(Menipu Diri dengan Dalih Agama)
Agama dengan
segala aturan prakteknya merupakan sumbangan terbesar bagi cara berpikir
manusia. Agama memperkenalkan banyak konsep tentang kehidupan,seperti konsep
Tuhan , konsep dosa,pemujaan, baik-buruk, benar salah, kematian, surga ,neraka
dan sebagainya. Konsep-konsep ini memberikan sarana bagi pikiran untuk berpikir
tentang hidup ini. Pertanyaanpun muncul tiada habisnya, sehingga pikiran hilir
mudik seperti arus lalu lintas jalanan yang ramai. Untuk pergi kesana kemari
pikiran mempunyai lima kendaraan yaitu panca indriya, sedangkan sopirnya tiada
lain adalah kecerdasan.
Kecerdasan
sebagai tukang kemudi haruslah cakap dan ahli. Dia menjadi ahli berkat
pengetahuan. Sebelum kecerdasan diisi pengetahuan oleh pengalaman, maka
terlebih dahulu kecerdasan berkarya lewat naluri. Naluri diperhalus oleh akal
budi dan akal budi diperkaya berkat ajaran hidup dalam agama. Bagian dari
ajaran agama yang paling menonjol adalah aktivitas puja atau memuja Tuhan.
Ketahuilah bahwasannya aktivitas apapun yang kita lakukan sesungguhnya
merupakan pemujaan terhadap Tuhan, sehingga noda yang kita lakukan dalam
bekerja,bergaul, berpikir dan lainnya sama saja dengan noda pemujaan. Memang
perbuatan baik bukanlah sistem kredit poin yang mesti dikumpulkan untuk bisa
mendapatkan surga kelak setelah mati. Sebab kebaikan dan pemahaman kebenaran
masing-masing orang berbeda menurut pengetahuan kecerdasannya.
Selama ini
sering muncul salah kaprah, bahwa bhakti dibuat garis demarkasi memisahkan
aktivitas hidup sehari-hari dengan aktivitas keagamaan. Salah satunya adalah
adanya anggapan bahwa pura sebagai tempat suci, sementara tempat lainnya tidak.
Selain itu, semangat orang kebanyakan dalam hal identitas rohani adalah
semangat beragama dalam simbul semata. Contohnya yaitu pura sebagai simbul Ketuhanan,
jadi harus dibangun semegah-megahnya. Memang bagus kalau bisa membangun pura
yang indah, namun dalam dunia rohani hal ini baru permulaan. Untuk menapaki
alam yang lebih halus, suatu pengertian atau migrasi pemahaman kepada realitas
lebih menyeluruh. Pemujaan berarti meninggikan sesuatu ,
menghormati,mengagungkan dan adanya kesadaran diri yang mengakui memiliki
ketergantungan pada kebesaran dan kemahakuasaan Tuhan. Dengan demikian orang
akan terinspirasi untuk berjuang memelihara sifat-sifat luhurnya. Itulah sebabnya setiap agama mengajarkan
untuk selalu mengingat Tuhan agar pikiran secara terus menerus disuplay oleh
energi yang positif yang bersumber dari Tuhan. Pura dan tempat suci lainnya
ibarat jembatan yang menghubungkan antara dua sungai atau jurang. Bukanlah
jembatan yang perlu dipermasalahkan, tetapi prinsipnya adalah bagaimana kita
bisa sampai di seberang yaitu alam-alam luhur , alam hidup berkepribadian luhur
yang dilandasi kecerdasan, kemurnian berpengetahuan dan kebahagiaan.
Dengan membangun
pura yang megah dan yajna yang besar lantas semua puas dan menganggap semua
sudah beres dan menyatakan diri sudah beragama dengan ketat. Ini merupakan
pemikiran yang masih sangat rendah dan picik. Semua itu hanyalah beragama dalam
tataran mekanis atau gejala luar saja , sedangkan manusia hidup dengan
eksistensi pikiran, prilaku, dan pengalamannya. Yajna dan pura tidak akan bisa
membantu jika tidak dibarengi dengan peningkatan karakter, ketulusan, semangat
kasih dan berkekuatan akal budi. Pemujaan menuntut suatu prinsip
konsistensi antara ucapan, perbuatan dan
kesadaran diri. Memuja Tuhan artinya mengumpulkan sifat kebahagiaan. Gudang
untuk menyimpan kebahagiaan itu tidak ada di pura, tetapi ada dalam hati. Pergi
kepura tujuannya untuk menguatkan hati mengakses energi Brahman dan memelihara
hubungan harmonis dengan sesama umat yang hadir. Puja itu juga berarti
pertautan hubungan,persambungan tenaga rohani
secara timbal balik antara mahluk dengan kekuatan Tuhan. Dalam puja ,
orang memuji-muji yang disembahnya dan saat yang sama pemuja menikmati karunia
dari yang dipujanya yaitu Tuhan. Bila seseorang merindukan Tuhan , berarti
tenaga rohaninya mulai hidup dan mulai mampu merasakan energi Tuhan itu menarik
hati, menghangatkan dan sanggup memberikan kebahagiaan yang tak terbatas.
Banyak orang
berpersepsi salah tentang pemujaan yang menganggap itu berpahala untuk
kesenangan diri. Pamrih keselamatan, kesehatan ,kekayaan, derajat tinggi ,
pamrih surga, pamrih dosa diampuni dan
segala motivasi untuk memenuhi kesenangan diri. Selalu ada nafsu rajasika yang
lebih besar dibandingkan keluhuran itu. Membangun pura yang megah dengan biaya
halal dan motivasi rohani murni alangkah menguntungkan akan tetapi bila
memaksakan diri dan menyengsarakan untuk bayar iuran, apalagi harus menggali
dan lewat perjudian maka perbuatan itu sungguh sia-sia. Dapatkah orang mencuci
pakaian kotor dengan lumpur, demikian ucap banyak orang bijak. Berjudi adalah
menipu dan perbuatan menipu diri adalah judi. Pemujaan itu sebenarnya
ditunjukan untuk membangun evolusi keluhuran manusia dengan memohon karunia
tuhan.
Memang dalam
tataran tertentu ada disebutkan para dewa memerlukan suplay energi dari manusia
lewat doa. Artinya dewa butuh aliran
energi yang dipasok umat manusia dalam bentuk doa. Mantram –mantram Weda yang mengagungkan
dewa-dewa tertentu sangat jelas menunjukan perbuatan manusia yang meninggikan,
mengagungkan. Dari pujian inilah dewa memperoleh energi ,sehingga para dewa
mampu menjalankan fungsinya dalam memelihara alam semesta. Sehingga ada cerita
saat dunia ini disembunyikan pada lapisan terbawah , dewa-dewa kesusahan
,kelaparan karena tidak dapat sedekah lagi dari manusia. Saat itu alam tengah
telah dipenuhi oleh para yaksa, sehingga doa manusia tidak mampu menembus dunia
yang lebih tinggi. Hal ini menunjukan bahwa seluruh ciptaan bersifat fungsional
dan saling memiliki keterkaitan. Pura yang dibangun dengan hasil korupsi,judi
semuanya tidak benar. Tidak saja menipu dalam persepsi, tetapi nyata-nyata umat
mencangkupkan tangan kepada tumpukan kartu ceki dalam bentuk gapura megah,atau
pelinggih berukir. Kartu ceki lambang judi dan tipu daya, sisi gelap dari
karakter manusia, seharusnya dipangkas agar manusia dapat meningkatkan tarafnya
kepada tingkatan dewani.