Sabtu, 23 Maret 2013

Makna Cerita Lubdaka (Siwa Latri)

OM SWASTI ASTU


Umat sedharma yang berbahagia, mudah-mudah dalam keadaan sehat selalu dan dalam lindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, disini saya mencoba berbagi pengatahuan dengan kawan semua mudah-mudah dapat menambah wawasan kita semua. Setiap setahun sekali kita merayakan hari raya SIWARATRI dimana hari raya tersebut selalu dihubungkan dengan sebuah cerita Si lubdaka karangan Mpu Tanakung. Cerita lubdaka bahkan sudah tidak asing lagi bagi kita semua dari SD sampai perguruan tinggi kita pasti mendegar cerita tersbut. Bahkan dalam perayaan-perayaan di pura kita sering melihat pemetasan sendratari Lubdaka yang diperankan oleh Pemuda-pemudi yang sangat atusias sekali mengekspresikan semua kreativitasnya. Tapi tanpa kita sadari bahwa cerita lubdaka tersebut penuh makna dari semua simbol-simbol dari seluruh cerita tersebut yang dipesankan oleh Pengarang-Nya (Mpu Tanakung). Disini saya akan meceritakan sedikit kisah lubdaka, Karna saya yakin dan percaya Umat sedharma semua sudah pernah mendengarkan.

Di Bali, Siwaratri selalu dikaitkan dengan cerita Lubdaka. Konon, pada malam Siwaratri, Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan melakukan yoga. Saat yang bersamaan, dikisahkan seorang pemburu bernama Lubdaka kemalaman di hutan dan akhirnya menginap. Agar tidak dimakan binatang buas, si Lubdaka naik ke pohon. Agar tetap terjaga, sebagai pengusir kantuk, si Lubdaka memetik dan menjatuhkan daun-daun pohon yang dipanjatnya dan kebetulan di bawah pohon tersebut ada sebuah lingga Dewa Siwa, jadi secara tidak langsung Lubdaka melakukan pemujaan kepada Dewa Siwa tepat di saat Beliau beryoga.

Dewa Siwa konon sangat senang karena Lubdaka terjaga dan ‘menemani’ Dewa Siwa melakukan yoga. Maka ketika Lubdaka meninggal, saat lembaga yudikatif kahyangan, dalam hal ini Dewa Yama melakukan pengadilan, datanglah satu batalyon tentara sorga yang dikirim oleh Dewa Siwa, dan membawa Lubdaka ke sorga. Padahal, Dewa Yama hendak mengirimnya ke neraka karena profesi Lubdaka sebagai pemburu adalah dosa, membunuhi binatang-binatang tak berdosa demi kesenangan. Sementara, Dewa Siwa sudah terlanjur ‘sayang’ dengan Lubdaka yang menemaninya satu malam beryoga, sehingga melakukan intervensi pada putusan lembaga yudikatif kahyangan pimpinan Dewa Yama.


Mungkin demikian cerita singkat dari kisah LUBDAKA, disini saya akan mencoba mengulas tentang makna dari semua simbol dari cerita lubdaka yang belum disebutkan diatas.
Kita akan kupas satu persatu makna simbolik dari ceirta lubdhaka.

1. Hari Perayaan Siwaratri.

Siwaratri yang datang setahun sekali yaitu pada hari 14 paruh gelap malam mahapalguna (januari-Februari), sehari sebelum Tilem kapitu, menyediakan seperangkat pengetahuan, nilai, norma-norma, pesan, dan symbol. Kata ratri berarti malam, Karena itu Siwaratri berarti malam siva.Siva berarti baik hati, suka memaafkan, memberikan harapan, Dengan demikian siwaratri adalah malam untuk melebur kegelapan hati menu jalan yang terang. Siwaratri jatuh setahun sekali pada purwaning tilem ke pitu (panglong ping 14 sasih kepitu). Menurut astronomi malam tersebut merupakan malam yang paling gelap dalam satu tahun, maka buana agung terdapat malam yang paling gelap, maka di buana alit pun ada. Kegelapan di buana alit dikenal dengan nama peteng pitu, yaitu mabuk karena rupawan (surupa), mabuk karena kekayaan (dana), mabuk karena kepandaian ( Guna), mabuk karena kebangsawanan (kulina), mabuk karena keremajaan (yohana), mabuk karena minuman keras(sura), dan mabuk karena kemenangan (kasuran).Kegelapan inilah terjadi karena kesimpang siuran dalam struktur alam pikiran. Kesimpang siuran ini terjadi karena pengaruh dasendriya, sehingga menghasilkan manusia yang mengumbar hawa nafsu.


2. Makna Kata Lubdaka.

Kata Lubdhaka (sansekerta) berarti pemburu . Secara umum pemburu adalah diartikan sebagai orang yang suka mengejar buruan yaitu binatang (sattwa). Kata Sattwa berasal dari kata sat yang artinya mulia sedangkan twa artinya sifat. Jadi sattwa adalah sifat inti atau hakekat. Dengan demikian Lubdhaka adalah orang yang selalu mengejar atau mencari inti hakekat yang mulia.


3. Tempat Tinggal Lubdhaka.

Lubdaka dikisahkan tinggal di puncak gunung yang indah . gunung didalam bahasa sansekerta disebut acala yang tidak bergerak. Bahkan dalam ceritra wrespati kalpa dikisahkan Betara siwa dipuja di puncak gunung kailasa. Jadi tempat tinggal Lubdhaka di puncak gunung dapat diartikan bahwa ia adalah orang yang taat dan tekun memuja siwa (Siwa Lingga) atau yang sering disebut seorang Yogi


4. Alat Perburuan dan binatang Buruan.

Alat bebrburu si Lubdhaka adalah panah, symbol dari manah / pikiran. Dengan senjata pikiran ia selalu berburu budhi sattwa. Agar ia mendapatkan budhi sattwam mesti ia mengendalikan indrianya ( melupakan bekal makanan) Binatang yang diburu oleh Lubdhaka adalah, gajah, badak, babi hutan. Dalam bahasa sansekerta gajah berarti asti, simbolis dari astiti bhakti. Sedangkan badak sama dengan warak bermakna tujuan sedangkan babi hutan (waraha) mengandung makna wara nugraha.
Dengan demikian ketiga binatang buruan tersebut mengandung makna bahwa Lubdhaka dengan pikirannya yang dijiwai oleh budhi sattwam senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang didasari oleh astiti bhakti dengan tujuan mendapatkan wara nugraha dari Ida Hyang widhi wasa ( Siwa).


5. Berangkat berburu pada panglong ping 14. 

Hari ke 14 paro terang di bulan magha ini Si Lubdaka tumben sial, tidak mendapat binatang. Ini adalah waktu kosmis yang tepat untuk melakukan laku spiritual. Bulan dikatakan memiliki 16 kala kekuatan duniawi ini simbolik dari 1 + 6 = 7, yaitu sapta timira. Pada hari ke 14 paro simbolik 1+4 = 5 melambangkan panca indra. Jadi pada pang long ping 14 terang ini telah kehilangan 14 kala’ dan saat itu hanya masih tinggal 2 kala yakni raga (ego) dan kama ( nafsu ). Jadi jika kedua kala tadi mampu kita kalahkan maka disana Siwa akan memberikan rahmatnya.


6. Pagi hari memakai pakaian hitam kebiruan.

Hitam adalah lambang keberanian, keperkasaan. Pagi hari disebut Brahman muhurta “ hari Brahman, waktu yang baik untuk melakukan olah spiritual atau memuja Tuhan.


7. Berjalan sendirian.

Pemberani. Hanya orang yang tidak mengenal atau mampu mengatasi rasa takut yang berani sendirian masuk hutan lebat. Simbolik dari mengikuti jalan yang disebut nirwrwti marga : jalan spiritual bagi seorang pertapa atau jnanin. Dalam makna berangkat sendirian maka tidak ada teman bicara itu berarti mona brata “ tidak berbicara”.


8. Menuju arah timur laut.

Menuju kiblat suci merupakan sandi dari kiblat utara symbol Ratri “ malam, gelap, hitam,dengan kiblat timur symbol Siwa atau Iswara siang, putih, terang, Simbolik paham sakti dengan paham Siwa.


9. Selama perjalanan banyak menemukan tempat suci yang rusak .

Simbolik dari merosotnya situasi politik dan merosotnya kehidupan religius umat Hindu.


10. Tidak seekor binatangpun didapatkan.

Binatang symbol “ ego” sifat binatang itu tidak lagi ditemukan pada diri sang pertapa , artinya pertapa telah berhasil mengalahkan keakuannya dan rasa kepemilikannya.


11. Tidak terasa senjapun tiba.

Symbol dari daya konsentrasinya kuat. Vivekananda mengatakan bahwa, semakin banyak waktu yang terlewatkan tanpa kita perhatikan , semakin berhasil kita dalam konsentrasi. Ketika yang lampau dan sekarang berdiam menjadi satu berarti saat itulah pikiran memusat. Sandyakala adalah hari sandi antara terang dan gelap yang menyebabkan kenyataan menjadi tidak jelas. Oleh karena seorang pertapa harus lebih awas dengan meningkatkan spiritualnya.


12. Naik pohon bilwa yang tumbuh di pinggir danau, dan duduk dicampang 

pohonnya.Symbol dari meningkatnya kesadaran dengan jalan mediatasi untuk memurnikan pikiran agar daya budi terungkap. Pohon bilwa disimbolkan sebagai tulang punggung yang di dalamnya terdapat cakra-cakra , simpul-simpul energi spiritual yang satu dengan yang lainya saling berhubungan. Duduk di campang pohon melambangkan daya keseimbangan konsentrasi antara otak kiri dan kanan, yakni otak tengah. Naik keatas pohon melambangkan bangkitnya daya sakti yang disebut kundalini sang pertapa.


13. Ranu atau danau

Symbol Yoni lambang sakti atau Dewi, saktinya siwa adalah lambang kesuburan.


14. Di tengah danau ada Siwalingga nora ginawe.
Batu alami yang kebetulan ada ditengah danau . Lingga adalah symbol Siwa


15. Memetik daun bilwa.

Memetik ajaran Siwa. Kata Rwan atau ron, don, berarti daun dan dapat juga berarti tujuan. Jika dirangkai dengan kata maja atau bilwa maka melambangkan tujuan. Yakni mengembangkan kesadaran. Dengan demikian dapat diartikan dimana sang pertapa selalu memetik sari ajaran untuk mengembangkan kesadaran. Dalam hubungan jagrabrata olah kesadaran dengan mempelajari siwa tattwa ( ajaran hakekat ketuhanan) sampai akhirnya mencapai pencerahan rohani. Jadi Mpu tanakung disini menuliskan dengan simbolis yaitu olah budi dan rasa terpusat kepada Tuhan.Untuk itu disebutkan oleh Mpu tanakung ,mahaprabhawa nikanang brata panglimur kadusta kuhaka, setata turun mapunya yasa dharma len brata gatinya kasmala dahat. Artinya brata siwararti adalah mampu meruwat sifat dusta dan keji. Cara meruwat itu adalah dengan melakukan dyana (meditasi), menyanyikan syair pujian, merafal mantra,melakukan japa ( menyebut nama Tuhan berkali-kali),


16. Tiba dipondok sore hari, menjelang petang (hari tilem).

Kenyataan umum setiap orang berburu pasti akan kembali pulang. Simbolnya kembali dari perjalanan suci yang dilakuakan selama dua hari satu malam : 36 jam.


17. Tiba di pondok Lubdaka baru makan.

Perjalanan berburu Lubdaka tidak membawa bekal, karena memang tidak rencana menginap. Simbol dari melakuakan upawasa, puasa tidak makan, minum selama 36 jam, yakni dari pagi hari pada hari ke 14 paro terang, purwani tilem sampai besok senja kala hari ke 15 tilem


C. Kesimpulan.



“samo ham sarva bhutesu, namo dvesyo sti na priyah. ye bhajanti tu mam bhaktya, mayi te tesu ca pi aham..”


semua mahluk adalah sama padaku, tidak ada yang terbenci atau yang tercinta. tapi bagi mereka yang memujaku, maka mereka ada di dalam aku, dan aku ada di dalam mereka.

Begitulah Tuhan, netral. Manusialah yang seharusnya diberikan kebebasan untuk memilih, mau membentuk hubungan seperti apa dengan Tuhan. Sementara, Tuhan hanya berfungsi menjaga agar hukumnya tetap berlaku. Bahkan Tuhan adalah hukum itu sendiri, yang abadi, yang senantiasa berlaku adil.

Jadi, janganlah berharap Tuhan akan mengampuni dosa-dosa kita. Kitalah yang harus bertindak untuk mengurangi pahitnya akibat dosa yang kita berbuat. Ibarat kopi pahit yang terlanjur kita tuang kedalam air, janganlah berdoa semalaman untuk menyuruh Tuhan agar mengambil dan menyaringnya kembali. Tapi, Kitalah yang harus menambahkan air kedalam kopi itu, sehingga kadar larutan kopi berkurang–sehingga dengan demikian rasa pahitnya berkurang. Perbesarlah bejana kesadaran dan tuangkan air kebijaksanaan, kesucian dan karma baik kedalamnya. Demikian terus menerus, sehingga larutan kopi karma buruk yang pernah dibuat, akan larut dan tak terasa. 

Selamat Hari Raya Siwaratri…Itulah ceritera tentang Lubdaka dimana ceritra itu penuh makna dan arti. Seperti yang dikatakan Mpu Tanakung bahwa kita selayaknya dalam hidup ini selalu amuter tutur penehayu, yang artinya berusaha memutar kesadaran dengan cara yang tepat. Salah satunya adalah menjalankan brata siwaratri ini.


Dari cerita diatas Lubdaka adalah manusia biasa yang penuh dosa papa, mampu dengan secara kebetulan menjalankan ajaran / memuja Siwa di hari yang ratri, dan kebetulan itu akan mengingatkan kita bahwa hal tersebut akan terus dilakukan setiap tahun yaitu panglong ping 14 yang mana itu merupakan hari pemujaan Siwa, maka segala dosa yang pernah diperbuat mendapat pengampunan. Artinya, dosa-dosanya itu menjadi berkurang karena perbuatan yang baik.


Jumat, 22 Maret 2013

Sejarah Agama Hindu Di Bali


Masuknya Agama Hindu  di Bali

a.      Ditinjau dari kerajaan Majapahit

Menurut orang bali sejarah kebudayaan dan kemasyarakatan bali di mulai dengan kedatangan orang orang majapahit di bali, kedatangan orang orang majapahit ini membawa perubahan yang baru bagi masyarakat bali, karena sebelumnya di bali di kuasai oleh roh-roh jahat serta mahluk mahluk yang ajaib Akan tetapi sebenarnya jauh berabad abad sebelum zaman majapahit, di bali selatan sudah ada suatu kerajaan dengan kebudayaan hindu mungkin pada tahap pertama zaman mataram kuno (antara 600-1000 masehi ), pusat kerajaan itu terdapat di pejeng dan bedulu dengan raja keturunan warnadewa, ada kemungkinan kerajaan ini timbul langsung pengaruh dari pedagang hindu namun ada juga kemungkinan kerajaan ini di sebabkan karena pengaruh dari mataram. Pada ahir abad ke 10 atau awal abad 11 di bali memerintah seorang raja, dharmodyana yang berpermaisurikan seorang keturunan empu sendok, mahendratta, dan melahirkan erlangga, dengan demikian pada waktu itu bali dihubungkan dengan jawa erlangga kemudian memerintah di jawa sedang di bali diperintah atas nama erlangga, seorang adiknya, sesudah erlangga wafat agaknya hubungan antara jawa dan bali menjadi kendor. Pada tahun 1284, kartanagara,raja singasari, menaklukan bali, penaklukan itu agaknya hanya bersifat sementara saja sebab pada tahun 1383 majapahit mengutus tentaranya di bawa pimpinan gajah mada menyerbu bali, kali ini penaklukan dilaksanakan secara mendalam, gajah mada mendatangkan bangsawan bangsawan dari majapahit, pemimpin para bangsawan ini kemudian mendirikan suatu kerajaan dengan ibukotanya srampangan yang kemudian di pindahkan ke klungkung, rajanya bergelar dewa agung.
Penngaruh majapahit dibali sangat kuat sekali, bahas dan kebudayaan bali adalah kelanjutan bahasa dan kebudayaan jawa timur, kepustakaan hindu jawa di pelihara, dibaca dan diteruskan, itu sebabnya maka bali menjadi tempat penyimpan kekayaan kebudayaan jawa, apa yang sudah tidak dapat diketahui lagi tentang hindu di jawa dapat diketahui di bali. Sekalipun demikian tidak dapat dikatakan pula bahwa bali adalah daerah agama hindu sebab di samping kebudayaan hindu jawa masih ada religi asli yang tidak kalah kuatnya, pengaruh majapahit hanya terdapat di antara kaum bangsawan, mula mula di klungkung kemudian menyebar di darah daerah lainnya, tetapi hal ini tidak berarti bahwa religi suku bali tidak berubah oleh karena berabad abad terisolir dari daerah daerah lainnya maka lama kelamaan terjadi akulturasi antara agama hindu jawa dan kebudayaan asli orang balikeduanya mengalami percampuran hingga mangalami perubahan sehingga juga sulit untuk dipisahkan lagi, percampuran ini kemudian menjadi suatua agama baru yang tidak mempunyai nama, akan tetapi orang bali sendiri menyebutnya agama tirta dan baru sekarang agama orang bali di sebut agama hindu dharma. Kira kira sesudah 1000 tahun kedatangan agama hindu yang pertama kali di bali datanglah pengaruh barat dengan perantaraan penjajahan belanda Ada perbedaan yang mencolok sekali antara cara agama hindu jawa mempengaruhi mempengaruhi masyarakat bali dengan cara kebudayaan barat melakukan infiltrasinya, pengaruh agama hindu jawa meresapi msyarakat bali secara perlahan lahan berangsur angsur selama berabad abad akan tetpi pengaruh kebudayaan barat berjalan dengan cepat sekali Sekalipun bentuk pemerintahan dan pengadilan asli dipertahankan namun pengawasan belanda yang terjadi secara rasional makin mempengaruhi pandangan orang bali, lebih lebih mengenai masalah pendidikan, anak anak yang tergolong punya tidak puas hanya bersekolah di bali saja karena di bali hanya ada sekolah rakyat yang didirikan belanda, hal ini memberikan pengaruh di bidang keagmaan, karena banyak pemuda bali yang karena pengalamannya di jawa kemudian mereka meninggalkan praktik keagmaan atau hanay melkukannya secara formal saja, ditambah lagi agama islam dan Kristen sudah mulai melebarkan sayapnya di bali. Dengan semakin berkembangnya agama islam dan Kristen di bali, hal ini membuat para putra bali bangkit dengan mendirikan perkumpulan perkumpulan untuk membangaun agama mereka, pada tahun 1932 didaerah tabanan didirikan sebuah sekolah agama, pada tahun 1939 di klungkung didirikan suatu organisasi agama yang di sebut tri murti . Pada zaman pendudukan jepang oleh pemerintah jepang didirikan suatu lembaga pendanda yang disebut paruman pandita dharma dengan maksud untuk mempersatukan paham agama bali agar menjadi badan keagamaan yang menjadi penghubung pemerintah jepang, Sesudah pemerintah jepang jatuh paruman pandita dharma menjadi suam sekalipun tidak mati kesempatan ini dimanfaatkan oleh pemimpin yang militan, perkumpulan tri murti pada zaman jepang tidak aktif mulai dihidupkan kembali menjadi majelis hinduisme (1950), selain itu juga timbul organisasi keagamaan lainnya, demikianlah di bali lahir kelompok kelompok yang berusaha meningkatkan mutu dan kedudukan agama hindu di bali agar agama hindu dapat sejajar dengan agama yang lainnya, di akui oleh departeman agama, dan pada tahun 1958 agama hindu bali diakui oleh departemen agama RI . Setelah di akui oleh pemerintah RI di bentuklah dewan agama hindu bali yang sesudah kongres parisada hindu dharma bali (1959) dan pada tahun 1964 diganti dengan parisda hindu dharma hingga sekarang.

b.      Ditinjau dari kedatangan Rsi Markandeya .

Orang-orang keturunan Austronesia telah menyebar di seluruh wilayah Bali. Mereka tinggal berkelompok-kelompok dengan Jro-jronya (pemimpin-pemimpinnya masing-masing). Kelompok-kelompok inilah nantinya yang menjadi desa-desa di Bali mereka adalah Orang Bali Mula, dan mereka dikenal dengan nama Pasek Bali.
Ketika itu, orang-orang Bali mula belum menganut Agama, mereka hanya menyembah leluhur yang mereka namakan Hyang. Menurut para ahli, kondisi spiritual masyarakat Bali pada saat itu masih kosong. Keadaan yang demikan ini berlangsung hingga awal tarih masehi kurang lebih sekitar abad pertama masehi. Dengan keadaan Bali yang demikian maka mulailah berdatangan orang-orang dari luar Bali ke pulau ini. Disamping untuk mengajarkan agama Hindu, mereka juga ingin memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan. Untuk hal tersebut datanglah seorang rsi ke Bali yang bernama Maharsi Markandeya.
Menurut sumber – sumber berupa lontar, sastra, dan purana, Maharsi Markandeya berasal dari India. Seperti dinyatakan sebagai berikut dalam Markandeya Purana, “Sang Yogi Markandeya kawit hana saking Hindu” yang artinya “sang yogi Markandeya asal mulanya adalah dari India”. Dari data-data yang di dapatkan nama Markandeya bukan nama perorarangan, melainkan adalah nama perguruan atau nama pasraman seperti halnya juga nama Agastya. Perguruan atau pasraman adalah lembaga yang mempelajari dan mengembangkan ajaran-ajaran dari guru-guru sebelumnya. Kebiasaan secara tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi untuk melanjutkan tradisi dari guru sebelumnya, yaitu dari guru ke murid dan seterusnya. Garis perguruan turun temurun ini di sebut Parampara, dan tiap-tiap parampara menyusun pokok-pokok ajarannya, dari parampara yang telah mengangkat guru dan murid untuk melanjutkan garis perguruan ini dinamakan Sampradaya. Dari tiap-tiap sampradaya menyusun pokok-pokok ajarannya dari sumber-sumber yaitu, Catur Weda, Purana, Upanisad, Wedanta Sutra, dan Itihasa. Walaupun memiliki pandangan yang berbeda, namun mereka mengambilnya dari Weda dengan tradisi turun-temurun yang sama dalam menafsirkan dan mengajarkan pokok-pokok ajaran di dalam Weda. Demikian akhirnya, pustaka-pustaka suci tersebut disebarkan, dimana di antaranya adalah Markandeya Purana, Garuda Purana, Siva Purana, Vayu purana, Visnu Purana dan lain sebagainya. Bahkan dari tiap generasi ke generasi terdapat nama diksa (inisiasi) yang sama dengan nama pendahulunya. Jadi sang Maharsi Markandeya adalah seorang rsi dari garis perguruan yang namanya sama dengan nama pendahulunya di India, beliau datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Hindu, terutama paham Waisnava (pemuja Wisnu).
Ketika tiba di Indonesia, Maharsi Markandeya berasrama di wilayah Pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Lalu beliau ber-dharmayatra ke arah timur, dan tibalah di Gunung Raung, Jawa Timur. Disini beliau membuka pasraman dimana beliau di dampingi oleh murid-murid beliau yang di sebut Wong Aga (orang-orang pilihan). Beberapa tahun kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke timur, tepatnya ke pulau Bali yang ketika itu masih kosong secara spiritual. Disamping untuk mengajarkan agama Hindu, beliau juga ingin mengajarkan teknik-teknik pertanian secara teratur, bendungan atau sistem irigasi, peralatan untuk yajna dan lain-lain. Perjalanan beliau diiringi oleh 800 orang murid-muridnya.
Saat datang pertama kali ke Bali, beliau datang ke Gunung Tohlangkir. Disana beliau dan murid-muridnya merabas hutan untuk lahan pertanian, tetapi sayangnya banyak murid-muridnya terkena penyakit aneh tanpa sebab, ada juga yang meninggal diterkam binatang buas seperti mranggi (macan), ada yang hilang tanpa jejak, bahkan ada yang gila. Melihat keadaan demikian, Maharsi Markandeya memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung, lalu beliau beryoga untuk mengetahui bencana yang menimpa murid-muridnya ketika ke Bali. Akhirnya beliau mendapatkan petunjuk bahwa terjadinye bencana tersebut adalah karena beliau tidak melaksanakan yajna sebelum membuka hutan itu.
Setelah mendapatkan petunjuk, Maharsi Markandeya kembali lagi datang ke Bali tepatnya ke Gunung Tohlangkir. Kali ini beliau hanya mengajak 400 orang muridnya. Tapi sebelum merabas hutan dan kembali mengambil pekerjaan sebelumnya, Maharsi Markandeya melakukan upacara ritual, berupa yajna, agni hotra, dan menanam panca datu di lereng Gunung Tohlangkir, Nyomia, dan upacara Waliksumpah untuk menyucikan dan mengharmoniskan tempat tersebut. Demikianlah akhirnya semua pengikut beliau selamat tanpa kurang satu apapun. Oleh karena itu, Maharsi Markandeya kemudian menamakan wilayah tersebut dengan nama Wasuki, kemudian berkembang menjadi nama Basukian dan dalam perkembangan selanjutnya orang-orang menyebut tempat ini dengan nama Basuki yang artinya keselamatan. Hingga saat ini, tempat ini dikenal dengan nama Besakih dan tempat beliau menaman panca datu akhirnya di dirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Besakih. Dan Maharsi Markandeya mengganti nama Gunung Tohlangkir dengan nama Gunung Agung. Tidak hanya itu saja, Maharsi Markandeya akhirnya menamakan pulau ini dengan nama Wali yang berarti persembahan atau korban suci,  dan dikemudian hari dikenal dengan nama Bali Dwipa atau sekarang dikenal dengan nama Bali, dimana semua akan selamat dan sejahtera dengan melaksanakan persembahan yajna atau korban suci. Setelah beberapa tahun lamanya beliau akhirnya menuju arah barat untuk melanjutkan perjalanan dan sampai di suatu daerah datar dan luas, sekaligus hutan yang sangat lebat. Disanalah beliau dan murid-muridnya merebas hutan. Wilayah yang datar dan luas itu dinamakan Puwakan, kemudian dari kata puakan berubah menjadi Kasuwakan, lalu menjadi Suwakan dan akhirnya menjadi Subak.
Di tempat ini beliau menanam berbagai jenis pangan dan semuanya bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan dengan baik. Oleh karenanya tempat ini di namakan Sarwada yang artinya serba ada. Karena keadaan ini dapat terjadi karena kehendak Tuhan lewat perantara sang maharsi. Kehendak bahasa Balinya kahyun, kayu bahasa sansekertanya taru, kemudian dari kata taru tempat ini dikenal dengan nama Taro dikemudian hari, yang terletak di kabupaten Gianyar. Di wilayah ini Maharsi Markandeya mendirikan pura sebagai kenangan terhadap pasramannya di gunung raung. Pura ini dinamakan Pura Gunung Raung, bahkan hingga saat ini di bukit tempat beliau beryoga juga di dirikan sebuah pura yang kemudian dinamakan Pura Luhur Payogan, yang letaknya di Campuan, Ubud. Pura ini juga disebut pura Gunung Lebah. Selanjutnya Mahasri Markandeya pergi ke arah barat dari arah Payogan dan kemudian membangun sebuah pura yang diberi nama Pura Murwa, sedangkan wilayahnya dan sebagainya di beri nama Parahyangan kemudian orang-orang menyebutnya dengan sebutan Pahyangan. Dan sekarang tempat tersebut dikenal dengan Payangan.
Orang-orang Aga, murid-murid maha rsi markandeya menetap di desa-desa yang dilalui oleh beliau, mereka membaur dengan orang-orang Bali mula, bertani dan bercocok tanam dengan cara yang sangat teratur, menyelenggarakan yajna seperti yang di ajarkan oleh Maharsi Markanadeya. Dengan cara demikian terjadilah pembauran orang-orang Bali mula dan orang-orang Aga, kemudian dari pembauran ini mereka dikenal dengan nama Bali Aga yang berarti pembauran penduduk bali mula dengan orang-orang aga, murid Maharsi Markandeya,  dengan adanya hal ini, maka Hindu dapat diterima dengan baik oleh orang-orang Bali mula ketika itu. Sebagai rohaniawan (pandita) orang-orang Bali Aga dimana Maharsi Markandeya menjadi pendirinya, maka orang-orang Bali Aga dikenal dengan nama Warga Bhujangga Waisnava.
Dalam jaman kerajaan Bali, terutama zaman Dinasti Warmadewa. Warga Bhujangga Waisnsava selalu menjadi purohito (pendeta utama kerajaan) yang mendampingi raja, antara lain Mpu Gawaksa yang dinobatkan oleh sang ratu Sri Adnyadewi tahun 1016 M, sebagai pengganti Mpu Kuturan. Ratu Sri Adnyadewi pula yang memberikan wewenang kepada sang guru dari Warga Bhujangga Waisnava untuk melaksanakan upacara Waliksumpah ke atas, karena beliau mampu membersihkan segala noda di bumi ini, bahkan sang ratu mengeluarkan bhisama kepada seluruh rakyatnya yang berbunyi : “Kalau ada rsi atau wiku yang meminta-minta, peminta tersebut sama dengan pertapa, jika tidak ada orang yang memberikan derma kepada petapa itu, bunuhlah dia dan seluruh miliknya harus diserahkan kepada pasraman. Dan apa bila terjadi kekeruhan di kerajaan dan di dunia, harus mengadakan upacara Tawur, Waliksumpah, Prayascita (menyucikan orang-orang yang berdosa), Nujum, orang-orang yang mengamalkan ilmu hitam haruslah sang guru Bhujangga Waisnava yang menyucikannya, sebab sang guru Bhujangga Waisnava seperti angin, bagaikan Bima dan Hanoman, itu sebabnya juga sang guru Bhujangga Waisnava berkewajiban menyucikan desa, termasuk hutan, lapangan, jurang. Oleh karena sang guru Bhujangga Waisnava sebaik Bhatara Guru, boleh menggunakan segala-galanya dan dapat melenyapkan hukuman”.
Kemudian pada masa pemerintahan Sri Raghajaya tahun 1077 M yang diangkat menjadi purohito kerajaan adalah Mpu Andonamenang dari keluarga Bhujangga Vaisnava. Lalu Mpu Atuk di masa pemerintahan raja Sri Sakala Indukirana tahun 1098 M, kemudian Mpu Ceken pada masa pemerintahan raja Sri Suradipha tahun 1115 – 1119 M, kemudian Mpu Jagathita pada masa pemerintahan Sri Jayapangus tahun 1148 M. Untuk raja-raja selanjutnya selalu ada seorang purohito raja yang diambil dari keluarga Bhujangga Waisnava dan seterusnya hingga masa pemerintahan Sri Dalem Waturenggong di Bali. Saat itu yang menjadi purohito adalah dari griya Takmung dimana beliau melakukan kesalahan selalu acharya kerajaan yang telah mengawini Dewi Ayu Laksmi yang tidak lain adalah putri Dalem sendiri selaku sisyanya. Atas kesalahannya ini sang guru Bhujangga akan dihukum mati, tapi beliau segera menghilang dan kemudian menetap di daerah Buruan dan Jatiluwih, Tabanan.
Semenjak kejadian tersebut, dalem tidak lagi memakai purohito dari Bhujangga Waisnava. Sejak itu dan setelah kedatangan Danghyang Nirartha di Bali, posisi purohito di ambil alih oleh Brahmana Siwa dan Budha. Bahkan setelah strukturisasi masyarakat Bali ke dalam sistem wangsa oleh Danghyang Nirartha atas persetujuan Dalem, keluarga Bhujanggga Waisnava tidak dimasukkan lagi sebagai warga brahmana. Namun peninggalan kebesaran Bhujangga Waisnava dalam perannya sebagai pembimbing awal masyarakat Bali, terutama dari kalangan Bali Mula dan Bali Aga masih terlihat sampai sekarang. Pada tiap-tiap pura dari masyarakat Bali Aga, selalu ada sebuah pelinggih sebagai sthana Bhatara Sakti Bhujangga. Alat-alat pemujaan selalu siap pada pelinggih itu. Orang-orang Bali Aga/Mula cukup nuhur tirtha, tirtha apa saja, terutama tirta pengentas adalah melalui pelinggih ini. Sampai sekarang para warga ini tidak pernah/berani mempergunakan atau nuhur Pedanda Siva. Selain itu, para warga ini tidak pernah mempersembahkan sesajen dari daging ketika diadakan pujawali dan biasanya mereka menggunakan daun kelasih sebagai salah satu sarana persembahan selain bunga, air, api dan buah.
Warga Bhujangga Waisnava, keturunan Maharsi Markandeya sekarang sudah tersebar di seluruh Bali, pura pedharmannya ada di sebelah timur penataran agung Besakih di sebelah tenggara pedharman Dalem. Demikian juga pura-pura kawitannya tersebar di seluruh Bali, seperti di Takmung, kabupaten Klungkung, Batubulan, kabupaten Gianyar, Jatiluwih di kabupaten Tabanan dan di beberapa tempat lain di Bali.
Demikianlah Maharsi Markandeya, leluhur Warga Bhujangga Waisnava penyebar agama Hindu pertama di Bali dan warganya hingga saat ini ada yang melaksanakan dharma kawikon dengan gelar Rsi Bhujangga Waisnava. Sedangkan orang-orang Aga beserta keturunakannya telah membaur dengan orang-orang Bali Mula atau penduduk asli Bali keturunan Bangsa Austronesia, dan mereka dikenal dengan nama orang-orang Bali Aga.

 Daftar Pustaka