OM SWASTI ASTU
Umat sedharma yang berbahagia,
mudah-mudah dalam keadaan sehat selalu dan dalam lindungan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, disini saya mencoba berbagi pengatahuan dengan kawan semua mudah-mudah
dapat menambah wawasan kita semua. Setiap setahun sekali kita merayakan
hari raya SIWARATRI dimana hari raya tersebut selalu dihubungkan dengan sebuah
cerita Si lubdaka karangan Mpu Tanakung. Cerita lubdaka bahkan sudah tidak
asing lagi bagi kita semua dari SD sampai perguruan tinggi kita pasti mendegar
cerita tersbut. Bahkan dalam perayaan-perayaan di pura kita sering melihat
pemetasan sendratari Lubdaka yang diperankan oleh Pemuda-pemudi yang sangat
atusias sekali mengekspresikan semua kreativitasnya. Tapi tanpa kita sadari
bahwa cerita lubdaka tersebut penuh makna dari semua simbol-simbol dari seluruh
cerita tersebut yang dipesankan oleh Pengarang-Nya (Mpu Tanakung). Disini saya
akan meceritakan sedikit kisah lubdaka, Karna saya yakin dan percaya Umat
sedharma semua sudah pernah mendengarkan.
Di Bali, Siwaratri selalu dikaitkan
dengan cerita Lubdaka. Konon, pada malam Siwaratri, Dewa Siwa sebagai
manifestasi Tuhan melakukan yoga. Saat yang bersamaan, dikisahkan seorang
pemburu bernama Lubdaka kemalaman di hutan dan akhirnya menginap. Agar tidak
dimakan binatang buas, si Lubdaka naik ke pohon. Agar tetap terjaga, sebagai
pengusir kantuk, si Lubdaka memetik dan menjatuhkan daun-daun pohon yang
dipanjatnya dan kebetulan di bawah pohon tersebut ada sebuah lingga Dewa Siwa,
jadi secara tidak langsung Lubdaka melakukan pemujaan kepada Dewa Siwa tepat di
saat Beliau beryoga.
Dewa Siwa konon sangat senang karena
Lubdaka terjaga dan ‘menemani’ Dewa Siwa melakukan yoga. Maka ketika Lubdaka
meninggal, saat lembaga yudikatif kahyangan, dalam hal ini Dewa Yama melakukan
pengadilan, datanglah satu batalyon tentara sorga yang dikirim oleh Dewa Siwa,
dan membawa Lubdaka ke sorga. Padahal, Dewa Yama hendak mengirimnya ke neraka
karena profesi Lubdaka sebagai pemburu adalah dosa, membunuhi binatang-binatang
tak berdosa demi kesenangan. Sementara, Dewa Siwa sudah terlanjur ‘sayang’
dengan Lubdaka yang menemaninya satu malam beryoga, sehingga melakukan
intervensi pada putusan lembaga yudikatif kahyangan pimpinan Dewa Yama.
Mungkin demikian cerita singkat dari
kisah LUBDAKA, disini saya akan mencoba mengulas tentang makna dari semua
simbol dari cerita lubdaka yang belum disebutkan diatas.
Kita akan kupas satu persatu makna
simbolik dari ceirta lubdhaka.
1. Hari Perayaan Siwaratri.
Siwaratri yang datang setahun sekali
yaitu pada hari 14 paruh gelap malam mahapalguna (januari-Februari), sehari
sebelum Tilem kapitu, menyediakan seperangkat pengetahuan, nilai, norma-norma,
pesan, dan symbol. Kata ratri berarti malam, Karena itu Siwaratri berarti
malam siva.Siva berarti baik hati, suka memaafkan, memberikan harapan, Dengan
demikian siwaratri adalah malam untuk melebur kegelapan hati menu jalan yang
terang. Siwaratri jatuh setahun sekali pada purwaning tilem ke pitu
(panglong ping 14 sasih kepitu). Menurut astronomi malam tersebut merupakan
malam yang paling gelap dalam satu tahun, maka buana agung terdapat malam yang
paling gelap, maka di buana alit pun ada. Kegelapan di buana alit dikenal
dengan nama peteng pitu, yaitu mabuk karena rupawan (surupa), mabuk karena
kekayaan (dana), mabuk karena kepandaian ( Guna), mabuk karena kebangsawanan
(kulina), mabuk karena keremajaan (yohana), mabuk karena minuman keras(sura),
dan mabuk karena kemenangan (kasuran).Kegelapan inilah terjadi karena kesimpang
siuran dalam struktur alam pikiran. Kesimpang siuran ini terjadi karena
pengaruh dasendriya, sehingga menghasilkan manusia yang mengumbar hawa nafsu.
2. Makna Kata Lubdaka.
Kata Lubdhaka (sansekerta) berarti
pemburu . Secara umum pemburu adalah diartikan sebagai orang yang suka mengejar
buruan yaitu binatang (sattwa). Kata Sattwa berasal dari kata sat yang artinya
mulia sedangkan twa artinya sifat. Jadi sattwa adalah sifat inti atau hakekat.
Dengan demikian Lubdhaka adalah orang yang selalu mengejar atau mencari inti
hakekat yang mulia.
3. Tempat Tinggal Lubdhaka.
Lubdaka dikisahkan tinggal di puncak
gunung yang indah . gunung didalam bahasa sansekerta disebut acala yang tidak
bergerak. Bahkan dalam ceritra wrespati kalpa dikisahkan Betara siwa dipuja di
puncak gunung kailasa. Jadi tempat tinggal Lubdhaka di puncak gunung dapat
diartikan bahwa ia adalah orang yang taat dan tekun memuja siwa (Siwa Lingga)
atau yang sering disebut seorang Yogi
4. Alat Perburuan dan binatang
Buruan.
Alat bebrburu si Lubdhaka adalah
panah, symbol dari manah / pikiran. Dengan senjata pikiran ia selalu berburu
budhi sattwa. Agar ia mendapatkan budhi sattwam mesti ia mengendalikan
indrianya ( melupakan bekal makanan) Binatang yang diburu oleh Lubdhaka
adalah, gajah, badak, babi hutan. Dalam bahasa sansekerta gajah berarti asti,
simbolis dari astiti bhakti. Sedangkan badak sama dengan warak bermakna tujuan
sedangkan babi hutan (waraha) mengandung makna wara nugraha.
Dengan demikian ketiga binatang
buruan tersebut mengandung makna bahwa Lubdhaka dengan pikirannya yang dijiwai
oleh budhi sattwam senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang didasari oleh
astiti bhakti dengan tujuan mendapatkan wara nugraha dari Ida Hyang widhi wasa
( Siwa).
5. Berangkat berburu pada panglong
ping 14.
Hari ke 14 paro terang di bulan
magha ini Si Lubdaka tumben sial, tidak mendapat binatang. Ini adalah waktu
kosmis yang tepat untuk melakukan laku spiritual. Bulan dikatakan memiliki 16
kala kekuatan duniawi ini simbolik dari 1 + 6 = 7, yaitu sapta timira. Pada
hari ke 14 paro simbolik 1+4 = 5 melambangkan panca indra. Jadi pada pang long
ping 14 terang ini telah kehilangan 14 kala’ dan saat itu hanya masih tinggal 2
kala yakni raga (ego) dan kama ( nafsu ). Jadi jika kedua kala tadi mampu kita
kalahkan maka disana Siwa akan memberikan rahmatnya.
6. Pagi hari memakai pakaian hitam
kebiruan.
Hitam adalah lambang keberanian,
keperkasaan. Pagi hari disebut Brahman muhurta “ hari Brahman, waktu yang baik
untuk melakukan olah spiritual atau memuja Tuhan.
7. Berjalan sendirian.
Pemberani. Hanya orang yang tidak
mengenal atau mampu mengatasi rasa takut yang berani sendirian masuk hutan
lebat. Simbolik dari mengikuti jalan yang disebut nirwrwti marga : jalan
spiritual bagi seorang pertapa atau jnanin. Dalam makna berangkat sendirian
maka tidak ada teman bicara itu berarti mona brata “ tidak berbicara”.
8. Menuju arah timur laut.
Menuju kiblat suci merupakan sandi
dari kiblat utara symbol Ratri “ malam, gelap, hitam,dengan kiblat timur symbol
Siwa atau Iswara siang, putih, terang, Simbolik paham sakti dengan paham Siwa.
9. Selama perjalanan banyak
menemukan tempat suci yang rusak .
Simbolik dari merosotnya situasi
politik dan merosotnya kehidupan religius umat Hindu.
10. Tidak seekor binatangpun
didapatkan.
Binatang symbol “ ego” sifat
binatang itu tidak lagi ditemukan pada diri sang pertapa , artinya pertapa
telah berhasil mengalahkan keakuannya dan rasa kepemilikannya.
11. Tidak terasa senjapun tiba.
Symbol dari daya konsentrasinya
kuat. Vivekananda mengatakan bahwa, semakin banyak waktu yang terlewatkan tanpa
kita perhatikan , semakin berhasil kita dalam konsentrasi. Ketika yang lampau
dan sekarang berdiam menjadi satu berarti saat itulah pikiran memusat.
Sandyakala adalah hari sandi antara terang dan gelap yang menyebabkan kenyataan
menjadi tidak jelas. Oleh karena seorang pertapa harus lebih awas dengan
meningkatkan spiritualnya.
12. Naik pohon bilwa yang tumbuh di
pinggir danau, dan duduk dicampang
pohonnya.Symbol dari meningkatnya
kesadaran dengan jalan mediatasi untuk memurnikan pikiran agar daya budi
terungkap. Pohon bilwa disimbolkan sebagai tulang punggung yang di dalamnya
terdapat cakra-cakra , simpul-simpul energi spiritual yang satu dengan yang
lainya saling berhubungan. Duduk di campang pohon melambangkan daya keseimbangan
konsentrasi antara otak kiri dan kanan, yakni otak tengah. Naik keatas pohon
melambangkan bangkitnya daya sakti yang disebut kundalini sang pertapa.
13. Ranu atau danau
Symbol Yoni lambang sakti atau Dewi,
saktinya siwa adalah lambang kesuburan.
14. Di tengah danau ada Siwalingga
nora ginawe.
Batu alami yang kebetulan ada
ditengah danau . Lingga adalah symbol Siwa
15. Memetik daun bilwa.
Memetik ajaran Siwa. Kata Rwan atau
ron, don, berarti daun dan dapat juga berarti tujuan. Jika dirangkai dengan
kata maja atau bilwa maka melambangkan tujuan. Yakni mengembangkan kesadaran.
Dengan demikian dapat diartikan dimana sang pertapa selalu memetik sari ajaran
untuk mengembangkan kesadaran. Dalam hubungan jagrabrata olah kesadaran dengan
mempelajari siwa tattwa ( ajaran hakekat ketuhanan) sampai akhirnya mencapai
pencerahan rohani. Jadi Mpu tanakung disini menuliskan dengan simbolis yaitu
olah budi dan rasa terpusat kepada Tuhan.Untuk itu disebutkan oleh Mpu tanakung
,mahaprabhawa nikanang brata panglimur kadusta kuhaka, setata turun mapunya
yasa dharma len brata gatinya kasmala dahat. Artinya brata siwararti adalah
mampu meruwat sifat dusta dan keji. Cara meruwat itu adalah dengan melakukan
dyana (meditasi), menyanyikan syair pujian, merafal mantra,melakukan japa (
menyebut nama Tuhan berkali-kali),
16. Tiba dipondok sore hari,
menjelang petang (hari tilem).
Kenyataan umum setiap orang berburu
pasti akan kembali pulang. Simbolnya kembali dari perjalanan suci yang
dilakuakan selama dua hari satu malam : 36 jam.
17. Tiba di pondok Lubdaka baru
makan.
Perjalanan berburu Lubdaka tidak
membawa bekal, karena memang tidak rencana menginap. Simbol dari melakuakan
upawasa, puasa tidak makan, minum selama 36 jam, yakni dari pagi hari pada hari
ke 14 paro terang, purwani tilem sampai besok senja kala hari ke 15 tilem
C. Kesimpulan.
“samo ham sarva bhutesu, namo dvesyo
sti na priyah. ye bhajanti tu mam bhaktya, mayi te tesu ca pi aham..”
semua mahluk adalah sama padaku,
tidak ada yang terbenci atau yang tercinta. tapi bagi mereka yang memujaku,
maka mereka ada di dalam aku, dan aku ada di dalam mereka.
Begitulah Tuhan, netral. Manusialah
yang seharusnya diberikan kebebasan untuk memilih, mau membentuk hubungan
seperti apa dengan Tuhan. Sementara, Tuhan hanya berfungsi menjaga agar
hukumnya tetap berlaku. Bahkan Tuhan adalah hukum itu sendiri, yang abadi, yang
senantiasa berlaku adil.
Jadi, janganlah berharap Tuhan akan
mengampuni dosa-dosa kita. Kitalah yang harus bertindak untuk mengurangi
pahitnya akibat dosa yang kita berbuat. Ibarat kopi pahit yang terlanjur kita
tuang kedalam air, janganlah berdoa semalaman untuk menyuruh Tuhan agar
mengambil dan menyaringnya kembali. Tapi, Kitalah yang harus menambahkan air
kedalam kopi itu, sehingga kadar larutan kopi berkurang–sehingga dengan
demikian rasa pahitnya berkurang. Perbesarlah bejana kesadaran dan tuangkan air
kebijaksanaan, kesucian dan karma baik kedalamnya. Demikian terus menerus,
sehingga larutan kopi karma buruk yang pernah dibuat, akan larut dan tak
terasa.
Selamat Hari Raya Siwaratri…Itulah
ceritera tentang Lubdaka dimana ceritra itu penuh makna dan arti. Seperti yang
dikatakan Mpu Tanakung bahwa kita selayaknya dalam hidup ini selalu amuter
tutur penehayu, yang artinya berusaha memutar kesadaran dengan cara yang tepat.
Salah satunya adalah menjalankan brata siwaratri ini.
Dari cerita diatas Lubdaka adalah
manusia biasa yang penuh dosa papa, mampu dengan secara kebetulan menjalankan
ajaran / memuja Siwa di hari yang ratri, dan kebetulan itu akan mengingatkan
kita bahwa hal tersebut akan terus dilakukan setiap tahun yaitu panglong ping
14 yang mana itu merupakan hari pemujaan Siwa, maka segala dosa yang pernah
diperbuat mendapat pengampunan. Artinya, dosa-dosanya itu menjadi berkurang
karena perbuatan yang baik.