BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kalau kita perhatikan segala sesuatu yang ada di sekitar
kita maka beraneka ragam benda, pemandangan yang indah dan mahluk hidup yang
dapat kita lihat. Kesemuanya itu merupakan isi alam semesta atau Buana Agung
yang dapat menimbulkan sebuah pertanyaan sederhana yang selalu menggelitik hati
kita yaitu “Dari manakah asal mula segala sesuatu yang ada di alam semesta ini
atau lebih sederhana lagi dan mana asal mula alam semesta ini yang dikenal pula
sebagai Buana Agung dalam Agama Hindu?”.
Sejauh ini sains (ilmu pengetahuan modern) telah mempelajari
segala sesuatu yang ada di alam raya ini (Bhuana Agung) dari berbagai aspek
tapi belum dapat menjawab pertanyaan sederhana tersebut di atas. Telah
dikemukaan berbagai teori tentang terbentuknya alam raya dan asal mahkluk
hidup. Seperti Big Bong, Teori Generasio Spontania dan lain sebagamnya,
semuanya itu juga tidak dapat menjawab pertanyaan di atas. Segala sesuatu yang
ada dan yang akan ada di alam raya ini semuanya bersumber atau disebabkan oleh
penyebab pertama atau sering disebut causa prima, itulah yang dipercaya sebagai
Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Sada Siwa Tattwa bahwa Sada Siwa merupakan
kesadaran kedua setelah Paramasiwa, ia bersifat wyapara yang berstana dalam
padmasana yang disebut cadhusakti, dengan saktinya ia menciptakan seluruh alam
semesta beserta isinya. Jadi causa prima itu adalah Sada Siwa.
Ajaran pokok dari Siwa Siddhanta adalah bahwa Siwa,
merupakan realitas tertinggi, dan jiwa atau roh pribadi adalah dari intisari yang
sama dengan Siwa. Dalam hal ini siwa digambarkan dalam
bentuk cetana
yang merupakan unsur widya ( unsur
kesadaran ), yaitu hakikat yang tidak terpengaruh oleh ketidaksadaran dan
bersifar abadi, artinya bersifat kokoh tidak dapat digoyahkan, dan tidak dapat
disembunyikan Ada tiga bentuk cetana yaitu : paramasiwatattwa, sadasiwatattwa,
dan siwatattwa. Ketiga tattwa ini di sebut dengan cetana telu, yang merupakan
tiga tingkat kesadaran. Paramasiwatattwa memiliki kesadaran tertinggi,
sadasiwatattwa memiliki kesadaran menengah, sednagkan siwatattwa memiliki
kesadaran terendah.
Tinggi rendahnya taraf kesadran itu
tergantung pada kuat lemahnya pengaruh mayatattwa ( acetana ) terhadap cetanaRealita tertinggi disebut Siwa, yang
merupakan kesadaran tak terbatas, yang abadi, tanpa perubahan, tanpa wujud,
merdeka, ada dimana-mana, maha kuasa, esa tiada duanya, tanpa awal, tanpa
penyebab, tanpa noda, ada dengan sendirinya, selalu bebas, selalu murni dan
sempurna. Ia tak dibatasi oleh waktu yang merupakan kebahagiaan dan kecerdasan
yang tak terbatas, bebas dari cacat, maha pelaku dan maha mengetahui. Sumber
ajaran siva di Bali terdapat empat kelompok, yaitu weda, tattwa, etika, dan
upacara. Salah satu sumber yang akan dibahas adalah Ganapati Tattwa yang
termasuk sumber Siwa Siddhanta ke dalam kelompok Tattwa. Ganapati Tattwa ini
adalah mengisahkan bagaimana percakapan Dewa Siwa dengan putranya yaitu Ganesha
atau Ganapati terutamanya penciptaan alam semesta.
Ganapati Tattwa merupakan salah satu Lontar
Tattwa, Lontar Filsafat Siwa, yang digubah dengan mempergunakan metode Tanya
jawab. Tanya jawab tersebut ditulis di dalam 37 lembar daun tal yang disusun
dalam 60 bait/prosa, menggunakan bahasa Sansekerta yang disertai dengan ulasan
dalam bahasa Kawi. Ganapati, putera Siwa, adalah Dewa penanya yang cerdas. Dan
Siwa adalah Maheswara, yang menjabarkan tentang ajaran Rahasia Jnana,
menjelaskan tentang misteri alam semesta beserta isinya. Secara ringkas isinya
dapat diuraikan sebagai berikut: Omkara adalah wujud sabda sunya, nada Brahman,
asal mula Pancadaivatma : Brahma, Wisnu, Iswara, Rudra dan Sang Hyang Sadasiva.
Pancadivatma merupakan asal Panca Tan Matra yang terdiri dari Rupa (unsur
bentuk), Gandha (unsur bau), Rasa (unsur rasa/kenikmatan), Sparsa (unsur
sentuhan), dan Sabda (unsur suara). Dari Panca Tan Matra munculah Panca
Mahabutha yang merupakan unsur materi (elemen alam semesta) yang terdiri dari :
Apah (air/benda cair), Teja(panas), Vayu (angin), Prthivi (tanah) dan Akasa
(ether). Dari Panca Mahabutha ini alam semesta beserta isinya diciptakan, dan
Sang Hyang Sivatma menjadi sumber hidup yang menggerakkan segala ciptaannya .
Penyusun,
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas
maka ada beberapa hal yang akan dibahas dalam karya tulis ini antara lain :
1.
Apa saja pokok-pokok ajaran dalam Lontar Ganapati
Tattwa?
2.
Bagaimana konsep penciptaan alam semesta menurut
Lontar Ganapati Tattwa?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penyusunan karya tulis ini adalah sebagai berikut,
1.
Tujuan secara umum
Untuk berbagi pengetahuan kepada
masyarakat pembaca tentang ajaran-ajaran yang tertuang dalam Lontar Ganapati
Tattwa terutamanya yang kami sajikan yaitu Konsep Penciptaan Alam Semesta dalam
Lontar Ganapati Tattwa.
2. Tujuan
khusus
a.
Untuk mengetahui pokok-pokok ajaran dalam Lontar
Ganapati Tattwa.
b.
Untuk memahami konsep penciptaan alam semesta
menurut Lontar Ganapati Tattwa
1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan setelah penyusunan ini
antara lain,
1. Manfaat
secara umum
Dapat memberikan pengetahuan
kepada masyarakat pembaca tentang ajaran-ajaran yang tertuang dalam Lontar
Ganapati Tattwa terutamanya yang kami sajikan yaitu Konsep Penciptaan Alam
Semesta dalam Lontar Ganapati Tattwa.
2. Manfaat
Khusus
a.
Dapat mengetahui pokok-pokok ajaran dalam Lontar
Ganapati Tattwa
c.
Dapat memahami konsep penciptaan alam semesta
menurut Lontar Ganapati Tattwa
BAB II
Pembahasan
Ganapati Tattwa
merupakan salah satu Lontar Tattwa, Lontar Filsafat Siwa, yang digubah dengan
mempergunakan metode Tanya jawab. Tanya jawab tersebut ditulis di dalam 37
lembar dau tal yang disusun dalam 60 bait/prosa, menggunakan bahasa Sansekerta
yang disertai dengan ulasan dalam bahasa Kawi. Ganapati, putera Siwa, adalah
Dewa penanya yang cerdas. Dan Siwa adalah Maheswara, yang menjabarkan tentang
ajaran Rahasia Jnana, menjelaskan tentang misteri alam semesta beserta isinya.
Terutama tentang hakikat manusia yaitu dari mana ia dilahirkan, untuk apa ia
lahir, kemana ia akan kembali dan bagaimana caranya agar bisa mencapai
kelepasan.
2. 1 Pokok-Pokok Ajaran Dalam Lontar Ganapati Tattwa
Ganapati
Tatwa menggunakan bahasa Jawa Kuno yang juga diselingi dengan bahasa
Sansekerta. Penyampaian ajaran Ganapati ini menggunakan dialog atau percakapan
sebagaimana ditemukan dalam Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Sanghyang Mahajñanā,
dan sebagainya. Tokoh yang ditampilkan dalam Ganapati Tattwa adalah :
Bhatara Śiwa sebagai Mahaguru yang memberikan pelajaran tentang
hal-hal yang berhubungan dengan rohani yang bersifat abstrak dan rahasia.
Sedangkan Bhatara Gana yang disebut pula Sanghyang Ganapati atau
Sanghyang Ganadipa berperan sebagai penanya yang ingin mengetahui ajaran
tentang kebenaran terutama menyangkut sumber ciptaan yang ada serta
proses kembalinya kepada sumber asalnya. Adapun pokok-pokok isi dialognya
adalah sebagai berikut :
2.1.1. Penciptaan Alam Semesta
Sang
Hyang Siwatman Menciptakan Alam Semesta Dari Unsur Panca Mahabutha Dalam bagian
ini, akan di jelaskan bagaimana percakapan Sang Ganapati dengan Dewa Siwa.
Dimana, Dewa Siwa memberikan wejangan bagaimana Sang Hyang SIwatman itu
menciptakan alam semesta dari unsur Panca Maha Butha. Berawal dari perihal
munculnya Panca Daiwatma, yang dijelaskan bahwa dari Omkara muncul Windu,
bagaikan embun yang berada di ujung rambut/rumput, disinari matahari bening
bagaikan dupa, sinarnya terang cemerlang berkilauan. Dari Windu itu muncullah
Panca Daiwatma yaitu : Brahma, Wisnu, Rudra, Kami/daku dan Sang Hyang Sadasiwa.
(Ganapati Tattwa,1.2) Kemudian tentang hakikat alam semesta, dari Panca
Daiwatma lahir Panca Tanmatra, yaitu : dari Brahma lahir bau, dari Wisnu muncul
unsur kenikmatan, dari Rudra timbul mode/bentuk, dari Daku (Iswara) keluar
unsur rabaan, dari Sang Hyang Sadasiwa nada/suara. (Ganapati Tattwa, 1.4).
Kemudian dari sabda timbul ether, dari sparsa muncul angin, dari rupa keluar
sinar, dari rasa lahir zat cair, dan dari gandha timbul tanah. Dari perthiwi
terwujudlah bumi, berkat apah muncul air, karena teja tercipta matahari, bulan
dan bintang; karena wahyu adalah angin; dari akasa lahirlah tumbuh-tumbuhan
seperti : rumput pohon kayu, tanaman melata, serba kulit kelopak dan inti serta
segala makhluk yaitu : bianatang/ternak, burung, ikan makhluk halus;
demikianlah keadaannya alam semesta itu. Setelah itu juga dijelaskan bagaimana
perihal penjelmaan (kelahiran) manusia. Kelahiran manusia tidaklah berbeda
dengan manifestasinya Dewa. beserta dengan penciptaan alam semesta, sebab
manusia lahir dari Windu, awal mulanya Omkara; bagaimana wujudnya, yakni :
Brahma dan Wisnu menciptakan badan jasmani, yang terbentuk dari unsur tanah dan
zat cair; Rudra menciptakan alat pelihat (mata), yang terwujud dari sinar; Daku
(Iswara) membuat pernafasan, yang berbentuk raba sentuhan; Sang Hyang Sadasiwa
menciptakan bunyi/suara, yang terwujud dari unsur ether. (Ganapati Tattwa,
1.6).
2.1.2.
Hubungan Gaib/Rahasia dari Sang Hyang Siwatma Alam semesta dan badan jasmani
manusia adalah tunggal.
Sama
seperti dalam hubungannya dengan keberadaan bhuana agung dan bhuana alit. Apa
yang ada di alam semesta juga ada dalam tubuh jasmani manusia. Seperti halnya
pada alam semesta, Brahma berstatus di selatan, memelihara tanah/bumi; Wisnu
berstatus di utara memelihara zat cair/air; Rudra berstatus di barat,
mengendalikan matahari, bulan dan bintang; Daku (Iswara) berstatus di timur
mengatur udara/angin; Sang Hyang Sadasiwa berstatus di tengah, memelihara
ether/atmosphere. Kalau dalam tubuh manusia, Brahma berstatus di muladhara,
menghidupkan indra/jasmaniah, berhubungan dengan hidung, memerlukan bau; Wisnu
berstatus di pusar/nawe, memelihara badan jasmani, berhubungan dengan lidah,
memerlukan unsur kepuasan (rasa); Rudra berstatus di hati, mengatur
kesadaran/tekad, berhubungan dengan pandangan mata, menentukan pikiran; Daku
(Iswara) berstatus di kerongkongan/throat, mengendalikan ketiduran, berhubungan
pada mulut, mengatur nada suara; Sang Hyang Sadasiwa berstatus di ujung lidah,
menguasai segala pengetahuan, berhubungan dengan telinga, meneliti keadaan
suara.(Ganapati Tattwa, 1.8). Begitulah keberadaan Daiwatma itu dalam tubuh
jasmani dan alam semesta ini. Dalam bagian ini juga dijelaskan tentang
muladhara, yang tempatnya diantara lubang dubur dan alat kelamin. Tentang
perpaduan serta pembentukan manusia baru yang dilahirkan melalui perantara sang
ibu. Dikatakan pula perihal tentang yang menghidupkan bayi itu dalam kandungan
hingga adalam usia tuanya. Seperti dalam Ganapati Tattwa, 1.15 dijelaskan bahwa
yang menjadi penghidupannya .
2.1.3. Sadanggayoga
Sadanggayoga
adalah jalan untuk mencapai kelepasan. Adapun bagian dari Sadanggayoga, yaitu:
a. Pratyaharayoga
Segala tujuan kepuasan hawa nafsu yang dapat
dikendalikan dengan ketenangan iman (pikiran) yang teguh, itulah yang
dinyatakan Pratyahara. Pratyaharayoga artinya segala hubungan hawa nafsu itu
terkekang, tiada dibbaskan pemuasannya, dikendalikan dengan kesadaran iman suci
yang teguh, meskipun kurang mesra namun ada juga kejernihannya, surutnya
pemuasan nafsu itulah yang disebut Pratyaharayoga. (Ganapati Tattwa, 4)
b. Dhyanayoga
Tanpa
pasangan, tiada perubahan agitasi, tanpa koneksi, dan tetap juga tenang, maka
system konsentrasi renungan berpikir yang demikian itulah yang disebut Dhyana.
Dhyanayoa artinya system pemikiran yang tiada mendua tanpa perubahan, (selalu)
tenang juga dalam suka dukanya, tiada pernah gelisah, tetap teguh tanpa
terpengaruhi, kesadaran pemikiran yang menunggal itulah jadi perilakunya,
demikianlah yang dimaksud Dhyanayoga. (Ganapati Tattwa, 5)
c. Pranayamayoga
Isaplah udara dengan segala lubang lain yang tertutup
dan terus konsentrasi kemudian keluarkan udara itu perlahan-lahan, inilah yang
disebut system pelaksanaan Pranayama. Pranayamayoga artinya: tutupilah segala
lubang mata, hidung, telinga dan mulut, namun terlebih dahulu isaplah udara,
konsentrasi/tembuskan pada ubun-ubun, bila sudah terasa tegang/penuh terkendali
biarkanlah keluar melalui lubang hidung secara perlahan-lahan;itulah yang
disebut konsentrasi pengaturan nafas (Pranayamayoga). (Ganapati Tattwa, 6)
d. Dharanayoga
Statuskanlah
Omkara itu dihati dan konsentrasikan Siwatma (Sunyatma) dengan Siwatma
(Sunyatmaka/Sunyasiwa) bila tiada terdengar sesuatu, demikianlah yang disebut
Dharana. Dharanayoga berarti : secara spirituilnya sebagai simbolik bahwa
Omkara itu ada di hati, yaitu sebagai pusat pengendalian pengaruh unsure
jasmaniah bila tenang tiada lagi terdengar sesuatu dalam saat beryoga, maka
dalam status beginilah Bhatara (Atma) dalam perwujudan Sunyasiwatma (menunggal)
dengan Sumber Jiwa Alam Semesta/Sadasiwa. Demikianlah yang dimaksud Dharanayoga.
(Ganapati Tattwa, 7)
e. Tarkayoga
Pikiran
itu bagaikan tanpa suara diangkasa, terpisahnya suara dengan angkasa itulah
sebenarnya tujuan pikiran yang suci (Paramartha), demikianlah Tarkayoga itu
adanya. Tarkayoga artinya : bagaikan langit/angkasa kiranya pikiran suci
(Paramartha) itu, yang tiada terpengaruhi sesuatu, sebab tak ada unsure suara
padanya, begitulah simbulnya Paramartha, yang berlainan dengan angkasa udara,
walaupun persamaannya sungguh serba jernih; demikianlah yang disebut Tarkayoga.
(Ganapati Tattwa, 8)
f. Semadhiyoga
Tiada
lalai, tanpa aktivitas, tanpa keperluan, tanpa pengakuan, tanpa keinginan,
tidak terpengaruh, tanpa harapan; itulah yang disebut Semadhi. Semadhiyoga
artinya: bhatin yang tidak lalai, tiada berharap, tanpa keakuan, tiada sesuatu
yang diinginkannya, tak ada yang diperlukan, tenang tiada terpengaruh; itulah
yang dinamakan Semadhiyoga. (Ganapati Tattwa, 9).
2.1.4. Catur Dasaksara
Untuk
Caturdasaksara yang bagaikan bunga dengan keharuman tanpa surutnya, beliau
bertahtah di hati, yang senantiasa daku sembah (seperti) Siwa. Di sana pada ulu
hati keadaan Bhatara Siwa, pujalah beliau senantiasa dengan sarana Sang Hyang
Caturdasaksara, bersimbolik seperti ini: SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG,
MANG, SING, WANG, YANG, ANG, UNG, MANG: OM, itulah beliau Sang hyang Caturdasaksara,
diumpamakan sebagai bunga yang mekar, harum semerbak tiada selingan,
demikianlah pemujaanmu yang tekun setiap waktu. Dari Niskala lahir Nada, dari
Nada muncul Bindu, dari Bundu muncul Bulan (semi), dari Bulan itu ada Wisnu/
dunia berulang-ulang. Tegasnya, yang Niskala melahirkan Nada. Dari Nada
melahirkan Bindu, dari Bindu melahirkan Ardhacandra, dari Ardhacandra
melahirkan Wisnu/ alam semesta, berulang-ulang pelaksanaannya; Wiswa berarti
Sang Hyang Pranawa, Sang Hyang Pranawa sesungguhnya adalah omkara. Wiswa (alam)
berpadu dengan Candra (semi bulan), Bindu dengan Nada, dari perpaduan itu
senantiasa mewujudkan Omkara.Wiswa itu berpadu dengan Ardhacandra dan Bindu
beserta Nada; energi hidup Ardhacandra dan Bindu serta Nada itu manunggal, selanjutnya
menjadi Omkara.Wiswa melekat pada Candra, dan Candra menempel pada Bindu, serta
Bindu kembali pada Nada, demikianlah perihal/ keadaan aktivitasnya. Wiswa itu
bergantung pada Ardhacandra, Ardhacandra itu lebur dalam Bindu, Bindu itulah
bergantung pada Nada, demikianlah halnya ajaran Filsafat dan Nada itu kembali
ke Niskala. Niskala itu disebut dengan Maya Tattwa, itulah Pradhana (materi),
pengembaliannya pada Nada, dan Niskala itu kembali ke Sunyantara, Sunyantara
itu kembali ke Atyantasunya, sebagai pengembaliannya Niskala dan anakku Sang
Ganadhipa, adapun yang dimaksud Utpatti (lahir), Sthiti (hidup) dan Pralina
(lebur) itu ialah Sang Hyang Pranawa. Dari Siwa lahir Atma, karena Atma maka
dari Prakrti muncullah Rawi (matahari), dari Rawi lahir Agni (panas/api). ING
itulah disebut Siwa, dari siwa lahir Atma, BANG dari Atma lahir
Pradhana/materiil, SANG dari Pradhana/Prakrti lahirlah matahari (Aditya), TANG,
Aditya lahirlah Agni (api/panas),ANG. Demikianlah hal manifestasinya Sang Hyang
Panca Brahma yaitu: ING, BANG, SANG, TANG, ANG. Prakrti itu dijiwai atma, dan
karena Atma maka adalah matahari, adanya Agni menyusul setelah matahari;
demikianlah ternyata Siwagni dalam keadaan Sthiti. Yang permulaan adalah SANG
filsafatnya, selanjutnya BANG, kemudian TANG, terus ANG, dan akhirnya ING,
inilah Sthitinya Sang Hyang Panca Brahma, urutannya adalah SANG, BANG, TANG,
ANG, ING. (Ganapati Tattwa, 24-29).
Aksara Am itu disertai leh Aksara Tam, disertai oleh Aksara Sam,
disertai Aksara Bam, disertai oleh Aksra Im. Demikianlah lahirnya Sang Hyang
Panca Brahma urutannya adalah: Am, Tam, Sam, Bam, Im. Aksara Sam dan Bam lebur
menjadi Aksara (aksara) A, sedangkan Aksara Tam dan Am lebur menjadi Uksara
(aksara) U. Adapun aksara Im lebur mejadi Makara (aksara Ma). Dengan demikian
Sang Hyang Panca Brahma (Am, Tam, Sam, Bam, Im) lebur menjadi Tyaksara (A, Um,
Ma). Apabila Sang Hyang Tyaksara menyatu maka ia akn menjadi Omkara (aksara
Om). Sesungguhnya aksara A itu berada di tengah, aksara Ma berada di atas, dan
aksara U berada di bawah. Demikianlah pertemuan dari ketiga huruf itu membentuk
aksara Om (Omkara). Aksara Yam, Wam, Sim, dan Nam adalah utpatti Sang Hyang Pancaksara.
Aksara Sim, Wam, Man dan Yam adalah Sthiti Sang Hyang Pancaksara. Sedangkan
aksara Nam, Mam, Sim, Wam, Yam, adalah Pralina sang Hyang Pancaksara. (Ganapati
Tattwa, 30-33)
2.1.5. Lahirnya Tri
Aksara
Dasaaksara dan Catur Dasaksara Aksara Ya dihilangkan dimasukkan
pada aksara A (Aksara) pada tahap pertama. Tahap kedua masukkan aksara Tang
(Siwa) pada aksara U (Ukara). Tahap ketiga aksara Ya (Yakara) dihilangkan
menjadilah ia aksara Ma (Makara). Adapun aksara A (Aksara) dan aksara U (Ukara)
apabila dilebur akan menjadi aksara O (Okara). Apabila aksara Ma (Makara)
dihilangkan ia akan menjadi Bindu (Windu = titik) yang terletak diatas O
(Okara). Demikianlah tatacara lahir (Utpati), pemeliharaan (Sthiti), dan
peleburan (Pralina). Sang Hyang Panca Brahma dan Pancaksara. Pertama-tama
aksara Ma (Makara) diikuti oleh aksara A dan selanjutnya diikuti oleh aksara U
sebagai kelahiran Sang H yang Tri Aksara Mam, Am dam Um. Itulah tatacara
sehingga menyebebkan mencapai sorga. Apabila aksara A dipakai permulaan kemudian
diikuti oleh aksara U dan aksara Ma, sebagai pemeliharaannya Sang Hyang Tri
Aksara Am, Um dan Mam. Itulah tatacara yang jiga dapat menyebabkan mencapai
sorga. Adapun apabila dimulai dengan aksara U (Ukara) selanjutnya diikuti oleh
aksara A dan terakhir aksara Ma, sebagai pelebur Sang Hyang Tryaksara Um, Am,
dan Mam (akan mencapai) Sorga. Adapun aksara U lebur pada Bindu (windu=titik)
dan Ardacandra. Sedangkan aksara Ma (Makura) lebur pada Nada. Nada itu terletak
pada alam kosong. Demikianlah tatacaranya. Sampai pada hati Caturdasaksara.
Inilah Sang Hyang Bhedajnana kuajarkan kepadamu anakku, oleh karena teramat
rahasia sifatnya, karena itu tidak diketahui oleh dunia (masyarakat), apa
sebabnya? Karena ia adalah rahasia tentang diri (kita), seandainya rahasia itu
tidak diketahui mustahil akan dapat mencapai (dunianya) Siwa. Sesungguhnya asal
diri manusia adalag Dewa (Dewa sarira) dan ia yang selalu menjaga Sang diri.
Hal itu diketahui oleh Sang Pendeta yang merupakan pengetahuan rahasia tentang
manusia, dari awal, pertengahan dan akhir, habis olehku mengajarkan kepadamu,
oleh karena teramat sangat penting untuk diketahui. (Ganapati Tattwa, 34-41)
2.1.6. Pengetahuan Tentang Sang Hyang Bheda
Jnana
Adapun
murid yang dapat diberikan pengetahuan tentang Sang Hyang Bhedajnana adalah
murid yang punya imam terhadap Dana ( sedekah), orang yang dapat mengendalikan
nafsunya, dan mereka yang bersungguh-sungguh hendak melaksanakan Dharma,
melaksanakan Bratha (mengurangi kepentingan hidup di dunia ini), dan pada murid
yang berbakthi berguru. Umpamanya : adalah yoga yang di ajarkan oleh Sang Hyang
Bhedajnana. Adapun tatacaranya demikian (lihat sloka 43). Ada tiga prilaku bagi
orang yang mengutamakan (purusa) kebebasan seperti : ada yang mengikuti prilaku
Sakala, Kawalasuddha dan Malinatwa. Ketiganya dijelaskan demikian. Sakala
artinya berbadan tri guna (satwam, rajas, tamas). Kewalasuddha artinya
melepaskan diri dari kebahagiaan (duniawi). Malinatwa artinya bebas dari sifat
tri guna. Manowijnana badannya, artinya suci badannya. Jiwanya badan suci, dari
sana menuju kesangsian, itulah yoga namanya. Sinyakara kaiwalya artinya orang
yang tak ternoda oleh kebahagiaan duniawi aialah yang dianggap Siwa Suci. Tak
lama kemudian, setelah senang terdiam hening pada badan yang suci, bebas dari
nafsu keduniawian tanpa keraguan wujud yang kosong (itulah yang dimaksud)
lenyapnya segala keinginan. Itulah yang disebut kesucian tertinggi
(Paramisudha) karena lenyapnya (segala keinginan) lalu menggaib tanpa
ragu-ragu. Kerjakanlah hal itu oleh dirimu sendiri. Kesimpulannya, pengetahuan
suci yang tak ternodai (adalah) sarana untuk mencapai penyatuan diri dengan
Sang Roh Yang Maha Agung. Tidak ada yang melebihi keinginan-keinginan yang tak
ternoda oleh kesenangan duniawi. Orang demikian pasa saat mati rohnya (Sang Roh
Yang Mempribadi) akan memperoleh kebahagiaan. Inilah yang dikatakan
Purwadhakoti (awal dari sejuta kegelapan ) namanya, oleh karena tak terikat
oleh karma dan penikmatan hasil perbuatan, karenanya mencapai nirwana ujar para
Pendeta. Apa sarananya agar mencapai (nirwana) itu ? ada tiga sarana utama bagi
orang yang mengutamakan kebebasan batin dimana sarana itu dapat mengantar
kepada suatu keberhasilan. Ketiga sarana dimaksud adalah Wairagyaditraya,
Pararogya dan Dhyanaditraya. Wairagyaditraya adalah mengadakan Bahyawairagya
Parawairagya, Iswarapranindhana. Bahyawairagya artinya kawiratin . kawiratin
artinya pendeta yang berilmu tinggi di masyarakat. Parawairagya artinya pendeta
witaraga. Pendeta witaraga adalah pendeta ynang meninggalkan kesenangan hidup
(keduniawian). Iswarapranindhana artinya sang pendeta ynang taat ayogaprawrtti.
Ayogaprawrtti artinya pendeta yang taat melaksanakan pemujaan kepada tuhan.
Dhyanaditraya artinya melakukan pranayama, dharana san samadhi. Pranayama artinya
pemusatan dan pengaturan nafas. Dharana artinya pranawajnana artinya pemusatan
bathin. Samadhi adalag Nirwyaparajnana yang artinya ingat pada tuntutan yang
tampak. Itulah sarana untk menemukan Sang Hyang Bhedajnana. (Ganapati Tattwa,
42-44)
2.1.7. Proses
Kembalinya Sang Roh ke Dasangulasthana
Keberadaan Sang Hyang Sadhubhranti kelepasan,
Sang Hyang Wyudbhranti disuruh menjelma kedunia, kemudian ada mantra
pemisahnya. Hendaknya Tri Aksara itu teguh dilaksanakan olehmu (pasti) dicapai
Sang Hyang Sadhubhranti, janganlah keliru (pasti) Sang Hyang Wyudbhranti
ketemu. Banyak pertandanya, tetapi satu maksudnya, umpama : apabila engkau
mendengar suara Ardhacandra Bindu Nada sekaranglah tiba saatnya kematianmu,
janganlah engkau ragu-ragu , lepaskanlah segala kesetiaanmu dan hubungan dengan
keluargamu lalu tutup pangkal nadi (pangkal peredaran darah), ineban
(kerongkongan) dan semua lubang yang ada pada badan sambil melakukan pemusatan
batin, dan pengaturan nafas artinya tutuplah pikiranmu. Janganlah berbuat
sesuatu, apabila engkau bisa melaksanakannya dengan baik maka sang roh yang
bersemayam pada dirimu akan meninggalkan badanmu. Sebagai jalan sang hyang
pranawa ( sang roh yang mempribadi =atma) menuju Dwadasangulasthana (tempat
yang terlettak jauh di atas 12 (jari) tingkatan), yang disebut tempat tak terlihat
(niskala), tempat Bhatara Paramasiwa. Terbanglah ia sang roh yang mempribadi
dari sana (sang diri), itulah yang disebut moksa. Tak lama kemudian setelah
Sang Roh Yang Mempribadi terbang dari Dwadasangulasthana, patutlah sang roh
yang mempribadi menjadi paramasiwa tatwa, kembali sebagai roh (roh yang maha
agung), apa sebabnya demikian ? yang berasal dari sunya akan kembali pada
paramasunya. Itulah sebabnya ketahuilah kelakuan itu oleh orang yang ingin
mencapai kebebasan. Itulah sarananya untuk menemukan pengetahuan utama.
(Ganapati Tattwa, 45-48)
2.1.8. Panglukatan
Sang Ganapati
Sarana Upakara beserta Mantranya Masyarakat
Hindu di Bali mengenal upacara ngelukat atau melukat., yakni ritual pembersihan
diri secara lahir dan bhatin atau sekala dan niskala. Upacara ini disebut
melukat karena di dalamnya menggunakan tirtha atau air suci pangelukatan yang
khusus dibuat untuk tujuan tersebut .Seperti dikemukakan dalam Ganapati Tattwa
maka Ganesa atau Ganapati bisa dipuja untuk kepentingan pengelukatan. Tata cara
upacara beserta mantram yang diucapkan oleh pemimpin ritual yang
menyelenggarakan pengelukatan Ganapati, adalah sama dengan pelaksanaan ritual
pengendalian hama dan penyakit tanaman maupun manusia. Inilah penglukatan
(pembersihan) Ganapati, boleh digunakan di sekeliling (yang hendak
dibersihkan), bahannya bambu Ampel Gading digambari Gana, tangan kirinya
memegang Cakra, tangan kanan memegang Gada. Disertai dengan upakara : ajuman
putih kuning, suci satu, dagingnya bebek (itik) putih jambul, airnya ditempatkan
pada sangku tembaga yang diisi kembang Sudamala serta peras sesantun diisi uang
(sesari) 1.100, samsam daun Katima. Bambu Ampel Gading yang telah digambari
Gana itu dimasukkan pada sangku yang berisi air. Setelah dipuja gunakanlah pada
tempat yang terserang hama. (Ganapati Tattwa.48-60)
2.2 Penciptaan Alam
Semesta Menurut Ganapati Tattwa
. Tokoh
yang ditampilkan dalam Ganapati Tattwa adalah : Bhatara Śiwa
sebagai Mahaguru yang memberikan pelajaran tentang hal-hal yang
berhubungan dengan rohani yang bersifat abstrak dan rahasia. Sedangkan
Bhatara Gana yang disebut pula Sanghyang Ganapati atau Sanghyang
Ganadipa berperan sebagai penanya yang ingin mengetahui ajaran tentang
kebenaran terutama menyangkut sumber ciptaan yang ada serta proses kembalinya
kepada sumber asalnya. Adapun isi dialognya adalah sebagai berikut :
Pada awal mulanya dilukiskan tidak ada apa-apa yaitu : tidak ada bumi,
tidak ada langit, tidak ada sunia, tidak ada ilmu pengetahuan dan
sebagainya. Yang ada hanyalah Tuhan Yang Maha Esa dalam keadaan Nirguna,
Sukha, Acintya yaitu berkeadaan Maha bahagia yang tidak
terpikirkan. Kemudian terjadilah evolusi dari Sanghyang Sukha
Acintya dan muncullah Sanghyang Jñanā Wisesa yaitu pengetahuan yang
mulia. Ia berbadankan alam semesta, tetapi tidak ternoda, tidak terpengaruhi
oleh apapun, tak terjangkau karena Ia berkeadaan Wisesa, Maha Kuasa. Ia juga
disebut Sanghyang Jagat Karana, karena memiliki ilmu pengetahuan
yang maha kuasa dan sebagai penyebab dunia atau alam semesta dengan segala
isinya. Disinilah Ia menampilkan diriNya dalam aspek Saguna. Kemudian
timbul keinginan beliau untuk menyaksikan keadaanNya sendiri yang
berkeadaan Sekala-Niskala, itulah sebabnya beliau menciptakan yang berkeadaan
nyata (paras) dan yang berkeadaan tidak nyata (para) dan sunia sebagai
bayanganNya sendiri.
Sanghyang Jagat Karana bersemayam dalam sunia. Dari sanalah
Beliau mengadakan ciptaan-ciptaanNya dan selanjutnya secara
berturut-turut, seperti : Ongkara Suddha, Suara, Windu Prana Suci yang
didalamnya terdapat Nada Prana Jñanā Suddha. Dari Windu lahir Panca
Dewata atau Panca Dewa Atma yaitu Brahma, Wisnu, Rudra, Iswara dan
Sanghyang Sada Siwa, yang akan menjadi sumber ciptaan selanjutnya. Dari kelima Dewa tersebut, maka Brahma, Wisnu, dan Siwalah
yang dipandang sebagai badan perwujudan Tuhan itu sendiri.
Sedangkan Tuhan Yang Maha Esa (Śiwa) yang tidak terpikirkan dan
Acintya dilukiskan berada dalam batin atau hati yang suci yang disebut :
“Gūhyalaya”. Dalam Lontar dijelaska
sebagai berikut :
gaṇapatiḥ śiwam pṛcchad ganggomayoḥ
siddhārthadaḥ
dewagaṇaguruḥ putraḥ śaktiwīryyālokaśriyai
dewagaṇaguruḥ putraḥ śaktiwīryyālokaśriyai
Artinya,
Ganapati
mohon direstui petunjuk yang jelas kehadapan Dewa Siwa beserta permaisurinya
Dewi Uma(dan Gangga : Dewa Gana adalah putra gurunya yang sakti mulia sebagai
Pengatur Kesejahteraan Alam Semesta.
Dalam
ajaran Bhuwana Kosa Tuhan atau sang pencipta disebut Bhatara Siva. Bhatara Siva
adalah Maha Esa, tanpa bentuk, tanpa warna, tak terpikirkan, tak tercampur, tak
bergerak, tak terbatas, bersemayam dalam hati setiap makhluk, tanpa awal, tanpa
pertengahan dan tanpa akhir serta kekal abadi. Bhatara Siva adalah asal dari
segala yang ada, Alam semesta (Bhuwana Agung) dengan segala sinya dan manusia
(Bhuwana Alit) adalah ciptaan-Nya. Semua Ciptaan-Nya bersifat wujud maya yang
bersifat tidak kekal karena dapat mengalami kehancuran. Pada saat mengalami
kehancuran semua ciptaan-Nya itu kembali kepada-Nya karena ia adalah asal dan
tujuan semua yang ada ini. Seperti dikatakan dalam Bhuwana Kosa “Mijil sakeng sira lina ri sira muwah”
artinya datang dariNya (Siva), dan akan kembali pula kepadaNya.” Hal ini
berarti, walaupun Bhatara Siva bersifat tak terbatas digambarkan juga secara
terbatas, karena itu Ia sering disebut dengan nama yang berbeda-beda seperti
Brahma, Wisnu, Iswara, Rudra sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Dalam
Wrhaspati Tattwa dijelaskan bahwa Siwalah realitas tertinggi. Dalam hal ini
siwa digambarkan dalam bentuk
cetana
yang merupakan unsur widya ( unsur kesadaran ), yaitu hakikat yang tidak
terpengaruh oleh ketidaksadaran dan bersifar abadi, artinya bersifat kokoh
tidak dapat digoyahkan, dan tidak dapat disembunyikan Ada tiga bentuk cetana
yaitu : paramasiwatattwa, sadasiwatattwa, dan siwatattwa. Ketiga tattwa ini di
sebut dengan cetana telu, yang merupakan tiga tingkat kesadaran.
Paramasiwatattwa memiliki kesadaran tertinggi, sadasiwatattwa memiliki
kesadaran menengah, sednagkan siwatattwa memiliki kesadaran terendah. Tinggi
rendahnya taraf kesadran itu tergantung pada kuat lemahnya pengaruh mayatattwa
( acetana ) terhadap cetana. Paramasiwatattwa bebas dari pengaruh mayatattwa,
sadasiwatattwa dipengaruhi sedang – sedang saja, sedangkan siwatattwa sangat
dipengaruhi oleh mayatattwa. Paramasiwatattwa adalah bhatara siwa yang niskala, Tuhan yang serba
tidak, tidak terikat oleh ruang dan waktu, memenuhi alam semesta, sama sekali
tidak terpengaruh oleh mayatattwa, kerena itu disebut dengan nirguna brahma. Ia
adalah perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi, tanpa aktivitas.
Bhatara Ganapati awal mulanya
bertanya tentang keadaan dan sumber Panca Daiwatma sebagai berikut :
nihan pitutur ira
bhaṭāra śiwa, ri sang hyang gaṇa. sĕmbah ning tanaya ra sanghulun, ring
bhaṭāra, hanta warahana tanaya ra sanghulun, lamakane wruh ri kawijilan ing
pañcadaiwātmā, saking ndi pawijilan ira, ya ta warahana patik sanghulun
Artinya,
Beginilah nasehat-Nya Bhatara Siwa
terhadap Sang Hyang Gana “ Sembah hamba putra paduka kehadapan Bhatara,
tolonglah hendaknya berkati beritahukan hamba putra tuanku, agar supaya dapat
mengetahui prihal keadaannya Panca Daiwatma itu, dari manakah sumber-Nya,itulah
hendaknya jelaskan pada hamba putra tuanku!”
īśwara uwāca ,anaku sang
gaṇapati piṛngwākna pawarah kami ri kita, ikang śabda śūnya, sakeng oṃkāra
mijil bindu, kadi ĕbun hana ri āgra ning kuśa, kasĕnwan rawi, mahning kadi
dhūpa, dīpta nira mābhrākarakāra, sakeng bindu matmahan pañca daiwata, brahmā,
wiṣṇu, rudra, kami, mwang sang hyang sadāśiwa, mangkanānaku, makapawijilan ing
daiwātmā.(Ganapati
Tattwa. 2)
Artinya,
Iswara bersabda,”Putraku Sang Ganapati, perhatikanlah wejangan-Ku
ini untukmu, yakni sabda spiritual (gaib) : dari OM-kara muncul Windu bagaikan
embun yang berada diujung rambut/rumput, disinari matahari bening bagaikan
dupa, sinarnya terang cemerlah berkilauan. Dari Windu munculah Panca Daiwatma
(yaitu) : Brahma,Wisnu,Rudra, Kami/Daku, dan Sanghyang Sadasiwa. Demikianlah
putraku prihal keadaannya Panca Daiwatma itu.”(Pusdok : 27)
Awal dari OM-Kara dapat kita runut dari Panca
Brahma. ING itulah disebut Siwa, dari siwa lahir Atma, BANG dari Atma lahir
Pradhana/materiil, SANG dari Pradhana/Prakrti lahirlah matahari (Aditya), TANG,
Aditya lahirlah Agni (api/panas),ANG. Demikianlah hal manifestasinya Sang Hyang
Panca Brahma yaitu: ING, BANG, SANG, TANG, ANG. Prakrti itu dijiwai atma, dan
karena Atma maka adalah matahari, adanya Agni menyusul setelah matahari;
demikianlah ternyata Siwagni dalam keadaan Sthiti. Yang permulaan adalah SANG
filsafatnya, selanjutnya BANG, kemudian TANG, terus ANG, dan akhirnya ING,
inilah Sthitinya Sang Hyang Panca Brahma, urutannya adalah SANG, BANG, TANG,
ANG, ING. (Ganapati Tattwa, 24-29).
Aksara Am itu disertai oleh Aksara Tam, disertai oleh Aksara
Sam, disertai Aksara Bam, disertai oleh Aksra Im. Demikianlah lahirnya Sang
Hyang Panca Brahma urutannya adalah: Am, Tam, Sam, Bam, Im. Aksara Sam dan Bam
lebur menjadi Aksara (aksara) A, sedangkan Aksara Tam dan Am lebur menjadi
Uksara (aksara) U. Adapun aksara Im lebur mejadi Makara (aksara Ma). Dengan
demikian Sang Hyang Panca Brahma (Am, Tam, Sam, Bam, Im) lebur menjadi Tyaksara
(A, Um, Ma). Apabila Sang Hyang Tyaksara menyatu maka ia akn menjadi Omkara
(aksara Om). Sesungguhnya aksara A itu berada di tengah, aksara Ma berada di
atas, dan aksara U berada di bawah. Demikianlah pertemuan dari ketiga huruf itu
membentuk aksara Om (Omkara).
Swami Dayananda
Saraswati, pendiri Arya Samad di India, menyataan
bahwa panggilan Tuhan yang pertama-tama dan yang tertua adalah dengan
mengucapkan Omkara. Tuhan memang tanpa nama, tanpa rupa karena pada hakikatnya
semuanya yang nyata ini adalah perwujudan Tuhan. Artinya apa pun yang ada ini sesung guhnya adalah ciptaan Tuhan. Karena tidak
bernama maka manusia ciptaan Tuhan diteladani oleh para resinya memanjatkan doa pujian pada Tuhan dengan ucapan Omkara. Tuhan pada hakikatnya maha tahu. Pengucapan
Omkara sebagai media pemanggilan Tuhan bukanlah
untuk Tuhan, tetapi untuk mereka yang memanggil Tuhan agar merasa bahwa Tuhan
sudah mereka puja dengan pengucapan Omkara tersebut. Saat manusia berniat saja
untuk memanggil-Nya, Tuhan sudah mahatahu sebelumnya.
Demikianlah menurut
keyakinan Hindu. Dalam Manawa Dharmasastra II.83
dan 84 dinyatakan bahwa Eka Aksara Om adalah Brahman yang tertinggi. Ketahuilah
bahwa Omkara itu kekal abadi dan itu adalah Brahman penguasa semua ciptaan.
Dalam Manawa Dharmasastra II.76 dinyatakan bahwa Aksara Omkara itu berasal dari
aksara, A, U, M. dari suara tiga Veda dan inti dari Vyahrti Mantra. Yang dimaksud dengan Vyahrti Mantra itu adalah Bhur, Bhuwah dan Swah. Yang mengupas
tiga Veda dan Vyahrti Mantra menjadi aksara A, U dan M itu adalah Prajapati
yaitu Tuhan sebagai rajanya makhluk hidup. Yang dimaksud dengan ketiga Veda itu
adalah Reg, Sama dan Yajur Veda. Dari penyatuan
aksara, A, U dan M itulah bersenyawa menjadi aksara Omkara yang juga disebut
Pranava Mantra.
Karena itu, Omkara itu juga disebut Vijaksara Mantra artinya biji aksara asal mulanya Mantra Vda. Kata Aksara dalam bahasa Sansekerta artinya yang kekal abadi. Ini berarti tujuan Tuhan menurunkan Aksara adalah untuk menyebarkan ajaran suci Tuhan yang kekal abadi itu.
Karena itu, Omkara itu juga disebut Vijaksara Mantra artinya biji aksara asal mulanya Mantra Vda. Kata Aksara dalam bahasa Sansekerta artinya yang kekal abadi. Ini berarti tujuan Tuhan menurunkan Aksara adalah untuk menyebarkan ajaran suci Tuhan yang kekal abadi itu.
Menurut I Made Arsa
Wiguna,SST.Par,M.Pd.H,(Dosen Filasat di IHDN Denpasar) Windu(bindu) merupakan
unsur/lambang api. Windu juga berarti titik yang berada diatas aksara O
(Okara)(Ganapatitatwa, 37). Selain itu juga diatas dijelaskan tentang Panca
Daiwatma yaitu lima dewa yang muncul dari windu diantaranya Brahma,Wisnu,
Rudra, Iswara dan Sadasiwa.
gaṇapati uwāca, sĕmbah ning tanaya ra sanghulun, hanta muwah
warahana ri prakāśa ning bhuwana, lamakane wruha rānak rahadyan sanghulun. ( Ganapati Tattwa, 3)
īśwara uwāca, anaku sang gaṇapati, mangke
piṛngwākna pawarah kami, umajarakna ri katattwan ing bhuwana, sakeng
pañcadaiwātmā mijil pañcatanmātra, lwirnya, sakeng brahmā mijil gandha, sakeng
wiṣṇu mijil rasa, sakeng rudra mijil rūpa, sakeng kami mijil sparśa, sakeng
sang hyang sadāśiwa mijil śabda| mwah sakeng śabda mijil ākāśa, kayeki rūpa
nira ya, warṇṇa kadi śuddhasphaṭika, sakeng sparśa mijil wāyu, kayeki rūpa nira
wīl śweta awarṇṇa, sakeng rūpa mijil teja, kayeki rūpa nira nī, warṇṇa śweta,
bang, iṛng, sakeng rasa mijil āpah, kayeka rūpa nira o māye, kṛṣṇa warṇṇa nira,
sakeng gandha mijil pṛthiwī, kayeki rūpa nira oṃ, warṇṇa pīta, nakārākṣaranya,
śāstra ning hurip oṃkāra, mwah anaku sang gaṇapati, sakeng pṛthiwī mijil bhūmi,
sakeng āpah mijil wwai, sakeng teja mijil ta ng āditya, candra, lintang, sakeng
wāyu mijil ta ng angin, sakeng ākāśa mijil swara, sakeng bhuwana mijil
sthāwara, tṛṇa, taru, latā, gulma, twaksāra, mwang janggama, paśu, pakṣī, mīna,
aghnyā, mangkana lwir ning bhuwana.( Ganapati Tattwa, 4)
Artinya,
Ganapati berkata, “Sembahnya hamba putra paduka,
selanjutnya beritahukanlah lagi perihal awal-mula adanya alam semestaagar dapat
hendaknya putra tuan-Ku putra paduka mengetahuinya”.
Iswara bersabda, “Putraku Sang Ganapati,
kini perhatikanlah pemberitahuanku, hendak menjelaskan hakekat alam semesta.
Dari Panca Daiwatma lahir Panca Tan-Matra yaitu : Dari Brahma lahir bau,dari
Wisnu muncul unsur kenikmatan, dari Rudra timbul mode/bentuk, dari Daku(Iswara)
muncul unsur rabaan,dari Sang Hyang Sadasiwa nada/suara. Lagi pula dari sabda
timbul ether, seperti YA ini rupanya,berwarna bagaikan mutiara bening, dari
sparsa muncul angin begini rupanya WI,berwarna putih,dari rupa keluar sinar,
seperti NI ini modenya, berwarna putih, merah, hitam, dari rasa lahir zat cair,
berupa begini sebagai O-MA-YE, hitam warnanya, dari gandha timbul tanah bermode
bagaikan OM, warnanya kuning,NA bentuk hurufnya, berkode spiritual OM-kara. Dan
lagi putraku Sang Ganapati, dari perthiwi terwujudlah bumi, berkat apah muncul
air, karena teja tercipta matahari,bulan dan bintang,oleh karena wayu adalah
angin, dari akasa lahirlah bunyi suara, berkat alam semesta lahirlah
tumbuh-tumbuhan (seperti) rumput,pohon kayu,tanaman melata, serba kulit kelopak
dan inti, serta segala mahluk (yaitu) binatang/ ternak, burung ikan mahluk
halus, demikianlah macamnya alam semesta.
Segala
sesuatu yang ada dan yang akan ada di alam raya ini semuanya bersumber atau
disebabkan oleh penyebab pertama atau sering disebut causa prima, itulah yang
dipercaya sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Sada Siwa Tattwa bahwa Sada Siwa merupakan kesadaran kedua setelah Paramasiwa, ia bersifat wyapara yang berstana dalam padmasana yang disebut cadhusakti, dengan saktinya ia menciptakan seluruh alam semesta beserta isinya. Jadi causa prima itu adalah Sada Siwa. Alam raya atau Bhuana Agung ini disusun dan anasir dasar Panca Mahabhuta, yaitu prethiwi, apah, teja, bayu dan akasa, yang menentukan keberadaan alam semesta beserta isinya. Panca Mahabhuta sebagai penyusun alam semesta (Buana Agung) bersumber dari dua azas yang sangat sukma, gaib dan abadi yaitu Cetana dan Acetana yang juga disebut sebagai sebab mula terciptanya segala yang ada (causa prima). Seperti yang tertuang dalam sloka diatas, bahwa setelah muncul Panca Daiwatma dari Windu kemudian lahir unsur Panca Tan-Matra dari Panca Daiwatma itu. Panca Tan Matra merupakan lima keadaan yang sangat halus yaitu:
dipercaya sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Sada Siwa Tattwa bahwa Sada Siwa merupakan kesadaran kedua setelah Paramasiwa, ia bersifat wyapara yang berstana dalam padmasana yang disebut cadhusakti, dengan saktinya ia menciptakan seluruh alam semesta beserta isinya. Jadi causa prima itu adalah Sada Siwa. Alam raya atau Bhuana Agung ini disusun dan anasir dasar Panca Mahabhuta, yaitu prethiwi, apah, teja, bayu dan akasa, yang menentukan keberadaan alam semesta beserta isinya. Panca Mahabhuta sebagai penyusun alam semesta (Buana Agung) bersumber dari dua azas yang sangat sukma, gaib dan abadi yaitu Cetana dan Acetana yang juga disebut sebagai sebab mula terciptanya segala yang ada (causa prima). Seperti yang tertuang dalam sloka diatas, bahwa setelah muncul Panca Daiwatma dari Windu kemudian lahir unsur Panca Tan-Matra dari Panca Daiwatma itu. Panca Tan Matra merupakan lima keadaan yang sangat halus yaitu:
1. Sabda tan matra yaitu unsur nada/suara
2. Sparsa tan matra yaitu unsur rabaan
3. Rupa tan matra yaitu unsur bentuk
2. Sparsa tan matra yaitu unsur rabaan
3. Rupa tan matra yaitu unsur bentuk
4. Rasa tan matra yaitu unsur kenikmatan
5. Ganda tan matra yaitu unsur bau
5. Ganda tan matra yaitu unsur bau
Dari Panca Tan Matra melahirkan Panca Mahabhuta yaitu akasa,
bayu, teja, apah dan perthiwi merupakan lima anasir dasar yang dijadikan
penyusun alam semesta ini, keberadaannya berstruktur dan yang paling atas yaitu
akasa paling halus makin bawah yaitu bayu, teja, apah semakin kasar dan
perthiwi yang paling di bawah paling kasar.
1 Akasa(ether) lahir dari sabda tan
matra
Akasa paling diatas merupakan Panca Mahabhuta yang paling
halus berupa ruang kosong yang hampa, sunya tidak berwujud dan tidak tampak.
Akasa sebagai anasir dasar penyusun alam semesta berperan sebagai ruang wahana
atau tempat keberadaan segala yang ada dan terjadi di alam semesta ini. Alam raya
ini terbentuk dan satu ruang yang kosong yang hampa yang tak terbatas luasnya
dimana semua isi alam semesta ini seperti planet-planet dan mataharinya, semua
materi atau benda-benda yang ada dan semua mahluk hidup berada di dalamnnya.
Akasa merupakan ruang kosong pembentuk alam semesta.
2. Bayu(angin) lahir dari sparsa tan matra
Bayu inipun masih halus, karena rupa, tapi ada tanda-tanda
yang dapat menerangkannya misalnya, benda bergerak maka gerakan benda itu
sendiri adalah tanda adanya bayu dalam benda itu. Dibandingkan dengan akasa
bayu lebih kasar karena letaknya lebih di bawah, Bayu sebagai anasir dasar
penyusun alam semesta berperan sebagai tenaga penggerak (energi) semua peroses
yang terjadi dan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, seperti benda-benda
yang ada di sekitar kita sampai bend a planet yang ada diluar angkasa semua
bergerak tidak ada yang diam. Gerakannya bermacam-macam ada gerak rotasi, gerak
translasi, gerak vibrasi dan sebagainya. Semua gerakan itu disebabkan oleh bayu
sebagai tenaga penggeraknya.
3 Teja (api/sinar) lahir dari rupa
tan matra
Teja berada di bawah bayu maka lebih kasar daripada bayu.
Teja keberadaannya berupa sinar atau cahaya yang tidak berwujud sehingga tidak
dapat disentuh jadi masih halus tapi sudah tampak atau dapat dilihat sedangkan
bayu keberadaannya tidak dapat dilihat.
Teja sebagai anasir dasar pembentuk alam semesta berperan sebagai pembentuk sinar yang menyinari segala benda atau isi alam materi yang ada di alam ini dapat dilihat (tampak) dengan mata. Segala sesuatu yang dapat bersinar di alam ini dominan sebagai pembentuk alam ini, misalnya matahari yang bersinar terang merupakan benda (isi) alam semesta yang dapat mengeluarkan teja yang amat besar dan dalam dirinya demikian juga isi alam lainnya yang besinar.
Teja sebagai anasir dasar pembentuk alam semesta berperan sebagai pembentuk sinar yang menyinari segala benda atau isi alam materi yang ada di alam ini dapat dilihat (tampak) dengan mata. Segala sesuatu yang dapat bersinar di alam ini dominan sebagai pembentuk alam ini, misalnya matahari yang bersinar terang merupakan benda (isi) alam semesta yang dapat mengeluarkan teja yang amat besar dan dalam dirinya demikian juga isi alam lainnya yang besinar.
4.
Apah(zat cair) lahir dari rasa tan matra
Apah
sudah kasar karena sudah dapat berwujud walau wujudnya dapat berubah-ubah
sesuai dengan tempatnya. Apah sebagai anasir dasar penyusun alam semesta
berperan sebagai pembentuk cairan yang menyusun alam semesta beseta isinya.
Segala yang cair seperti air, minyak, alkohol, cairan pada tubuh dan lain-lain
yang berada di alam ini merupakan peran apah sebagai pembentuk alam semesta.
5
Perthiwi (tanah) lahir dari gandha tan matra
Perthiwi paling bawah sehingga paling kasar, wujudnya sudah
tetap (padat). Perthiwi sebagai anasir dasar paling kasar penyusun alam semesta
keberadaannya berperan untuk menentukan wujud benda-benda atau isi alam dan
wujudnya padat yang tetap.
Demikian
alam semesta ini disusun dan lima unsur dasar Panca Mahabhuta, tetapi yang
paling dominan adalah perthiwi sehingga batu itu padat dan juga terciptanya
bumi, air juga demikian yang paling dominan unsur dasar Panca Mahabhuta adalah
apah, matahari,bulan dan bintang unsur Panca Mahabhuta yang dominan adalah teja(api),
suara/bunyi unsur Panca Mahabhuta yang dominan adalah akasa dan angin unsur Panca
Mahabhuta yang dominan adalah bayu. Kandungan akasa yang dominan menyebabkan
keberadaan sesuatu dalam bentuk ruang, menyebar. Kandungan bayu yang dominan
menyebabkan keberadaan sesuatu dalam bentuk gerak atau benda bergerak.
kandungan apah yang dominan menyebabkan keberadaan sesuatu dalam bentuk benda
padat. Kandungan yang dominan itu bisa lebih dan satu unsur Mahabhuta dalam
suatu benda atau isi alam, misalnya kandungan apah dan prethiwi yang dominan
menyebabkan keberadaan dalam bentuk padat cair (kental).
berkat alam semesta lahirlah tumbuh-tumbuhan (seperti) rumput,pohon
kayu,tanaman melata, serba kulit kelopak dan inti, serta segala mahluk (yaitu)
binatang/ ternak, burung ikan mahluk halus, demikianlah macamnya alam semesta..
Dalam
sloka 25 selanjutnya dijelaskan tentang penciptaan alam semesta tersebut
sebagai berikut ;
Niṣkalāj
jāyate nādo nādād biṇdhusamudbhavah, bindoś candrasamudbhavaś candrād
visvah punah-punah
Kalinganya,
ikang niskalāmijalakên nāda, sakeng nāda ngamijilakên bindhu, sakeng bindhu
ngamijilakên ardhacandra, sakeng ardhacandra ngamijilakên wiśwa ngaran Sang
Hyang Praṇawa, Sang Hyang Praṇawa jātinya Omkāra. (Ganapati Tattwa, 25)
Artinya,
Dari Niskala lahir nada , dari nada
muncul bindu, dari bindu lahir bulan (semi) dari bulan itu ada wisnu/ dunia
berulang-ulang.
Tegasnya, yang Niskala itu
melahirkan nada, dari nada melahirkan bindu, dari bindu melahirkan ardhacandra,
dari ardhacandra melahirkan wiswa/alam semesta, berulang-ulang pelaksanaannya ;
wiswa berarti Sang Hyang Pranawa, Sang Hyang Pranawa sesungguhnya adalah
Om-kara.
Sesuai dengan sloka diatas bahwa dari niskala lahirlah
nada(benih suara),dari nada kemudian melahirkan bindu,dari bindu melaihirkan
ardhacandra, dan dari ardhacandra melahirkan wiswa (alam semesta). Seperti
itulah penciptaan alam semesta secara berulang ulang. Lebih lanjut dijelaskan
sebagai berikut,
wiśwah pralīyate candre candraś ca līyate bindau|
binduś ca līyate nāda ity etat kramalakṣaṇam||27||
ikang wiśwah umĕt ringng ardhacandra| ikangng ardhacandra līna ring bindu| ikang bindu ya ta umĕt ring nāda| nahan tang lakṣaṇa ning tattwa|| mwang ikang nāda mulih maring niṣkala| niṣkala ngaran māyātattwa| pradhāna ika makolihan ing nāda|| mwah ikang ningkala mulih maring śūnyāntara| ikang śūnyāntara mulih mari ng atyantaśūnya| makolihan ing niṣkala|| mwah anaku sang gaṇapati| ikang ingaranan uutpatti sthiti pralīnan sang hyang praṇawa||
Artinya,
Wiswa melekat pada candra, dan candra
menempel pada bindu, serta bindu kembali pada nada , demikianlah
perihal/keadaan aktivitasnya.
Wiswa itu bergantungan pada
ardhacandra, ardhacandra itu lebur dalam bindu, bindu itulah bergantungan pada
nada, demikianlah halnya ajaran filsafat, dan nada kembali ke niskala. Niskala
itu disebut mayatattwa , itulah pradhana (materi), pengembaliannya pada nada ,
dan niskala itu kembali ke sunyantara, sunyantara kembali ke atyantasunya,
sebagai pengembaliannya niskala dan anakku Sang Ganadhipa, adapun yang dimaksud
Utpatti(lahir), Sthiti (hidup), dan Pralina (lebur) itu yalah Sanghyang
Pranawa.(Ganapati Tattwa, 27)
Dalam sloka 27
dijelaskan bahwa niskala itu adalah maya tattwa(Acetana). Acetana berarti ketidaksadaran atau
ketidaktahuan. Dalam Wrhspati tattwa disebutkan acetana ngaranya ikang tanpa
jnana, kadyangga ning watu. Cetana dan acetana adalah asal mula yang sama halus
dan gaibnya, ia adalah dua hakekat berpasangan yang beroposisi. Akan tetapi
karena acetana adalah yang tidak berkesadaran ia disebut maya tattwa, maka ia
diposisikan dibawah cetana (hilang kasor nikang maya tattwa dening Siwatattwa).
Rupanya yang menjadi kata kunci adalah kata kasor, berasal dari akar kata sor
artinya lebih rendah, kalah, dikalahkan, substansi yang berada di bawah.
Śiwād
utpadyate catmātmanah prakertis tatah, prakertes tu ravir jāto raveś cāgniś
ca jāyate.
Ikang
im, ya ta sinangguh śiwa,sakeng śiwa mĕtu tang atma, bam, sakeng ātmā mêtu
tang prakerti, sam, sakeng prakrti mêtu tang āditya, tam, sakeng āditya mêtu
tang āgni ,am, nahan tang utpatti sang hyang panca brahma, im,bam, sam, tam,
am, kramanya.(
Ganapati Tattwa, 28)
Artinya,
Dari Siwa lahir Atma,
karena Atma maka dari Prakrti muncullah Rawi (matahari), dari Rawi lahir Agni
(panas/api).
ING itulah disebut
Siwa, dari siwa lahir Atma, BANG dari Atma lahir Pradhana/materiil, SANG dari
Pradhana/Prakrti lahirlah matahari (Aditya), TANG, Aditya lahirlah Agni
(api/panas),ANG. Demikianlah hal manifestasinya Sang Hyang Panca Brahma yaitu:
ING, BANG, SANG, TANG, ANG
Dalam kitab suci Hindu dinyatakan
bahwa atma adalah bagian dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dapat kita lihat
dalam kitab upanisad yang menyatakan bahwa “Brahma Atma Aikyam” yang artinya
brahman dan atman adalah tunggal. Atma diumpamakan sebagai setitik embun yang
berasal dari penguapan air laut, karena adanya pengaruh suatu temperatur
tertentu kemudian embun itu terpencar keseluruh alam semesta. Demikian
keadaan atma yang mula-mula berasal dari Brahman kemudian terpencar memasuki
serta memberi energi hidup pada jasmani dari smeua mahluk. Atma juga disebut
siwatma atau jiwatma, yaitu roh yang berasal dari Tuhan dalam fungsi memberi
tenaga hidup kepada alam semesta beserta isinya.
Dari atma kemudian lahir pradhana/
Prakerti
yaitu unsur yang bersifat kebendaan atau material. Pada penciptaan alam
semesta, Prakerti berevolusi menjadi Pancatanmatra yaitu lima benih yang belum
berukuran. Pancatanmatra setelah melalui evolusi yang
panjang akhirnya menjadi Pancamahabhuta, yakni lima unsur materi. Lima unsur
materi ini kemudian membentuk anggota alam semesta, seperti misalnya matahari, bumi, bulan, bintang-bintang, planet-planet, dan lain-lain.
prakṛtiṃ cāśrayed ātmā ātmanaṃ ca rawis tathā|
rawim agniḥ śiwaś cāgniṃ sthitir ewaṃ nigadyate||
ikang saṃ rumuhun tattwanya| tumūt baṃ| tumūt taṃ| tumūt aṃ| tumūt iṃ|| nihan sthiti sang hyang pañcabrahma| saṃ| baṃ| taṃ| aṃ| iṃ| kramanya||
artinya,
Prakrti itu dijiwai atma dan karena
atma maka adalah matahari adanya agni menyusul setelah matahari , demikianlah
ternyata siwagni dalam keadaan Sthiti.
Yang permulaan adalah SANG
filsafatnya , selanjutnya BANG, kemudian TANG, terus ANG dan akhirnya ING,
inilah sthitinya Sanghyang Panca Brahma,urutannya adalah SANG, BANG, TANG,
ANG,ING. (Ganapati Tattwa, 29)
Secara
umum prakrti berarti alam atau dunia. Prakrti juga dapat
berarti materi, tenaga atau energi. Kadang kala prakrti
juga berarti sifat, tabiat, perangai, watak dan hakekat. Tetapi dalam Bhagavad
Gita, prakrti umumnya berarti alam material. Alam material berasal dari tenaga
material Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Tenaga material beliau disebut maya. Ma
= tidak, dan Ya = itu. Jadi Maya berarti; “Yang bukan itu”.
Diartikan demikian karena tenaga materialNya ini menyebabkan para mahluk hidup
yang tinggal di alam material lupa pada hakekat
dirinya sejati sebagai jiva rohani abadi. Para mahluk hidup menganggap badan
jasmaninya sebagai dirinya sejati.
Kemudian atma itu menurut Bapak Kiriana(Dosen Tattwa di IHDN Denpasar)
bahwa atma itu adalah hidupnya hidup. Jadi dapat diartikan bahwa atma itu
merupakan sumber kehidupan. Setelah alam semesta (prakerti terbentuk) ,mulai
ada kehidupan yang berasal dari Atma dan melalui matahari Tuhan Yang Maha Esa
menjaga dunia
Konfigurasi
aksara Panca Brahma, tersusun sebagai berikut: ANG – TANG- SANG- BANG- ING,
menggambarkan proses involusi ciptan atau peleburan (penyerapan kembali,
pralina). ANG yang mewakili ketegori Panca Mahabhuta, Dasendriya dan Manah
tercipta dari Panca Tanmatra, Ahamkara dan Buddhi (Wijaksaranya TANG) dan tiga
yang belakang ini dihasilkan oleh prinsip awyakta
(wijaksaranya SANG). Awyakta kembali pada purusa (BANG) dan Purusa menyatu
dengan Maha Brahma (Rudra Tattwa) wijaksaranya ING. Posisi arah
dimana aksara Panca Brahma ditempatkan, sesuai dengan ajaran Sang Hyang Siwa
Basma (Wejangan Siwa tentang Basma) yang menyatakan “Panca bhagancirah kuryyat,
panca matram udaharet, purwwa SA daksina Basyat, pascima TA nyaset wudhah,
Uttarya Aghorakam sthanam, murddhim Isanam evaca”. Jadi SA
(purwa), BA(daksina), TA (pascima), A (uttara) dan I (murdha, tengah menghadap
atas).
Sedangkan dewata yang diwakili oleh
aksara-aksara tersebut kemudian dipuja sesuai dengan matra (arah) yang telah
ditetapkan . “Purwwasyadh Iswara Wndhyat, Brahma daksina gomukam, pascime tu
Mahadewa, uttarae wesnawam mukam, murddhim Isanam evaca” Kelima nama
ini: Iswara, Brahma Mahadewa, Wisnu dan Sadasiwa (Isana) disebut Dewata Panca
Brahma atau sering disingkat Panca Brahma atau Panca Dewata. Menurut Siwa Purana, panca waktra
atau pancanana tersebut dikaitkan dengan panca krtya (lima kegiatan Tuhan/ Sada
Siwa) yakni srsti, sthiti, samhara, tirobhawa dan anugraha.
yaṃ| waṃ| śiṃ| maṃ| naṃ| utpatti sang hyang pañcākṣara||
śiṃ| waṃ| maṃ| naṃ| yaṃ| sthiti sang hyang pañcākṣara|| naṃ| maṃ| śiṃ| waṃ|
yaṃ| pralīna sang hyang pañcākṣara||
artinya,
Aksara Yam, Wam, Sim, Mam dan Nam
adalah Utpatti Sanghyang Pancaksara. Aksara Sim, Wam, Mam, Nam dan Yam adalah
sthiti Sanghyang Pancaksara. Sedangkan aksara Nam, Mam, Sim Wam, Yam adalah
Pralina Sanghyang Pancaksara.(Ganapati Tattwa, 33)
Seperti
itu penciptaan alam semesta menurut sloka diatas yaitu melalui Panca Aksara
dimana menurut kepercayaan aksara-aksara suci tersebut memiliki kekuatan yang
mampu menciptakan,memelihara dan melebur alam semesta. Panca Aksara
merupakan aksara suci dari panca erwarya, diantaranya:
- Maheswara/mahesora di Tenggara dengan aksara suci “Na”
- Rudra/Ludra di Barat Daya dengan aksara suci “Ma”
- Sangkara di Barat Laut dengan aksara suci “Si”
- Sambu di Timur Laut dengan aksara suci “Wa”
- Siwa di Tengah dengan aksara suci “Ya”
Alam semesta diciptakan oleh panca brahma dan panca
aksara yang disebut sumber kekuatan alam semesta (dasa aksara). Dasa aksara merupakan sepuluh hurup
utama dalam alam ini yang merupakan simbol dari penguasa alam jagat raya dan sangat erat hubungannya dengan dewata nawasanga. Dari sepuluh hurup bersatu menjadi panca brahma (lima hurup suci untuk
menciptakan dan menghancurkan),
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Ganapati Tattwa merupakan salah satu Lontar
Tattwa, Lontar Filsafat Siwa, yang digubah dengan mempergunakan metode Tanya
jawab. Tanya jawab tersebut ditulis di dalam 37 lembar dau tal yang disusun
dalam 60 bait/prosa, menggunakan bahasa Sansekerta yang disertai dengan ulasan
dalam bahasa Kawi. Ganapati, putera Siwa, adalah Dewa penanya yang cerdas. Dan
Siwa adalah Maheswara, yang menjabarkan tentang ajaran Rahasia Jnana,
menjelaskan tentang misteri alam semesta beserta isinya. Secara ringkas isinya
dapat diuraikan sebagai berikut: Omkara adalah wujud sabda sunya, nada Brahman,
asal mula Pancadaivatma : Brahma, Wisnu, Iswara, Rudra dan Sang Hyang Sadasiva.
Pancadivatma merupakan asal Panca Tan Matra yang terdiri dari Rupa (unsur
bentuk), Gandha (unsur bau), Rasa (unsur rasa/kenikmatan), Sparsa (unsur
sentuhan), dan Sabda (unsur suara). Dari Panca Tan Matra munculah Panca
Mahabutha yang merupakan unsur materi (elemen alam semesta) yang terdiri dari :
Apah (air/benda cair), Teja(panas), Vayu (angin), Prthivi (tanah) dan Akasa
(ether). Dari Panca Mahabutha ini alam semesta beserta isinya diciptakan, dan
Sang Hyang Sivatma menjadi sumber hidup yang menggerakkan segala ciptaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, Nengah Bawa. 1999. Ganesa
sebagai Avighnesvara, Vinayaka dan Pengelukatan. Surabaya : Paramita
Gunawan, Pasek. 2012. Siva Siddhanta
I. Singaraja
Gunawan, Pasek. 2012.Siva Siddhanta II. Singaraja
Rai Mirsha, dkk. 1995. Ganapati
Tattwa Kajian Teks dan Terjemahannya. Denpasar : Upada Sastra
Ganapati Tattwa. Dokumentasi Pusdok.
Denpasar
Putra,
I.G.A.G dkk. 1998. Wrhaspati Tattwa.
Surabaya : Paramita
Anonim.
2006. Siwatattwa. Bangli : Pemerintah
Kabupaten Bangli