Minggu, 07 April 2013

Nilai kesetiaan dalam Geguritan Sudamala



KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat TUHAN YANG MAHA ESA atas rahmat dan anugrah-Nya. Penulis dapat menyelesaikan makalah ini sesuai jadwal yang di inginkan. Dalam makalah ini penulis mengakat judul “Nilai-nilai Agama yang terkandung dalam Geguritan”.
Penyusunan makalah ini dapat berjalan dengan lancar dan dapat terselesaikan dengan baik karena berkat kerjasama yang baik dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran-saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan makalah-makalah yang selanjutnya, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.



      Singaraja, 1 Desember 2010
                                                                                                                         
                                                                                                       Penulis









BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
      Sastra berasal dari bahasa Sansakerta “shastra” yang artinya adalah "tulisan yang mengandung intruksi" atau "pedoman". Secara morfologis kata kesusastraan, yang lebih sering hanya disebut sastra, dapat diuraikan atas konfiks ke-an yang berarti 'semua yang berkaitan dengan, prefiks su 'baik, indah, berguna' dan bentuk dasar sastra yang berarti “kata, tulisan, ilmu”. Jadi, menurut uraian di atas kesusastraan adalah semua yang berkaitan dengan tulisan yang indah. Sedang menurut arti istilah, kesusastraan atau sastra ialah cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai medium. Umumnya dikatakan bahwa keindahan atau nilai estetis suatu cipta sastra timbul karena adanya keserasian, kesepadanan, atau keharmonisan antara isi (topik, amanat) dengan bentuk ( cara pengung kapan isi ).
Dalam Kesusatraan Bali ada beberapa bentuk sastra salah satunya adalah tembang. Bentuk tembang di bali disebut sekar, dan sekar dibagi menjadi empat yaitu Sekar Rare, Sekar Alit, Sekar Madia, dan Sekar Agung.
Di dalam Sekar Alit (Macepat/Pupuh) dibentuk dan diikat oleh aturan Pada Lingsa. Pada Lingsa adalah banyaknya baris dalam tiap bait (pada) banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris (carik) dan bunyi akhir tiap-tiap baris.  Bentuk nyanyian yang ada di Sekar Alit berupa Pupuh dan biasanya pupuh ini terdapat dalam cerita yang di Bali sering orang menyebutkan sebagai Geguritan atau Peparikan.
      Geguritan merupakan sastra kuno yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang berifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Ini disebabkan karena pada zamanya dibuat seorang penulis tidak mau menonjolkan diri dan karyanya dianggap milik bersama. Didalam geguritan banyak nilai-nilai yang terkandung didalamnya yang bisa di petik oleh orang-orang sebagai tuntunan moral. Gegruritan merupakan komposisi sebuah puisi, geguritan merupaka suatu ciptaan sastra yang menampung semua kisah dari seorang penulisnya.
       



B.         Rumusan Masalah
Berdasarkan  latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang hendak dibahas dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana Kesusastraan itu?
2.      Bagaimana pengertian Geguritan?
3.      Bagaimana Geguritan Sudamala itu?
4.      Bagaimana pupuh atau tembang yang digunakan dalam geguritan Sudamala?
5.      Bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam geguritan sudamala?
C.        Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1.      Mengetahui apa itu Kesusastraan!
2.      Mengetahui pengertian Geguritan!
3.      Mengetahui Geguritan Sudamala itu!
4.      Mengetahui pupuh atau tembang yang digunakan dalam geguritan sudamala!
5.      Mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam geguritan sudamala!
D.        Manfaat
        Ada pun manfaat dari makalah ini adalah
1.      Sebagai alat komunikasi antara sastrawan dan masyarakat pembacanya.
2.      Karya sastra selalu berisi pemikiran, gagasan, kisahan, dan amanat yang dikomunikasikan kepada pembaca.
3.      Untuk bisa mengapresiasikan sastra tersebut.
4.      Bisa memahami nilai-nilai pada geguritan.








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kesusastraan
Sastra berasal dari bahasa Sansakerta “shastra” yang artinya adalah “tulisan yang mengandung intruksi” atau “pedoman”. Sastra dalam arti khusus yang kita gunakan dalam konteks kebudayaan, adalah ekspresi gagasan dan perasaan manusia. Jadi, pengertian sastra sebagai hasil budaya dapat diartikan sebagai bentuk upaya manusia untuk mengungkapkan gagasannya melalui bahasa yang lahir dari perasaan dan pemikirannya. Secara morfologis kata kesusastraan, yang lebih sering hanya disebut sastra, dapat diuraikan atas konfiks ke-an yang berarti “semua yang berkaitan dengan, prefiks su 'baik, indah, berguna'” dan bentuk dasar sastra yang berarti “kata, tulisan, ilmu”. Jadi, menurut uraian di atas kesusastraan adalah semua yang berkaitan dengan tulisan yang indah. Sedang menurut arti istilah, kesusastraan atau sastra ialah cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai medium. Umumnya dikatakan bahwa keindahan atau nilai estetis suatu cipta sastra timbul karena adanya keserasian, kesepadanan, atau keharmonisan antara isi  topik, amanat dengan bentuk cara pengung kapan isi .
Ada tiga hal yang berkaitan dengan pengertian sastra, yaitu ilmu sastra, teori sastra, dan karya sastra.
a.       Ilmu sastra
Ilmu sastra adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki secara ilmiah berdasarkan metode tertentu mengenai segala hal yang berhubungan dengan seni sastra. Ilmu sastra sebagai salah satu aspek kegiatan sastra meliputi hal-hal berikut. Teori sastra, yaitu cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang asas-asas, hukum-hukum, prinsip dasar sastra, seperti struktur, sifat-sifat, jenis-jenis, serta sistem sastra. Sejarah sastra, yaitu ilmu yang mempelajari sastra sejak timbulnya hingga perkembangan yang terbaru. Kritik sastra, yaitu ilmu yang mempelajari karya sastra dengan memberikan pertimbangan dan penilaian terhadap karya sastra. Kritik sastra dikenal juga dengan nama telaah sastra. Filologi, yaitu cabang ilmu sastra yang meneliti segi kebudayaan untuk mengenal tata nilai, sikap hidup, dan semacamnya dari masyarakat yang memiliki karya sastra. Keempat cabang ilmu tersebut tentunya mempunyai keterkaitan satu sama lain dalam rangka memahami sastra secara keseluruhan
b.  Teori sastra adalah asas-asas dan prinsip-prinsip dasar mengenai sastra dan kesusastraan.
c.   Seni sastra adalah proses kreatif menciptakan karya seni dengan bahasa yang baik, seperti puisi, cerpen/novel, atau drama.
Sastra bisa dibagi atas sastra lisan dan sastra tertulis. Sastra lisan tidak berhubungan dengan tulisan, tetapi lebih kepada ekspresi bahasa yang diungkapkan secara oral mengenai pemikiran seseorang.
Kategori sastra di antaranya sebagai berikut :
·Cerpen atau cerita pendek, suatu bentuk prosa atau karangan yang tak terikat yang dibuat tidak berdasarkan kejadian nyata atau fiktif dengan hanya mengambil satu atau dua bagian kehidupan tokoh utamanya.
· Novel, karya fiksi prosa berbentuk naratif yang dalam Bahasa Italia disebut novella, yang artinya sepotong berita atau sebuah cerita. Novel lebih panjang dari cerpen, bisa sekitar 40.000 kata atau lebih dan jalan ceritanya tentang kehidupan sehari-hari tokoh sentral dan menitikberatkan pada sisi uniknya.
·  Pantun, jenis puisi lama yang terdapat sampiran dan isi di dalamnya.
·  Drama, bentuk karya sastra yang dapat diperankan dalam suatu pertunjukkan.
Dalam Kesusatraan Bali ada beberapa bentuk sastra salah satunya adalah tembang. Bentuk tembang di bali disebut sekar, dan sekar dibagi menjadi empat yaitu Sekar Rare, Sekar Alit, Sekar Madia, dan Sekar Agung.

B.     Pengertian Geguritan
      Geguritan merupakan sastra kuno yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang berifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Ini disebabkan karena pada zamanya dibuat seorang penulis tidak mau menonjolkan diri dan karyanya dianggap milik bersama.
      Geguritan berasal dari kata gurit yang artinya tulisan, komposisi khususnya puisi. Anggurit artinya menulis sesuatu, mengubah sesuatu (Mulder dan Robson, 1997:320). Dalam kamus bahasa Bali- Indonesia (Warsito,1978:223), gurit artinya gubah, karang, sadur. Geguritan artinya gubahan, saduran, karangan. dan dalam Kamus Umum Indonesia dijelaskan “geguritan itu berasal dari kata gurit artinya sajak atau syair” (Poerwadarminta, 1986 :161). sedangkan dalam Kamus Kawi Indonesia diungkapkan “gurit artinya goresan, dituliskan” (Tim Penyusun, 1996:118). Jadi Geguritan artinya gubahan cerita yang berbentuk tembang atau pupuh.
      Ciri yang kental di dalam sebuah geguritan adalah adanya pupuh-pupuh yang membentuk geguritan tersebut seperti : pupuh pucung, durma, sinom, pangkur, smarandhana, dandang, ginada, dan demung. Oleh karenanya di dalam menikmati geguritan dengan membacanya tidak bisa disamakan dengan membaca karya sastra yang tergolong prosa. Geguritan hendaknya dinikmati dengan membaca sambil melagukan sehingga nikmat yang didapatkan semakin merasuk kalbu. Karya sastra yang berwujud pupuh diikat oleh aturan yang disebut : pada lingsa, pada dan carik. “syarat-syarat yang biasa disebut pada lingsa  yaitu banyaknya baris dalam tiap bait (pada) banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris (carik) dan bunyi akhir tiap-tiap baris”. Berdasarkan pemaparan di atas maka pengertian geguritan adalah ciptaan sastra berbentuk syair yang biasanya dilagukan dengan tembang (pupuh) yang sangat merdu.
Geguritan yang merupakan salah satu bentuk prosa Bali yang terikat perpajakan pupuh, dalam khazanah sastra tradisional dikategorikan sebagai sekar alit (bunga kecil). Sementara kakawin (karya sastra Jawa Kuna) disebut sekar agung (bunga besar). Pengkategorian ini, kalau dicermati, di dalamnya mengandung unsur menganggap gampang sebuah geguritan. geguritan merupakan batu pijakan untuk memasuki sastra besar (sekar agung), yaitu kakawin. Dengan kata lain, kakawin “lebih tinggi” dari geguritan. Cara berpikir yang “meng-hirarki-kan” antara sekar agung dan sekar alit ini mirip dengan cara berpikir barat “abad pertengahan” yang membagi budaya dalam dua mengkategorikan: “budaya tinggi” dan “budaya rendah”. Di Bali, dengan cara yang sama, banyak orang kalangan cenderung memandang bahwa kakawin atau sekar agung adalah budaya tinggi, geguritan atau sekar alit adalah budaya rendah.
Di samping karena bahasanya adalah bahasa pribumi yaitu Bahasa Bali (bukan bahasa import: Jawa Kuna), yang memungkinkan pengarang Bali berekspresi secara maksimal, geguritan tampil dengan menyuguhkan berbagai pengalaman batin manusia Bali dengan spektrum yang tak terbatas: Rasa lapar, suka-duka, merana cinta, puji-puji, dongeng-dongeng, kehancuran perang, candu, zinah, kelaliman raja, kebodohan raja, perselingkuhan, mitrologi, hantu dan berbagai makhluk dari alam lain, tata ruang dan arsitekstur, masyarakat multikultur, dewa-dewi, ilmu hitam-putih, etika, tata krama, kecerdasan dan kedunguan, dalil filsafat dan kenaifan manusia, mantra dan kutukan, petuah-petuah dan umpatan. Tak ada satu “ideology” yang menghegemoni geguritan.
Walaupun banyak geguritan merupakan carangan, karya yang lahir dari resepsi pengarang terhadap ‘narasi besar’ Mahabarata dan Ramayana, geguritan secara keseluruhan bergerak “menjauh” dari kungkungan narasi besar tersebut. Geguritan adalah sebuah ruang pengungkapan kreatif yang liberal yang mampu memberi alternatif dalam kebekuan bahasa Jawa Kuna dan metrum-metrum kakawin yang ketat dengan berbagai aturannya. Geguritan lebih kuat menangkap “narasi kecil” seperti cerita rakyat, dongeng, dan serba-serbi hidup yang melingkupi kehidupan keseharian masyarakat Bali, dan juga “kegilaan” imajinasi pengarangnya. Geguritan, dalam sejarah perkembangan bahasa Bali, memiliki peranan strategis sebagai salah satu ruang yang memungkinkan bahasa Bali untuk berkembang setinggi-tingginya. Geguritan sebagai warisan dunia, bukan hanya karena isi dan kandungan intrinsiknya, tetapi juga karena sumbangan terbesarnya bagi sejarah bahasa-bahasa di dunia berupa kemampuannya merekam secara tertulis kekayaan kosa kata bahasa Bali. Geguritan bukan hanya “file-file dunia imajinasi manusia Bali”, tetapi juga “file-file kosa kata”

C.    Geguritan Sudamala
Geguritan Sudamala adalah sastra kuna yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang berifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Geguritan Sudamala adalahgeguritan  yang menceritakan dewa siwa yang menguji kesetiaan istrinya dewi parwati. Sudamala  merupakan salah satu 5 ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil "ngruwat" Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya. Sadewa berhasil "ngruwat" Bethari Durga yang semula adalah raksasa betina bernama Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula yakni seorang bidadari di kayangan dengan nama betahari Uma. Makna dari Cerita sudamala ialah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau yang telah berhasil "ngruwat". Sumandala yang diartikan  Mendalami Kemurnian Nurani. Dalam Geguritan Sudamala adapun penokohannya antara lain :
1.      Ida Batara Siwa karater yang tercemin dalam geguritan sudamala beliau adalah suami dari Ida Betari Uma yang mengutuk isrtinya menjadi Dewi Durga karena tidak setia kepadanya.
2.      Ida Betari Uma adalah istri dari Batara Siwa yang sangat cantik dan di kutuk menjadi raksasa yang bernama Dewi Durga. Ida Betari Durga atau Ida Ranini Durga yang bertempat di Setra.
3.      Pengango sampi adalah merupakan utusan dari Batara Siwa
4.      Sahadewa adalah Anak ke lima dari Panca Pandawa yang mempunyai anugrah dari Hyang Tunggal yang akan melepaskan kutukan Ida Betari Durga Menjadi Ida Betari Uma kembali.
5.      Sang kalika istri lan lanang adalah pengikut sekaligus anak dari Betari Durga yang berupa raksasa merupakan Dua penghuni sorga lainnya, yaitu Citrasena dan Citranggada juga dikutuk karena perbuatannya yang kurang hormat kepada Bhatara Guru menjadi raksasa Kalantaka dan Kalanjaya. Kedua raksasa ini mengabdi kepada Korawa. Pandawa berperang melawan kedua raksasa sakti itu.
6.      Dewi Kunti adalah ibu dari Panca Pandawa yang meminta tolong kepada Ranini Durga untuk mematikan I Kalantka lan I  Kalnjaya karena memiliki kekuatan yang sakti.
Dewi Uma hidup dalam wujud makhluk jahat bernama Ra Nini tinggal di kuburan Gandamayu. Ia dikutuk oleh Bhatara Guru karena dianggap kurang setia dan harus menebus dosanya selama duabelas tahun. Ia akan dibebaskan oleh Bhatara Guru yang menjelma dalam diri Sahadewa. Dua penghuni sorga lainnya, yaitu Citrasena dan Citranggada juga dikutuk karena perbuatannya yang kurang hormat kepada Bhatara Guru menjadi raksasa Kalantaka dan Kalanjaya. Kedua raksasa ini mengabdi kepada Korawa. Pandawa berperang melawan kedua raksasa sakti itu. Kunti merasa cemas akan nasib putra-putranya. Untuk itu, Kunti minta bantuan kepada Ra Nini untuk dapat membunuh raksasa Kalantaka dan Kalanjaya. Ra Nini menyetujui permohonan Kunti dengan syarat Kunti menyerahkan Sahadewa kepada Ra Nini. Persyaratan Ra Nini ditolak hingga dua kali oleh Kunti. Namun, akhirnya Kalika berhasil merasuk ke dalam diri Kunti dan dalam keadaan seperti itu, Kalika berhasil memperdaya Kunti sehingga ia mengajak Sahadewa ke kuburan Gandamayu. Sahadewa diikat di pohon randu. Bermacam-macam makhluk jahat menakut-nakuti Sahadewa. Ra Nini menampakkan wujud yang sangat mengerikan dan meminta kepada Sahadewa untuk meruwat dirinya. Sahadewa menolak karena ia tidak merasa memiliki kemampuan untuk itu. Namun, Ra Nini tetap mendesak bahkan menjadi sangat marah kepada Sahadewa dan nyaris membunuh Sahadewa. Bhatara Guru mendengar berita itu dari Bagawan Narada. Bhatara Guru segera datang membantu Sahadewa. Bhatara Guru merasuki tubuh Sahadewa sehingga Sahadewa memiliki kekuatan untuk meruwat Ra Nini. Dengan memusatkan batin, merapalkan mantra, mempersembahkan bunga, dan percikan air suci Sahadewa berhasil meruwat Ra Nini sehingga kembali ke wujud semula menjadi Dewi Uma. Sebagai imbalan, Dewi Uma memberi gelar kepada Sahadewa sebagai Sudamala ‘yang membersihkan segala noda dan kejahatan’. Kalika juga memohon kepada Sahadewa untuk meruwat dirinya. Namun, Sahadewa menolak permintaan Kalika dan malahan menyuruh Kalika tetap tinggal di kuburan Gandamayu sampai habis masa penebusan dosa-dosanya.
Setelah bergelar Sudamala, Sahadewa disuruh menyembuhkan Bagawan Tambapetra di Prangalas dari kebutaan oleh Dewi Uma. Karena itu, Sahadewa datang ke Prangalas. Sahadewa berhasil menyembuhkan kebutaan Bagawan Tambapetra. Sahadewa menikah dengan kedua putri Bagawan Tambapetra yang bernama Padapa dan Soka. Bersamaan dengan itu, Nakula datang ke kuburan Gandamayu untuk mengikuti Sahadewa. Setelah diberi tahu oleh Kalika bahwa Sahadewa telah pergi ke Prangalas, Nakula pun datang ke Prangalas. Setiba di Prangalas, Sahadewa memberikan Soka kepada Nakula sebagai istri. Selanjutnya, Sahadewa berperang dengan raksasa Kalantaka dan Kalanjaya. Kedua raksasa itu berhasil dikalahkan Sahadewa. Kalantaka dan Kalanjaya berubah wujud kembali menjadi gandarwa Citrasena dan Citanggada. Demikian pula semua makhluk surgawi yang sebelumnya menjelma menjadi makhluk jahat kembali ke wujud semula.

BAB III
NILAI KESETIAAN

Nilai-nilai yang terkandung dalam Geguritan Sudamala dimulai dari saat dewa siwa berpura-pura sakit, untuk menguji kesetiaan istrinya dewi parwati yang menggunakan pupuh sinom sebagai berikut,
.Crita Ida Hyang Siwa,
Abih rabi jegeg asri,
Parab rabi Dewi Uma,
Sampun suwe laki rabi,
Hyang Siwa meled uning,
Baktin rabi sane tuhu,
Raris Ida ngeka naya,
Mapi sungkan raat gati,
Yukti pangus,
Ngruguh maring pamereman.

Dalam geguritan ini diceritakan Dewa Siwa memiliki Istri yang sangat cantik yang bernama Dewi Uma,mereka telah lama menjadi suami istri akan tetapi Dewa Siwa belum tahu betul dengan Dewi Uma. Karena itu dewa siwa ingin sekali tahu bagaimana istrinya sebenarnya. Oleh karena itu Dewa Siwa berpura-pura sakit keras. Dilanjutkan dengan pupuh maskumambang ya diceritakan bahwa Dewa Siwa menyuruh iastrinya Dewi Uma untuk mencari obat berupa susu lembu putih yang tempatnya berada di bumi. Dewi Uma kemudian berkata “ Inggih Ratu….ratu Sang Hyang Siwa, Ledang I Ratu nyantos dumun maring puri, Tityang pacang ngrerehang I Ratu tamba “  lalu Dewi Uma berangkat ke marjapada(bumi).


Karena melihat keadaan suaminya yang sekarat Dewi Uma Segera mencari obat untuk suaminya. Telah lama sekali Dewi Uma encari susu dari lembu putih itu akan tetapi sampai kelelahan Dewi Uma tidak menemukan susu dari lembu putih itu. Hampir dalam perjalanan Dewi Uma menyerah ketika beliau melihat kebawah (bumi) beliau melihat seseorang menggembala lembu yang berwarna putih. Berharap menemukan susu lembu putih dan Dewi Uma segera mendekati pengembala lembu putih itu. Setibanya di tempat pengembala itu kemudian beliau berkata “ Ratu nawegan icen tityang numbas empehanne akedik “.I Pangangon raris manimbal ;“ Ampura anak istri jegeg, tityang nenten ngadol empehan,Durusang ambil nangin picayang panyilur,Ngiring matemu semara sareng tityang,
Yadyastun sepisan nenten punapi”
 ketika Dewi Uma ingin membeli sedikit susu lembu putih peliharaan si pengembala lembu putih,si pengembala tidak mengijinkan untuk membeli sedikitpun susu lembunya itu. Untuk mendapatkan susu lembu putih itu Si pengembala meminta satu persyaratan kepada Dewi Uma agar bersedia bercinta dengannya. Dewi Uma sangat marah ketika mendengar kata-kata Si pengembala lembu itu dan berkata “ Eeh.. cai pengangon, de cai ngawag memunyi teken dewek gelah,Apang iba nawang unduk, Kai ene Hyang Bethara tawang cai ?” I Pengangon malih nyawis pangandika Dewi Uma : “ Yadyastun Jerone Dewa Agung, Yan nenten kayun ring padewekan tityang,
Susu I lembune nenten jaga aturin tityang “
Dewi Uma merasa dirinya tidak di hormati oleh si pengembala lembu dan mengatakan kalau beliau adalah seorang Dewi Uma akan tetapi si pengangon lembu tidak peduli dengan hal itu jika permintaannya ditolak maka dia juga tidak akan memberikan susu lembu putih miliknya. Dewi Uma berpikir kalau keinginan si pengembala tidak dipenuhi maka susu lembu putih juga tidak akan beliau daptkan akan tetapi permintaan si pengembala sangat berat sekali untuk dipenuhi . kemudian Dewi Uma lagi mengingat suaminya yang sedang sakit jika tidak mendapatkan susu lembu putih maka penyakitnya tidak akan sembuh. Setelah berpikir panjang Dewi Uma memutuskan untuk menuruti kemauan si pengembala. Yang tiada lain merupakan penjelmaan Dewa Siwa. Setelah selesai memenuhi ke ingina si pengembala kemudian susu lembu putih di berikan kepada Dewi Uma. Si pengembala segera kembali kekayangn dan kembali menjadi Dewa Siwa . dengan tergesa –gesa Dewi Uma membawa susu lembu putih ke kayangan. Sesampainya di kayangan Dewa Siwa bertannya kepada Dewi Uma dimana mendapatkan susu lembu putih itu.
G I N A D A
Dewi Uma ngeka naya,
“ Tityang polih tamban Beli,
Ring pangangon tityang numbas “
Hyang Siwa raris mawuwus,
“ Uduh Cening Hyang Ghana,
Dong tenungin,
Kenken unduke ne seken “.

Dewi uma kemudian berkata kalau susu lembu putih itu didapatkannya dari seorang pengembala. Untuk membuktikan kata-kata Dewi Uma, Dewa Siwa kemudian memminta anaknya Dewa Ghana untuk mencari tahu melalui kekuatan gaib buku lontar. Dewa Ghana kemudian mengambil buku lontarnya dan berkata kepada dewa siwa kalau Ibunya Dewi Uma mendapatkan Susu lembu putih itu didapatkan oleh Dewi Uma setelah bercinta dengan si pengembala lembu di hutan.

D U R M A
Wawu punika Hyang Ghana manartayang,
Dewi Uma duka brangti,
Praraine bang,
Metu geni saking netra,
Lontar Hyang Ghana kabasmi,
Ngawit punika,
Tenunge ten ajeg yukti.


Baru selesai Dewa Ghana menyampaikan hasil penerawangannya Dewi Uma sangant marah kepada Dewa Ghana dan membakar lontar Dewa Ghana semenjak saat itu penerawangan atau tenungan yang dilakukan tidak secara sempurna dapat dilakukan oleh orang yang mempelajarinya. Setelah selesai membakar lontar Dewa Ghana, karena kemarahnya Dewa Siwa mengutuk Dewi Uma menjadi sosok yang seram dan menakutkan (rangda). Atas perbuatan Dewi Uma yang tidak setia beliau diberikan hukuman bumi dan bertempat di kuburan gandamayu. Hukumannya akan selesai dan menjadi Dewi Uma setelah dua belas tahun yang akan di kembalikan wujudnya oleh shahadewa anak dari Dewi kunti (panca pandawa).

Jadi nilai kesetiaan dalam geguritan sudamala ini sudah tersurat dalam cerita tadi dan dapat dilihat ketika Dewi Uma mencari susu lembu putih dengan cinta dan kesetiaannya beliau berusaha mencari susu lembu putih meski harus bercinta dengan pengembala lembu.


BAB IV
PENUTUP
A.    Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan ini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Kesusastraan adalah semua yang berkaitan dengan tulisan yang indah. Bentuk sastra salah satunya adalah tembang. Bentuk tembang di bali disebut sekar, dan sekar dibagi menjadi empat yaitu Sekar Rare, Sekar Alit, Sekar Madia, dan Sekar Agung. Pada sekar alit dibentuk oleh pupuh, di Bali sastra yang mengunakan pupuh atau sekar alit adalah geguritan atau peparikan. Geguritan adalah sastra kuna yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang berifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Salah satu contoh satra yang berupa geguritan yaitu geguritan sudamala.
Geguritan sudamala mencitakan kisah Sadewa telah berhasil "ngruwat" Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya. Geguritan Sudamala banyak memiliki nilai-nilai Agama Hindu yang bisa dipetik dan diterapkan oleh pembaca geguritan sudamala.
B.     Saran – saran
Geguritan dalam sejarah perkembangan bahasa Bali, geguritan memiliki peranan strategis sebagai salah satu ruang yang memungkinkan bahasa Bali untuk berkembang setinggi-tingginya. Geguritan sebagai warisan dunia, bukan hanya karena isi dan kandungan intrinsiknya, tetapi juga karena sumbangan terbesarnya bagi sejarah bahasa-bahasa di dunia berupa kemampuannya merekam secara tertulis kekayaan kosa kata bahasa Bali. Geguritan bukan hanya “file-file dunia imajinasi manusia Bali”, tetapi juga “file-file kosa kata”.
Oleh karena itu geguritan haruslah dijaga baik-baik agar geguritan tidak punah karena banyak kita lihat dilapangan para generasi muda sekarang ini sangat sedikit yang meminati geguritan padahal geguritan jika dinikmati dengan membaca sambil melagukanya sehingga kenikmatan yang kita dapatkan dan merasakan kedamaian atau ketenangan pada diri kita. Oleh karenanya di dalam menikmati geguritan dengan membacanya tidak bisa disamakan dengan membaca karya sastra atau bacaan-bacaan yang lainya.
Maka dari itu untuk mencegah agar geguritan tidak punah, geguritan kita tanamkan sejak dini misalnya kita berikan mata pelajaran pada siswa-siswi didik kita, agar geguritan di bali tetap ajeg dan lestari. Begitu juga banyak nilai-nilai yang dapat di petik dan diterapkan untuk membentuk mental generasi muda kini.

Daftar Pusataka

_______, 2005. Kesusastraan Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Prov Bali.
­­­­­­­­­­­_______,____. Geguritan Sudamala.______:Wisnu Santi Grafika.
http://wayang.wordpress.com/2010/03/07/banjaran-pandawa-7-kidung-sudamala/.php