lagi datang ke Bali tepatnya ke Gunung Tohlangkir. Kali ini beliau hanya
mengajak 400 orang muridnya. Tapi sebelum merabas hutan dan kembali mengambil
pekerjaan sebelumnya, Maharsi Markandeya melakukan upacara ritual, berupa
yajna, agni hotra, dan menanam panca datu di lereng Gunung Tohlangkir, Nyomia,
dan upacara Waliksumpah untuk menyucikan dan mengharmoniskan tempat tersebut.
Demikianlah akhirnya semua pengikut beliau selamat tanpa kurang satu apapun.
Oleh karena itu, Maharsi Markandeya kemudian menamakan wilayah tersebut dengan
nama Wasuki, kemudian berkembang menjadi nama
Basukian dan dalam perkembangan
selanjutnya orang-orang menyebut tempat ini dengan nama Basuki yang artinya
keselamatan. Hingga saat ini, tempat ini dikenal dengan nama Besakih dan tempat
beliau menaman panca datu akhirnya di dirikan sebuah pura yang diberi nama Pura
Besakih. Dan Maharsi Markandeya mengganti nama Gunung Tohlangkir dengan nama
Gunung Agung. Tidak hanya itu saja, Maharsi Markandeya akhirnya menamakan pulau
ini dengan nama Wali yang berarti persembahan atau korban suci, dan
dikemudian hari dikenal dengan nama Bali Dwipa atau sekarang dikenal dengan
nama Bali, dimana semua akan selamat dan sejahtera dengan melaksanakan
persembahan yajna atau korban suci. Setelah beberapa tahun lamanya beliau
akhirnya menuju arah barat untuk melanjutkan perjalanan dan sampai di suatu
daerah datar dan luas, sekaligus hutan yang sangat lebat. Disanalah beliau dan
murid-muridnya merebas hutan. Wilayah yang datar dan luas itu dinamakan
Puwakan, kemudian dari kata puakan berubah menjadi Kasuwakan, lalu menjadi
Suwakan dan akhirnya menjadi Subak.
Di tempat ini beliau menanam berbagai jenis pangan dan
semuanya bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan dengan baik. Oleh karenanya
tempat ini di namakan Sarwada yang artinya serba ada. Karena keadaan ini dapat
terjadi karena kehendak Tuhan lewat perantara sang maharsi. Kehendak bahasa
Balinya kahyun, kayu bahasa sansekertanya taru, kemudian dari kata taru tempat
ini dikenal dengan nama Taro dikemudian hari, yang terletak di kabupaten
Gianyar. Di wilayah ini Maharsi Markandeya mendirikan pura sebagai kenangan
terhadap pasramannya di gunung raung. Pura ini dinamakan Pura Gunung Raung,
bahkan hingga saat ini di bukit tempat beliau beryoga juga di dirikan sebuah
pura yang kemudian dinamakan Pura Luhur Payogan, yang letaknya di Campuan,
Ubud. Pura ini juga disebut pura Gunung Lebah. Selanjutnya Mahasri Markandeya
pergi ke arah barat dari arah Payogan dan kemudian membangun sebuah pura yang
diberi nama Pura Murwa, sedangkan wilayahnya dan sebagainya di beri nama
Parahyangan kemudian orang-orang menyebutnya dengan sebutan Pahyangan. Dan
sekarang tempat tersebut dikenal dengan Payangan.
Orang-orang Aga, murid-murid maha rsi markandeya menetap di
desa-desa yang dilalui oleh beliau, mereka membaur dengan orang-orang Bali
mula, bertani dan bercocok tanam dengan cara yang sangat teratur,
menyelenggarakan yajna seperti yang di ajarkan oleh Maharsi Markanadeya. Dengan
cara demikian terjadilah pembauran orang-orang Bali mula dan orang-orang Aga,
kemudian dari pembauran ini mereka dikenal dengan nama Bali Aga yang berarti
pembauran penduduk bali mula dengan orang-orang aga, murid Maharsi
Markandeya, dengan adanya hal ini, maka Hindu dapat diterima dengan baik
oleh orang-orang Bali mula ketika itu. Sebagai rohaniawan (pandita) orang-orang
Bali Aga dimana Maharsi Markandeya menjadi pendirinya, maka orang-orang Bali
Aga dikenal dengan nama Warga Bhujangga Waisnava.
Dalam jaman kerajaan Bali, terutama zaman Dinasti Warmadewa.
Warga Bhujangga Waisnsava selalu menjadi purohito (pendeta utama kerajaan) yang
mendampingi raja, antara lain Mpu Gawaksa yang dinobatkan oleh sang ratu Sri
Adnyadewi tahun 1016 M, sebagai pengganti Mpu Kuturan. Ratu Sri Adnyadewi pula
yang memberikan wewenang kepada sang guru dari Warga Bhujangga Waisnava untuk
melaksanakan upacara Waliksumpah ke atas, karena beliau mampu membersihkan
segala noda di bumi ini, bahkan sang ratu mengeluarkan bhisama kepada seluruh
rakyatnya yang berbunyi : “Kalau ada rsi atau wiku yang meminta-minta, peminta
tersebut sama dengan pertapa, jika tidak ada orang yang memberikan derma kepada
petapa itu, bunuhlah dia dan seluruh miliknya harus diserahkan kepada pasraman.
Dan apa bila terjadi kekeruhan di kerajaan dan di dunia, harus mengadakan
upacara Tawur, Waliksumpah, Prayascita (menyucikan orang-orang yang berdosa),
Nujum, orang-orang yang mengamalkan ilmu hitam haruslah sang guru Bhujangga
Waisnava yang menyucikannya, sebab sang guru Bhujangga Waisnava seperti angin,
bagaikan Bima dan Hanoman, itu sebabnya juga sang guru Bhujangga Waisnava
berkewajiban menyucikan desa, termasuk hutan, lapangan, jurang. Oleh karena
sang guru Bhujangga Waisnava sebaik Bhatara Guru, boleh menggunakan segala-galanya
dan dapat melenyapkan hukuman”.
Kemudian pada masa pemerintahan Sri Raghajaya tahun 1077 M
yang diangkat menjadi purohito kerajaan adalah Mpu Andonamenang dari keluarga
Bhujangga Vaisnava. Lalu Mpu Atuk di masa pemerintahan raja Sri Sakala
Indukirana tahun 1098 M, kemudian Mpu Ceken pada masa pemerintahan raja Sri
Suradipha tahun 1115 – 1119 M, kemudian Mpu Jagathita pada masa pemerintahan
Sri Jayapangus tahun 1148 M. Untuk raja-raja selanjutnya selalu ada seorang
purohito raja yang diambil dari keluarga Bhujangga Waisnava dan seterusnya
hingga masa pemerintahan Sri Dalem Waturenggong di Bali. Saat itu yang menjadi
purohito adalah dari griya Takmung dimana beliau melakukan kesalahan selalu
acharya kerajaan yang telah mengawini Dewi Ayu Laksmi yang tidak lain adalah
putri Dalem sendiri selaku sisyanya. Atas kesalahannya ini sang guru Bhujangga
akan dihukum mati, tapi beliau segera menghilang dan kemudian menetap di daerah
Buruan dan Jatiluwih, Tabanan.
Semenjak kejadian tersebut, dalem tidak lagi memakai purohito
dari Bhujangga Waisnava. Sejak itu dan setelah kedatangan Danghyang Nirartha di
Bali, posisi purohito di ambil alih oleh Brahmana Siwa dan Budha. Bahkan
setelah strukturisasi masyarakat Bali ke dalam sistem wangsa oleh Danghyang
Nirartha atas persetujuan Dalem, keluarga Bhujanggga Waisnava tidak dimasukkan
lagi sebagai warga brahmana. Namun peninggalan kebesaran Bhujangga Waisnava
dalam perannya sebagai pembimbing awal masyarakat Bali, terutama dari kalangan
Bali Mula dan Bali Aga masih terlihat sampai sekarang. Pada tiap-tiap pura dari
masyarakat Bali Aga, selalu ada sebuah pelinggih sebagai sthana Bhatara Sakti
Bhujangga. Alat-alat pemujaan selalu siap pada pelinggih itu. Orang-orang Bali
Aga/Mula cukup nuhur tirtha, tirtha apa saja, terutama tirta pengentas adalah
melalui pelinggih ini. Sampai sekarang para warga ini tidak pernah/berani
mempergunakan atau nuhur Pedanda Siva. Selain itu, para warga ini tidak pernah
mempersembahkan sesajen dari daging ketika diadakan pujawali dan biasanya
mereka menggunakan daun kelasih sebagai salah satu sarana persembahan selain
bunga, air, api dan buah.
Warga Bhujangga Waisnava, keturunan Maharsi Markandeya
sekarang sudah tersebar di seluruh Bali, pura pedharmannya ada di sebelah timur
penataran agung Besakih di sebelah tenggara pedharman Dalem. Demikian juga
pura-pura kawitannya tersebar di seluruh Bali, seperti di Takmung, kabupaten
Klungkung, Batubulan, kabupaten Gianyar, Jatiluwih di kabupaten Tabanan dan di
beberapa tempat lain di Bali.
Demikianlah Maharsi Markandeya, leluhur Warga Bhujangga
Waisnava penyebar agama Hindu pertama di Bali dan warganya hingga saat ini ada
yang melaksanakan dharma kawikon dengan gelar Rsi Bhujangga Waisnava. Sedangkan
orang-orang Aga beserta keturunakannya telah membaur dengan orang-orang Bali
Mula atau penduduk asli Bali keturunan Bangsa Austronesia, dan mereka dikenal
dengan nama orang-orang Bali Aga.
Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar