KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat TUHAN YANG MAHA ESA
atas rahmat dan anugrah-Nya. Penulis dapat menyelesaikan makalah ini sesuai
jadwal yang di inginkan. Dalam makalah ini penulis mengakat judul “Nilai-nilai
Agama yang terkandung dalam Geguritan”.
Penyusunan makalah ini dapat berjalan dengan lancar dan
dapat terselesaikan dengan baik karena berkat kerjasama yang baik dan bantuan
dari banyak pihak. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
saran-saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
makalah ini dan makalah-makalah yang selanjutnya, dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Singaraja, 1 Desember 2010
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sastra berasal dari bahasa
Sansakerta “shastra” yang artinya adalah "tulisan yang mengandung
intruksi" atau "pedoman". Secara morfologis kata kesusastraan,
yang lebih sering hanya disebut sastra, dapat diuraikan atas konfiks ke-an yang
berarti 'semua yang berkaitan dengan, prefiks su 'baik, indah, berguna' dan
bentuk dasar sastra yang berarti “kata, tulisan, ilmu”. Jadi, menurut uraian di
atas kesusastraan adalah semua yang berkaitan dengan tulisan yang indah. Sedang
menurut arti istilah, kesusastraan atau sastra ialah cabang seni yang
menggunakan bahasa sebagai medium. Umumnya dikatakan bahwa keindahan atau nilai
estetis suatu cipta sastra timbul karena adanya keserasian, kesepadanan, atau
keharmonisan antara isi (topik, amanat) dengan bentuk ( cara pengung kapan isi
).
Dalam Kesusatraan Bali ada beberapa bentuk sastra salah
satunya adalah tembang. Bentuk tembang di bali disebut sekar, dan sekar dibagi
menjadi empat yaitu Sekar Rare, Sekar Alit, Sekar Madia, dan Sekar Agung.
Di dalam Sekar Alit (Macepat/Pupuh) dibentuk dan diikat oleh
aturan Pada Lingsa. Pada Lingsa adalah banyaknya baris dalam tiap bait (pada)
banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris (carik) dan bunyi akhir tiap-tiap
baris. Bentuk nyanyian yang ada di Sekar Alit berupa Pupuh dan biasanya
pupuh ini terdapat dalam cerita yang di Bali sering orang menyebutkan sebagai
Geguritan atau Peparikan.
Geguritan merupakan sastra
kuno yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang berifat anonim yaitu tanpa
nama pengarang dan penulis. Ini disebabkan karena pada zamanya dibuat seorang
penulis tidak mau menonjolkan diri dan karyanya dianggap milik bersama. Didalam
geguritan banyak nilai-nilai yang terkandung didalamnya yang bisa di petik oleh
orang-orang sebagai tuntunan moral. Gegruritan merupakan komposisi sebuah
puisi, geguritan merupaka suatu ciptaan sastra yang menampung semua kisah dari
seorang penulisnya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di
atas, maka rumusan masalah yang hendak dibahas dalam makalah ini adalah :
1.
Bagaimana Kesusastraan itu?
2.
Bagaimana pengertian Geguritan?
3.
Bagaimana Geguritan Sudamala itu?
4.
Bagaimana pupuh atau tembang yang digunakan dalam geguritan Sudamala?
5.
Bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam geguritan sudamala?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1.
Mengetahui apa itu
Kesusastraan!
2.
Mengetahui pengertian
Geguritan!
3.
Mengetahui Geguritan
Sudamala itu!
4.
Mengetahui pupuh atau
tembang yang digunakan dalam geguritan sudamala!
5.
Mengetahui nilai-nilai
yang terkandung dalam geguritan sudamala!
D.
Manfaat
Ada pun manfaat dari makalah ini adalah
1.
Sebagai alat komunikasi antara
sastrawan dan masyarakat pembacanya.
2.
Karya sastra selalu berisi
pemikiran, gagasan, kisahan, dan amanat yang dikomunikasikan kepada pembaca.
3.
Untuk bisa mengapresiasikan sastra
tersebut.
4.
Bisa memahami nilai-nilai pada
geguritan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kesusastraan
Sastra berasal dari bahasa Sansakerta “shastra” yang
artinya adalah “tulisan yang mengandung intruksi” atau “pedoman”. Sastra dalam
arti khusus yang kita gunakan dalam konteks kebudayaan, adalah ekspresi gagasan
dan perasaan manusia. Jadi, pengertian sastra sebagai hasil budaya dapat
diartikan sebagai bentuk upaya manusia untuk mengungkapkan gagasannya melalui
bahasa yang lahir dari perasaan dan pemikirannya. Secara morfologis kata
kesusastraan, yang lebih sering hanya disebut sastra, dapat diuraikan atas
konfiks ke-an yang berarti “semua yang berkaitan dengan, prefiks su 'baik,
indah, berguna'” dan bentuk dasar sastra yang berarti “kata, tulisan, ilmu”.
Jadi, menurut uraian di atas kesusastraan adalah semua yang berkaitan dengan
tulisan yang indah. Sedang menurut arti istilah, kesusastraan atau sastra ialah
cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai medium. Umumnya dikatakan bahwa
keindahan atau nilai estetis suatu cipta sastra timbul karena adanya
keserasian, kesepadanan, atau keharmonisan antara isi topik, amanat
dengan bentuk cara pengung kapan isi .
Ada tiga hal yang berkaitan dengan pengertian sastra, yaitu
ilmu sastra, teori sastra, dan karya sastra.
a.
Ilmu
sastra
Ilmu sastra adalah ilmu pengetahuan
yang menyelidiki secara ilmiah berdasarkan metode tertentu mengenai segala hal
yang berhubungan dengan seni sastra. Ilmu sastra sebagai salah satu aspek
kegiatan sastra meliputi hal-hal berikut. Teori sastra, yaitu cabang ilmu
sastra yang mempelajari tentang asas-asas, hukum-hukum, prinsip dasar sastra,
seperti struktur, sifat-sifat, jenis-jenis, serta sistem sastra. Sejarah
sastra, yaitu ilmu yang mempelajari sastra sejak timbulnya hingga perkembangan
yang terbaru. Kritik sastra, yaitu ilmu yang mempelajari karya sastra dengan
memberikan pertimbangan dan penilaian terhadap karya sastra. Kritik sastra
dikenal juga dengan nama telaah sastra. Filologi, yaitu cabang ilmu sastra yang
meneliti segi kebudayaan untuk mengenal tata nilai, sikap hidup, dan semacamnya
dari masyarakat yang memiliki karya sastra. Keempat cabang ilmu tersebut
tentunya mempunyai keterkaitan satu sama lain dalam rangka memahami sastra
secara keseluruhan
b. Teori sastra adalah asas-asas dan
prinsip-prinsip dasar mengenai sastra dan kesusastraan.
c. Seni sastra adalah proses kreatif menciptakan
karya seni dengan bahasa yang baik, seperti puisi, cerpen/novel, atau drama.
Sastra bisa dibagi atas sastra lisan dan sastra
tertulis. Sastra lisan tidak berhubungan dengan tulisan, tetapi lebih kepada ekspresi bahasa yang
diungkapkan secara oral mengenai pemikiran seseorang.
Kategori sastra di antaranya sebagai berikut :
·Cerpen atau cerita pendek,
suatu bentuk prosa atau karangan yang tak terikat yang dibuat tidak berdasarkan
kejadian nyata atau fiktif dengan hanya mengambil satu atau dua bagian
kehidupan tokoh utamanya.
· Novel, karya fiksi prosa
berbentuk naratif yang dalam Bahasa Italia disebut novella, yang artinya
sepotong berita atau sebuah cerita. Novel lebih panjang dari cerpen, bisa
sekitar 40.000 kata atau lebih dan jalan ceritanya tentang kehidupan
sehari-hari tokoh sentral dan menitikberatkan pada sisi uniknya.
·
Drama, bentuk karya sastra
yang dapat diperankan dalam suatu pertunjukkan.
Dalam Kesusatraan Bali ada beberapa bentuk sastra salah
satunya adalah tembang. Bentuk tembang di bali disebut sekar, dan sekar dibagi
menjadi empat yaitu Sekar Rare, Sekar Alit, Sekar Madia, dan Sekar Agung.
B.
Pengertian Geguritan
Geguritan merupakan sastra kuno yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang
berifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Ini disebabkan karena
pada zamanya dibuat seorang penulis tidak mau menonjolkan diri dan karyanya
dianggap milik bersama.
Geguritan berasal dari kata gurit yang artinya tulisan, komposisi khususnya
puisi. Anggurit artinya menulis sesuatu, mengubah sesuatu (Mulder dan Robson,
1997:320). Dalam kamus bahasa Bali- Indonesia (Warsito,1978:223), gurit artinya
gubah, karang, sadur. Geguritan artinya gubahan, saduran, karangan. dan dalam
Kamus Umum Indonesia dijelaskan “geguritan itu berasal dari kata gurit artinya
sajak atau syair” (Poerwadarminta, 1986 :161). sedangkan dalam Kamus Kawi
Indonesia diungkapkan “gurit artinya goresan, dituliskan” (Tim Penyusun,
1996:118). Jadi Geguritan artinya gubahan cerita yang berbentuk tembang atau
pupuh.
Ciri yang kental di dalam sebuah geguritan adalah adanya pupuh-pupuh yang
membentuk geguritan tersebut seperti : pupuh pucung, durma, sinom, pangkur,
smarandhana, dandang, ginada, dan demung. Oleh karenanya di dalam menikmati
geguritan dengan membacanya tidak bisa disamakan dengan membaca karya sastra
yang tergolong prosa. Geguritan hendaknya dinikmati dengan membaca sambil
melagukan sehingga nikmat yang didapatkan semakin merasuk kalbu. Karya sastra
yang berwujud pupuh diikat oleh aturan yang disebut : pada lingsa, pada dan
carik. “syarat-syarat yang biasa disebut pada lingsa yaitu banyaknya
baris dalam tiap bait (pada) banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris (carik)
dan bunyi akhir tiap-tiap baris”. Berdasarkan pemaparan di atas maka pengertian
geguritan adalah ciptaan sastra berbentuk syair yang biasanya dilagukan dengan
tembang (pupuh) yang sangat merdu.
Geguritan yang merupakan salah satu bentuk prosa Bali yang
terikat perpajakan pupuh, dalam khazanah sastra tradisional dikategorikan
sebagai sekar alit (bunga kecil). Sementara kakawin (karya sastra Jawa Kuna)
disebut sekar agung (bunga besar). Pengkategorian ini, kalau dicermati, di
dalamnya mengandung unsur menganggap gampang sebuah geguritan. geguritan
merupakan batu pijakan untuk memasuki sastra besar (sekar agung), yaitu
kakawin. Dengan kata lain, kakawin “lebih tinggi” dari geguritan. Cara berpikir
yang “meng-hirarki-kan” antara sekar agung dan sekar alit ini mirip dengan cara
berpikir barat “abad pertengahan” yang membagi budaya dalam dua
mengkategorikan: “budaya tinggi” dan “budaya rendah”. Di Bali, dengan cara yang
sama, banyak orang kalangan cenderung memandang bahwa kakawin atau sekar agung
adalah budaya tinggi, geguritan atau sekar alit adalah budaya rendah.
Di samping karena bahasanya adalah bahasa pribumi yaitu
Bahasa Bali (bukan bahasa import: Jawa Kuna), yang memungkinkan pengarang Bali
berekspresi secara maksimal, geguritan tampil dengan menyuguhkan berbagai
pengalaman batin manusia Bali dengan spektrum yang tak terbatas: Rasa lapar,
suka-duka, merana cinta, puji-puji, dongeng-dongeng, kehancuran perang, candu,
zinah, kelaliman raja, kebodohan raja, perselingkuhan, mitrologi, hantu dan
berbagai makhluk dari alam lain, tata ruang dan arsitekstur, masyarakat
multikultur, dewa-dewi, ilmu hitam-putih, etika, tata krama, kecerdasan dan
kedunguan, dalil filsafat dan kenaifan manusia, mantra dan kutukan,
petuah-petuah dan umpatan. Tak ada satu “ideology” yang menghegemoni geguritan.
Walaupun banyak geguritan merupakan carangan, karya yang
lahir dari resepsi pengarang terhadap ‘narasi besar’ Mahabarata dan Ramayana,
geguritan secara keseluruhan bergerak “menjauh” dari kungkungan narasi besar
tersebut. Geguritan adalah sebuah ruang pengungkapan kreatif yang liberal yang
mampu memberi alternatif dalam kebekuan bahasa Jawa Kuna dan metrum-metrum
kakawin yang ketat dengan berbagai aturannya. Geguritan lebih kuat menangkap
“narasi kecil” seperti cerita rakyat, dongeng, dan serba-serbi hidup yang
melingkupi kehidupan keseharian masyarakat Bali, dan juga “kegilaan” imajinasi
pengarangnya. Geguritan, dalam sejarah perkembangan bahasa Bali, memiliki
peranan strategis sebagai salah satu ruang yang memungkinkan bahasa Bali untuk
berkembang setinggi-tingginya. Geguritan sebagai warisan dunia, bukan hanya
karena isi dan kandungan intrinsiknya, tetapi juga karena sumbangan terbesarnya
bagi sejarah bahasa-bahasa di dunia berupa kemampuannya merekam secara tertulis
kekayaan kosa kata bahasa Bali. Geguritan bukan hanya “file-file dunia
imajinasi manusia Bali”, tetapi juga “file-file kosa kata”
C.
Geguritan Sudamala
Geguritan Sudamala adalah sastra kuna yang memiliki ciri
sastra lama atau klasik yang berifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan
penulis. Geguritan Sudamala adalahgeguritan yang menceritakan dewa siwa yang menguji kesetiaan
istrinya dewi parwati. Sudamala merupakan salah satu 5 ksatria Pandawa atau
yang dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil
"ngruwat" Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena
perselingkuhannya. Sadewa berhasil "ngruwat" Bethari Durga yang
semula adalah raksasa betina bernama Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke
wajahnya yang semula yakni seorang bidadari di kayangan dengan nama betahari
Uma. Makna dari Cerita sudamala ialah yang telah berhasil membebaskan kutukan
atau yang telah berhasil "ngruwat". Sumandala yang diartikan
Mendalami Kemurnian Nurani. Dalam Geguritan Sudamala adapun penokohannya
antara lain :
1. Ida Batara Siwa karater yang
tercemin dalam geguritan sudamala beliau adalah suami dari Ida Betari Uma yang
mengutuk isrtinya menjadi Dewi Durga karena tidak setia kepadanya.
2. Ida Betari Uma adalah istri dari
Batara Siwa yang sangat cantik dan di kutuk menjadi raksasa yang bernama Dewi
Durga. Ida Betari Durga atau Ida Ranini Durga yang bertempat di Setra.
3. Pengango sampi adalah merupakan
utusan dari Batara Siwa
4. Sahadewa adalah Anak ke lima dari
Panca Pandawa yang mempunyai anugrah dari Hyang Tunggal yang akan melepaskan
kutukan Ida Betari Durga Menjadi Ida Betari Uma kembali.
5. Sang kalika istri lan lanang adalah
pengikut sekaligus anak dari Betari Durga yang berupa raksasa merupakan Dua
penghuni sorga lainnya, yaitu Citrasena dan Citranggada juga dikutuk karena
perbuatannya yang kurang hormat kepada Bhatara Guru menjadi raksasa Kalantaka
dan Kalanjaya. Kedua raksasa ini mengabdi kepada Korawa. Pandawa berperang
melawan kedua raksasa sakti itu.
6. Dewi Kunti adalah ibu dari Panca
Pandawa yang meminta tolong kepada Ranini Durga untuk mematikan I Kalantka lan
I Kalnjaya karena memiliki kekuatan yang sakti.
Dewi Uma hidup dalam wujud
makhluk jahat bernama Ra Nini tinggal di kuburan Gandamayu. Ia dikutuk oleh
Bhatara Guru karena dianggap kurang setia dan harus menebus dosanya selama
duabelas tahun. Ia akan dibebaskan oleh Bhatara Guru yang menjelma dalam diri
Sahadewa. Dua penghuni sorga lainnya, yaitu Citrasena dan Citranggada juga
dikutuk karena perbuatannya yang kurang hormat kepada Bhatara Guru menjadi
raksasa Kalantaka dan Kalanjaya. Kedua raksasa ini mengabdi kepada Korawa.
Pandawa berperang melawan kedua raksasa sakti itu. Kunti merasa cemas akan
nasib putra-putranya. Untuk itu, Kunti minta bantuan kepada Ra Nini untuk dapat
membunuh raksasa Kalantaka dan Kalanjaya. Ra Nini menyetujui permohonan Kunti
dengan syarat Kunti menyerahkan Sahadewa kepada Ra Nini. Persyaratan Ra Nini
ditolak hingga dua kali oleh Kunti. Namun, akhirnya Kalika berhasil merasuk ke
dalam diri Kunti dan dalam keadaan seperti itu, Kalika berhasil memperdaya
Kunti sehingga ia mengajak Sahadewa ke kuburan Gandamayu. Sahadewa diikat di
pohon randu. Bermacam-macam makhluk jahat menakut-nakuti Sahadewa. Ra Nini
menampakkan wujud yang sangat mengerikan dan meminta kepada Sahadewa untuk
meruwat dirinya. Sahadewa menolak karena ia tidak merasa memiliki kemampuan
untuk itu. Namun, Ra Nini tetap mendesak bahkan menjadi sangat marah kepada
Sahadewa dan nyaris membunuh Sahadewa. Bhatara Guru mendengar berita itu dari
Bagawan Narada. Bhatara Guru segera datang membantu Sahadewa. Bhatara Guru
merasuki tubuh Sahadewa sehingga Sahadewa memiliki kekuatan untuk meruwat Ra
Nini. Dengan memusatkan batin, merapalkan mantra, mempersembahkan bunga, dan
percikan air suci Sahadewa berhasil meruwat Ra Nini sehingga kembali ke wujud
semula menjadi Dewi Uma. Sebagai imbalan, Dewi Uma memberi gelar kepada
Sahadewa sebagai Sudamala ‘yang membersihkan segala noda dan kejahatan’. Kalika
juga memohon kepada Sahadewa untuk meruwat dirinya. Namun, Sahadewa menolak
permintaan Kalika dan malahan menyuruh Kalika tetap tinggal di kuburan
Gandamayu sampai habis masa penebusan dosa-dosanya.
Setelah bergelar Sudamala, Sahadewa disuruh menyembuhkan Bagawan Tambapetra di Prangalas dari kebutaan oleh Dewi Uma. Karena itu, Sahadewa datang ke Prangalas. Sahadewa berhasil menyembuhkan kebutaan Bagawan Tambapetra. Sahadewa menikah dengan kedua putri Bagawan Tambapetra yang bernama Padapa dan Soka. Bersamaan dengan itu, Nakula datang ke kuburan Gandamayu untuk mengikuti Sahadewa. Setelah diberi tahu oleh Kalika bahwa Sahadewa telah pergi ke Prangalas, Nakula pun datang ke Prangalas. Setiba di Prangalas, Sahadewa memberikan Soka kepada Nakula sebagai istri. Selanjutnya, Sahadewa berperang dengan raksasa Kalantaka dan Kalanjaya. Kedua raksasa itu berhasil dikalahkan Sahadewa. Kalantaka dan Kalanjaya berubah wujud kembali menjadi gandarwa Citrasena dan Citanggada. Demikian pula semua makhluk surgawi yang sebelumnya menjelma menjadi makhluk jahat kembali ke wujud semula.
Setelah bergelar Sudamala, Sahadewa disuruh menyembuhkan Bagawan Tambapetra di Prangalas dari kebutaan oleh Dewi Uma. Karena itu, Sahadewa datang ke Prangalas. Sahadewa berhasil menyembuhkan kebutaan Bagawan Tambapetra. Sahadewa menikah dengan kedua putri Bagawan Tambapetra yang bernama Padapa dan Soka. Bersamaan dengan itu, Nakula datang ke kuburan Gandamayu untuk mengikuti Sahadewa. Setelah diberi tahu oleh Kalika bahwa Sahadewa telah pergi ke Prangalas, Nakula pun datang ke Prangalas. Setiba di Prangalas, Sahadewa memberikan Soka kepada Nakula sebagai istri. Selanjutnya, Sahadewa berperang dengan raksasa Kalantaka dan Kalanjaya. Kedua raksasa itu berhasil dikalahkan Sahadewa. Kalantaka dan Kalanjaya berubah wujud kembali menjadi gandarwa Citrasena dan Citanggada. Demikian pula semua makhluk surgawi yang sebelumnya menjelma menjadi makhluk jahat kembali ke wujud semula.
BAB III
NILAI KESETIAAN
Nilai-nilai yang terkandung dalam Geguritan Sudamala dimulai
dari saat dewa siwa berpura-pura sakit, untuk menguji kesetiaan istrinya dewi
parwati yang menggunakan pupuh sinom sebagai berikut,
.Crita Ida Hyang Siwa,
Abih rabi jegeg asri,
Parab rabi Dewi Uma,
Sampun suwe laki rabi,
Hyang Siwa meled uning,
Baktin rabi sane tuhu,
Raris Ida ngeka naya,
Mapi sungkan raat gati,
Yukti pangus,
Ngruguh maring pamereman.
Abih rabi jegeg asri,
Parab rabi Dewi Uma,
Sampun suwe laki rabi,
Hyang Siwa meled uning,
Baktin rabi sane tuhu,
Raris Ida ngeka naya,
Mapi sungkan raat gati,
Yukti pangus,
Ngruguh maring pamereman.
Dalam geguritan ini diceritakan Dewa
Siwa memiliki Istri yang sangat cantik yang bernama Dewi Uma,mereka telah lama
menjadi suami istri akan tetapi Dewa Siwa belum tahu betul dengan Dewi Uma. Karena
itu dewa siwa ingin sekali tahu bagaimana istrinya sebenarnya. Oleh karena itu
Dewa Siwa berpura-pura sakit keras. Dilanjutkan dengan pupuh maskumambang ya
diceritakan bahwa Dewa Siwa menyuruh iastrinya Dewi Uma untuk mencari obat
berupa susu lembu putih yang tempatnya berada di bumi. Dewi Uma kemudian berkata
“ Inggih Ratu….ratu Sang Hyang Siwa,
Ledang I Ratu nyantos dumun maring puri,
Tityang pacang ngrerehang I Ratu tamba “ lalu Dewi Uma berangkat ke
marjapada(bumi).
Karena
melihat keadaan suaminya yang sekarat Dewi Uma Segera mencari obat untuk
suaminya. Telah lama sekali Dewi Uma encari susu dari lembu putih itu akan
tetapi sampai kelelahan Dewi Uma tidak menemukan susu dari lembu putih itu. Hampir
dalam perjalanan Dewi Uma menyerah ketika beliau melihat kebawah (bumi) beliau
melihat seseorang menggembala lembu yang berwarna putih. Berharap menemukan
susu lembu putih dan Dewi Uma segera mendekati pengembala lembu putih itu.
Setibanya di tempat pengembala itu kemudian beliau berkata “ Ratu nawegan icen tityang numbas empehanne
akedik “.I Pangangon raris manimbal ;“ Ampura anak istri jegeg, tityang nenten
ngadol empehan,Durusang ambil nangin picayang panyilur,Ngiring matemu semara
sareng tityang,
Yadyastun sepisan nenten punapi” ketika Dewi Uma ingin membeli sedikit susu lembu putih peliharaan si pengembala lembu putih,si pengembala tidak mengijinkan untuk membeli sedikitpun susu lembunya itu. Untuk mendapatkan susu lembu putih itu Si pengembala meminta satu persyaratan kepada Dewi Uma agar bersedia bercinta dengannya. Dewi Uma sangat marah ketika mendengar kata-kata Si pengembala lembu itu dan berkata “ Eeh.. cai pengangon, de cai ngawag memunyi teken dewek gelah,Apang iba nawang unduk, Kai ene Hyang Bethara tawang cai ?” I Pengangon malih nyawis pangandika Dewi Uma : “ Yadyastun Jerone Dewa Agung, Yan nenten kayun ring padewekan tityang,
Susu I lembune nenten jaga aturin tityang “ Dewi Uma merasa dirinya tidak di hormati oleh si pengembala lembu dan mengatakan kalau beliau adalah seorang Dewi Uma akan tetapi si pengangon lembu tidak peduli dengan hal itu jika permintaannya ditolak maka dia juga tidak akan memberikan susu lembu putih miliknya. Dewi Uma berpikir kalau keinginan si pengembala tidak dipenuhi maka susu lembu putih juga tidak akan beliau daptkan akan tetapi permintaan si pengembala sangat berat sekali untuk dipenuhi . kemudian Dewi Uma lagi mengingat suaminya yang sedang sakit jika tidak mendapatkan susu lembu putih maka penyakitnya tidak akan sembuh. Setelah berpikir panjang Dewi Uma memutuskan untuk menuruti kemauan si pengembala. Yang tiada lain merupakan penjelmaan Dewa Siwa. Setelah selesai memenuhi ke ingina si pengembala kemudian susu lembu putih di berikan kepada Dewi Uma. Si pengembala segera kembali kekayangn dan kembali menjadi Dewa Siwa . dengan tergesa –gesa Dewi Uma membawa susu lembu putih ke kayangan. Sesampainya di kayangan Dewa Siwa bertannya kepada Dewi Uma dimana mendapatkan susu lembu putih itu.
G I N A D A
Dewi Uma ngeka naya,
“ Tityang polih tamban Beli,
Ring pangangon tityang numbas “
Hyang Siwa raris mawuwus,
“ Uduh Cening Hyang Ghana,
Dong tenungin,
Kenken unduke ne seken “.
Dewi uma kemudian berkata kalau susu lembu putih itu didapatkannya dari seorang pengembala. Untuk membuktikan kata-kata Dewi Uma, Dewa Siwa kemudian memminta anaknya Dewa Ghana untuk mencari tahu melalui kekuatan gaib buku lontar. Dewa Ghana kemudian mengambil buku lontarnya dan berkata kepada dewa siwa kalau Ibunya Dewi Uma mendapatkan Susu lembu putih itu didapatkan oleh Dewi Uma setelah bercinta dengan si pengembala lembu di hutan.
D U R M A
Wawu punika Hyang Ghana manartayang,
Dewi Uma duka brangti,
Praraine bang,
Metu geni saking netra,
Lontar Hyang Ghana kabasmi,
Ngawit punika,
Tenunge ten ajeg yukti.
Yadyastun sepisan nenten punapi” ketika Dewi Uma ingin membeli sedikit susu lembu putih peliharaan si pengembala lembu putih,si pengembala tidak mengijinkan untuk membeli sedikitpun susu lembunya itu. Untuk mendapatkan susu lembu putih itu Si pengembala meminta satu persyaratan kepada Dewi Uma agar bersedia bercinta dengannya. Dewi Uma sangat marah ketika mendengar kata-kata Si pengembala lembu itu dan berkata “ Eeh.. cai pengangon, de cai ngawag memunyi teken dewek gelah,Apang iba nawang unduk, Kai ene Hyang Bethara tawang cai ?” I Pengangon malih nyawis pangandika Dewi Uma : “ Yadyastun Jerone Dewa Agung, Yan nenten kayun ring padewekan tityang,
Susu I lembune nenten jaga aturin tityang “ Dewi Uma merasa dirinya tidak di hormati oleh si pengembala lembu dan mengatakan kalau beliau adalah seorang Dewi Uma akan tetapi si pengangon lembu tidak peduli dengan hal itu jika permintaannya ditolak maka dia juga tidak akan memberikan susu lembu putih miliknya. Dewi Uma berpikir kalau keinginan si pengembala tidak dipenuhi maka susu lembu putih juga tidak akan beliau daptkan akan tetapi permintaan si pengembala sangat berat sekali untuk dipenuhi . kemudian Dewi Uma lagi mengingat suaminya yang sedang sakit jika tidak mendapatkan susu lembu putih maka penyakitnya tidak akan sembuh. Setelah berpikir panjang Dewi Uma memutuskan untuk menuruti kemauan si pengembala. Yang tiada lain merupakan penjelmaan Dewa Siwa. Setelah selesai memenuhi ke ingina si pengembala kemudian susu lembu putih di berikan kepada Dewi Uma. Si pengembala segera kembali kekayangn dan kembali menjadi Dewa Siwa . dengan tergesa –gesa Dewi Uma membawa susu lembu putih ke kayangan. Sesampainya di kayangan Dewa Siwa bertannya kepada Dewi Uma dimana mendapatkan susu lembu putih itu.
G I N A D A
Dewi Uma ngeka naya,
“ Tityang polih tamban Beli,
Ring pangangon tityang numbas “
Hyang Siwa raris mawuwus,
“ Uduh Cening Hyang Ghana,
Dong tenungin,
Kenken unduke ne seken “.
Dewi uma kemudian berkata kalau susu lembu putih itu didapatkannya dari seorang pengembala. Untuk membuktikan kata-kata Dewi Uma, Dewa Siwa kemudian memminta anaknya Dewa Ghana untuk mencari tahu melalui kekuatan gaib buku lontar. Dewa Ghana kemudian mengambil buku lontarnya dan berkata kepada dewa siwa kalau Ibunya Dewi Uma mendapatkan Susu lembu putih itu didapatkan oleh Dewi Uma setelah bercinta dengan si pengembala lembu di hutan.
D U R M A
Wawu punika Hyang Ghana manartayang,
Dewi Uma duka brangti,
Praraine bang,
Metu geni saking netra,
Lontar Hyang Ghana kabasmi,
Ngawit punika,
Tenunge ten ajeg yukti.
Baru selesai Dewa Ghana menyampaikan hasil penerawangannya Dewi Uma
sangant marah kepada Dewa Ghana dan membakar lontar Dewa Ghana semenjak saat
itu penerawangan atau tenungan yang dilakukan tidak secara sempurna dapat
dilakukan oleh orang yang mempelajarinya. Setelah selesai membakar lontar Dewa
Ghana, karena kemarahnya Dewa Siwa mengutuk Dewi Uma menjadi sosok yang seram
dan menakutkan (rangda). Atas perbuatan Dewi Uma yang tidak setia beliau
diberikan hukuman bumi dan bertempat di kuburan gandamayu. Hukumannya akan
selesai dan menjadi Dewi Uma setelah dua belas tahun yang akan di kembalikan
wujudnya oleh shahadewa anak dari Dewi kunti (panca pandawa).
Jadi nilai kesetiaan dalam geguritan sudamala ini sudah tersurat dalam
cerita tadi dan dapat dilihat ketika Dewi Uma mencari susu lembu putih dengan
cinta dan kesetiaannya beliau berusaha mencari susu lembu putih meski harus
bercinta dengan pengembala lembu.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan ini dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut: Kesusastraan adalah semua yang berkaitan dengan tulisan yang
indah. Bentuk sastra salah satunya adalah tembang. Bentuk tembang di bali
disebut sekar, dan sekar dibagi menjadi empat yaitu Sekar Rare, Sekar Alit,
Sekar Madia, dan Sekar Agung. Pada sekar alit dibentuk oleh pupuh, di Bali
sastra yang mengunakan pupuh atau sekar alit adalah geguritan atau peparikan.
Geguritan adalah sastra kuna yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang
berifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Salah satu contoh satra
yang berupa geguritan yaitu geguritan sudamala.
Geguritan sudamala mencitakan kisah Sadewa telah berhasil
"ngruwat" Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena
perselingkuhannya. Geguritan Sudamala banyak memiliki nilai-nilai Agama Hindu
yang bisa dipetik dan diterapkan oleh pembaca geguritan sudamala.
B.
Saran – saran
Geguritan dalam sejarah perkembangan bahasa Bali, geguritan
memiliki peranan strategis sebagai salah satu ruang yang memungkinkan bahasa
Bali untuk berkembang setinggi-tingginya. Geguritan sebagai warisan dunia,
bukan hanya karena isi dan kandungan intrinsiknya, tetapi juga karena sumbangan
terbesarnya bagi sejarah bahasa-bahasa di dunia berupa kemampuannya merekam
secara tertulis kekayaan kosa kata bahasa Bali. Geguritan bukan hanya
“file-file dunia imajinasi manusia Bali”, tetapi juga “file-file kosa kata”.
Oleh karena itu geguritan haruslah dijaga baik-baik agar
geguritan tidak punah karena banyak kita lihat dilapangan para generasi muda
sekarang ini sangat sedikit yang meminati geguritan padahal geguritan jika
dinikmati dengan membaca sambil melagukanya sehingga kenikmatan yang kita
dapatkan dan merasakan kedamaian atau ketenangan pada diri kita. Oleh karenanya
di dalam menikmati geguritan dengan membacanya tidak bisa disamakan dengan
membaca karya sastra atau bacaan-bacaan yang lainya.
Maka dari itu untuk mencegah agar geguritan tidak punah, geguritan
kita tanamkan sejak dini misalnya kita berikan mata pelajaran pada siswa-siswi
didik kita, agar geguritan di bali tetap ajeg dan lestari. Begitu juga banyak
nilai-nilai yang dapat di petik dan diterapkan untuk membentuk mental generasi
muda kini.
Daftar
Pusataka
_______,
2005. Kesusastraan Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Prov Bali.
_______,____.
Geguritan Sudamala.______:Wisnu Santi Grafika.
http://wayang.wordpress.com/2010/03/07/banjaran-pandawa-7-kidung-sudamala/.php
http://wayang.wordpress.com/2010/03/07/banjaran-pandawa-7-kidung-sudamala/.php
Tidak ada komentar:
Posting Komentar