Pertama-tama, kita jangan berpikir
bahwa tak boleh terjadi suatu agama tanpa konsep tentang Tuhan. Jainisme Buddhisme dan mimamsa awal
dianggap sebagai sistem Atheistik. Bahkan pada suatu tahap dari Samkhya tak ada tempat bagi adanya
Tuhan, karena alam dunia mengalami perubahan tanpa ada yang menggerakan dan
roh-roh individual jatuh kedalam belenggu dan juga beberapa diantaranya
memperoleh pembebasannya sendiri tanpa suatu referensi pada Tuhan. Tetapi
segala sistem Atheistik memiliki minat yang sangat besar dalam meningkatkan
keberadaan supranatural dan transendental manusia. Dengan demikian kita
berpendapat bahwa tak dapat terjadinya agama tanpa Tuhan.(Yayasan Sanatana
Dharmasrama Surabaya,2000 : 28). Konsep pemujaan terhadap Arca atau patung
Tuhan dan berbagai penjelman-Nya merupakan ciri pokok cara sembahyang dalam
agama Hindu. Sebaliknya dalam ajaran agama lain cara tersebut dipandang sebagai
sebuah jalan kesesatan. Islam dan kristen misalnya melarang keras pemujaan
terhadap obyek sembahyang apapun yang diciptakan oleh manusia. Cara
persembahyangan hindu dituduh sebagai pemujaan berhala. Berbagai pertanyaan
muncul, masak sih, Tuhan seperti batu? Tidakkah kita membatasi Tuhan kalau kita
puja dalam bentuk tertentu? Apakah kita tidak melecehkan Tuhan bila disamakan
dengan batu? Apakah tuhan orang hindu terus-terusan lapar sehingga disuguhi
aneka makanan? Apalagi melihat banten-banten di Bali yang diselipi Larutan,
Pocari, cocacola apakah Tuhan kena dehidrasi?
Sebelum menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu mari kita membahas sedikit tentang Islam, bagaimana
islam menganggap pemujaan patung adalah berhala. Menurut Dr. Akif Manaf Jabir
(dalam Suryanto, 2006: 142) dalam
tradisi kuno bangsa-bangsa arab, diyakini bahwa ketika Allah mengusir Adam dan Hawa dari sorga, Adam mendarat disebuah pegunungan Sri Lanka dan Hawa jatuh di gunung Arafat. Setelah mengembara
selama seratus tahun, keduanya bertemu di Mekah. Atas petunjuk Allah kemudian Adam mendirikan sebuah tempat pemujaan
yang disebut Ka’bah. Pada pondasi
bangunan diletakan sebuah Hajar Al-aswad
( batu hitam) yang turut jatuh ke bumi pada saat mereka diusir dari surga.
Menurut salah satu tradisi, batu itu semula berwarna putih, namun lama kelamaan
berubah menjadi hitam, karena dosa-dosa peziarah yang menyentuh dan menciumnya.
Hajar Al-Aswad itu kini berada
dipojok tenggara, ditempatkan setinggi 1,5 meter dari tanah. Pada sudut yang
berseberangan, terdapat batu lain yang berwarna kemerah-merahan ( Hajar As-Sa’Adah) yang menjadi titik pusat ka’bah yang menandai
arah qiblah, titik fokus kegiatan
sembahyang. Dengan uraian diatas, jelaslah Ka’bah
dibangun oleh Adam untuk tujuan
pemujaan yang kemudian dikenal dengan rumah Allah (Al-Bayt Al-Haram). Dengan demikian, bangsa Arab Kuno percaya pada
satu Tuhan dan memuja Tuhan Yang Maha Esa itu. Namun mereka juga percaya bahwa
beberapa manusia tertentu memiliki hubungan yang istimewa dengan Allah dan
memiliki kemampuan sebagai perantara untuk menarik perhatian dan pertolongan dari
Allah. Akhirnya masyarakat Mekah membuat patung-patung orang suci dan saleh
lalu memujanya. Suku-suku bangsa Arab Kuno mempercayai bahwa Allah telah
mempercayakan berbagai urusan yang berhubungan dengan fungsi dan tugas mengurus
alam semesta ini kepada berbagai Dewa dan dewi. Akhirnya banyak suku-suku
menyembah patung Dewa dan Dewi namun sebagian dari mereka
menyembah berhala.
Berangsur-angsur, Ka’bah kehilangan pengaruhnya, untuk
mengatasi hal itu penguasa kota Mekah memutuskan
untuk menempatkan sebuah patung yang perkasa dan berpengaruh bernama Hubal di dalam Ka’bah.( Talibov dalam Suryanto, 2006: 129). Untuk lebih menarik
suku-suku bangsa Arab, orang-orang Mekah secara bertahap mengumpulkan banyak
patung hingga terkumpul 360 berhala yang ditempatkan dalam Ka’bah dan halamannya. Dari sejarah bangsa Arab kuno tersebut dapat
kita ketahui bahwa seiring berlalunya zaman, prinsip-prinsip agama sejati telah
disimpangkan. Masyarakat Arab Kuno memuja segala benda dan segala sesuatu yang
lain selain Tuhan. Sri Krishna
menyatakan dalam Bhagavad-gita(4.7-8), “bila
hal-hal yang bertentangan dengan dharma merajalela, Tuhan akan mengirimkan
utusannya untuk menegakan kembali prinsip-prinsip dharma.” Dalam situasi
seperti itu, di Semenajung Arab Nabi
Muhammad S.A.W diturunkan untuk menegakan kembali prinsip-prinsip dharma.
beliau menerima wahyu Al-Qur’an dan
menjadi rasul Allah. Masyarakat yang menyembah berhala pada saat itu, dilarang
keras untuk menyembah berhala oleh Nabi
Muhammad. Namun seiring dengan berlalunya waktu, secara tradisi islam
melarang pemujaan dan penyembahan terhadap bentuk apapun tanpa kecuali. Menurut
Islam, penggambaran bentuk Allah diciptakan oleh setan dan disebut byut (berhala)\
Selain dalam Al-Qur’an pelarangan pemujaan terhadap patung juga ditemukan dalam
kitab injil, khususnya perjanjian
lama yang merupakan kitab suci agama Yahudi,
Kristen dan agama-agama yang serumpun. Dalam Exodus 20.3 terdapat perintah
“ Kamu tidak boleh mempunyai Tuhan lain
dihadapan-Ku”. Larangan itu dipertegas dalam ayat-ayat selanjutnya. Exodus
20.4-5) “ Kamu tidak akan membuat atasmu
patung berhala, atau keserupaan apapun, yang ada disurga di atas, atau yang ada
di atas bumi, atau yang ada dalam air ; kamu tidak akan tunduk pada mereka,
tidak pula melayani mereka, karena aku Tuan Tuhanmu adalah seorang pencemburu”.
Dalam hubungannya dengan kitab perjanjial lama, larangan pemujaan berhala
muncul dalam konteks untuk mempertahankan pemuja Tuhan Yang maha Esa agar tidak
tunduk dan menyembah Baals, Ishtars dan lain-lain yang merupakan nama-nama dewa
pada masa itu. Dengan kata lain, terjadi berbagi pemujaan terhadap Dewa pada
waktu itu dan dala upaya menghidari itu, diberikan larangan keras untuk memuja
Tuhan- tuhan yang lebih rendah, termasuk pemujaan terhadap Arca.(Satyaraja
& Rev. Hart (dalam Suryanto,2006: 136)
Dari pandangan agama-agama diatas,
lalu apakah Hindu menyembah berhala? Bukankah dalam Kitab Suci Weda tak ada
pernyataan untuk memuja Patung? Bagian dari ajaran agama yang paling menonjol
adalah aktivitas puja atau memuja Tuhan. Ketahuilah bahwasannya aktivitas
apapun yang kita lakukan sesungguhnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan,
sehingga noda yang kita lakukan dalam bekerja,bergaul, berpikir dan lainnya
sama saja dengan noda pemujaan. Memang perbuatan baik bukanlah sistem kredit
poin yang mesti dikumpulkan untuk bisa mendapatkan surga kelak setelah mati.
Sebab kebaikan dan pemahaman kebenaran masing-masing orang berbeda menurut
pengetahuan kecerdasannya. (Putrawan,2004; 50). Sebuah gambaran atau wujud
perlu untuk pemujaan pada tahap awal yang merupakan simbol luar dari Tuhan.
Gambaran material mengingatkan akan pemikiran mental. Kemantapan pikiran
diperoleh dengan pemujaan gambaran. Si pemuja akan dihubungkan dengan pemikiran
yang tak terbatas, Maha Kuasa, Maha Tahu, kemurnian ,kesempurnaan, kebebasan,
kesucian, kebenaran an berada dimana-mana. Tak mungkin bagi semua orang
memusatkan pikiran bagi yang mutlak atau tak terbatas sebab Tuhan bersifat Acintya. Wujud nyata diperlukan bagi
masyarakat luas untuk melakukan konsentrasi. Dalam kitab suci Weda tak ada
pernyataan untuk memuja patung, namun dalam kitab-kitab Purana dan Agama yang
bersumber dari ajaran Weda banyak
memberikan uraian tentang pemujaan patung. Pada dasarnya setiap orang adalah
pemuja patung, gambaran mental juga merupakan suatu wujud atau patung.
Perbedaannya bukan pada jenisnya tetapi tingkatannya. Semua pemuja,
bagaimanapun kecerdasannya membangkitkan suatu wujud dalam pikiran dan
membuatnya memikirkan gambaran tersebut.( Sivananda,2003:118-119)
Menurut Prof. Diana Eck dari Harvard
University, Amerika,” Seperti istilah
ikon menunjukan makna keserupaan, begitu pula kata-kata pratikrti dan Pratima
dalam bahasa sansekerta menunjukan makna keserupaan antara gambar atau patung
dengan dewata yang dilambangkannya. Namun kata yang umum digunakan untuk
menyebut patung seperti itu adalah Murti yang didefinisikan sebagai segala
sesuatu yang memiliki bentuk dan batas tertentu, suatu bentuk, badan atau
figur, sebuah perwujudan, penjelmaan, pengejawantahan. Jadi murti lebih dari
sekedar keserupaan melainkan dewata sendiri yang telah mewujud. Pemakaian kata
murti dalam Upanisad dan Bhagawadgita menunjukan bahwa bentuk atau wujud adalah
hakekat atau esensi-Nya.”( Suryanto, 2006; 137). Patung merupakan simbol
ke-Tuhanan. Seorang menyembah tidak menganggapnya sebongkah batu atau setumpuk
logam, karena baginya itu adalah lambang Tuhan. Ia mewujudkan kehadiran
penghunian dalam Murti atau gambaran
tersebut. Semua orang-orang suci saiwa
nayanar dari India Selatan mencapai realisasi Tuhan melalui pemujaan Lingga, sebagai gambaran Siwa. Bagi seorang pemuja gambaran
adalah himpunan caitanya atau
kesadaran, disitu ia menarik inspirasi dari gambaran tersebut dan gambaran itu
menuntunnya dan berbicara kepadanya. (Sivananda,2003;125)
Dalam Bhagavad-gita Sri Krishna bersabda,” Apapun cara manusia mendekati-Ku,
demikianlah Aku menerimanya, manusia pada segala sisi mengikuti jalanku”. Radhakrisnan
mengomentari hal itu “ Nama dan wujud
digunakan untuk mencapai yang tak berwujud, meditasi pada wujud apapun yang
disenangi dapat dipakai” (Yayasan Sanatana Dharmasrama Surabaya, 2000; 32).
Kemajuan ilmu pengetahuan di abad ini seharusnya meyakinkan kita tentang
kemuliaan pemujaan Murti. Bagaimana para penyanyi dan para penyair membatasi
sebuah kotak kecil semacam itu disebut sebuah radio? Ia hanya sebentuk susunan
mekanik tanpa kehidupan yang hancur menjadi ribuan keping bila dilempar dengan
keras, namun bila kamu mengetahui bagaimana menaganinya, kamu dapat
mendengarkan musik yang dimainkan beberapa mil jauhnya dari tempat siaran yang
dipancarkan pada bagian terpencil di permukaan bumi ini. Bahkan kita dapat
menangkap suara orang-orang diseluruh dunia melalui radio penerima, hal itu
dimungkinkan untuk bercakap-cakap dengan Tuhan yang meresapi segalanya bergetar
dari setiap atom penciptaan. Tak ada suatu perkataan tentang ruang dimana Dia
tidak ada. Lalu mengapa kita mengatakan bahwa Tuhan tidak ada dalam patung(Murti).
Dalam
Uddhava-gita , Sri Krishna
menjelaskan tentang kemuliaan Arca
Atau Murti sebagai berikut “ Seorang dvija harus menyembahku sepenuh
hati, mempersembahkan berbagai perlengkapan dengan cinta bhakti kepada wujud-Ku
sebagai Arca atau pada wujud-Ku yang muncul dalam tanah, dalam api, dalam
matahari, dalam air, atau dalam hati penyembah itu sendiri.” (Bhagavatam
11.27.9). Bagi seorang bakta atau seorang pertapa tak ada benda apapun sebagai jada atau tak berjiwa. Para penyembah
memandang sungguh-sungguh Tuhan ada di dalam patung(Murti). Narsi Mehta adalah pemuja Sri Krishna, Ia pernah dipuji oleh seorang raja. Raja berkata “ wahai Narsi, Bila Kamu seorang penyembah
yang tulus dari Sri Krishna dan bila kamu mengatakan bahwa Sri Krishna adalah
patung itu sendiri, coba gerakan patung tersebut!” sesuai dengan doa Narsi Mehta, maka patung tersebut
bergerak. Tulsidas adalah seorang wedantin, ia mewujudkan intisari
meresapi segalanya dan ia memiliki kesadara kosmik. Ia bersatu dengan yang
merasa bersatu dengan yang meresapi segalanya, Tuhan yang tapa wujud. Namun
kasih sayangnya pada Sri Rama dengan
Busur di tangannya tidak lenyap. Ketika ia berada di Wrndawana dan melihat Murti Tuhan Krishna dengan seruling
ditangannya, ia berkata ; Aku tidak akan
membungkukan kepalaku pada wujud ini” seketika itu juga wujud Sri Krishna berubah menjadi wujud Sri Rama, barulah ia membungkukan
kepalanya.( Sivananda,2003;126-127)
Dari kenyataan-kenyataan diatas,
kita dapat secara jelas menarik kesimpulan bahwa seorang pemuja dapat
mewujudkan Tuhan melalui pemujaan Patung (Murti)
dan hal itu bukanlah berhala selama yang dipuja merupakan perwujudan
dharma(Tuhan). Pemujaan Tuhan dalam wujud saguna merupakan bantuan yang besar sekali
dalam mewujudkan Tuhan dalam meresapi segalanya, juga aspek tanpa wujud dan
bahwa pemujaan murti sangat penting guna keperluan konsentrasi dan meditasi
serta pemujaann semacam itu sama sekali tidak menghalangi pencapaian kesadaran
Tuhan.
Referensi;
Suryanto.
2006. Hindu Dibalik Tuduhan dan Prasangka. Yogyakarta : Narayana Smrti Press
Putrawan,
I Nyoman.2004. Ceki Puja. Denpasar : Pustaka Bali Post
Sivananda,
Sri Swami.2003. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya : Paramita
Yayasan
Sanatana Dharmasrama. 2000. Studi Banding Antar Agama. Surabaya : Paramita